Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Pagi di Lombok terasa segar, udara laut membawa aroma asin yang lembut bercampur dengan wangi bunga dari taman Villa. Cahaya matahari menembus tirai putih kamar Rada, membangunkannya perlahan dari tidur yang tak begitu nyenyak. Ia sempat menatap langit-langit beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang, hari ini masih foto pranikah, dan ia tak punya alasan untuk menolak.
Rada bangkit, mandi, lalu bersiap dengan bantuan make-up artist yang sudah datang lebih pagi. Rambutnya dibiarkan terurai dengan sedikit gelombang, dan gaun putih tipis yang dipilih tim fotografer membuatnya tampak lembut, nyaris seperti mimpi.
Dari balkon kamarnya, ia bisa melihat Gavin di luar villa. Lelaki itu sudah berpakaian rapi mengenakan kemeja putih, celana linen abu muda, dan kacamata hitam di tangan. Seperti biasa, ekspresinya datar.
Tak lama kemudian, suara Bunda Istina memanggil dari bawah.
“Rada, ayo sayang! Supirnya sudah siap. Kita harus sampai di lokasi sebelum matahari terlalu tinggi!”
“Iya, Bunda!” jawab Rada sambil mengambil tas kecilnya.
Di depan villa, dua mobil hitam sudah menunggu. Supir pribadi keluarga Gavin, pria paruh baya yang sopan, membuka pintu untuk Gavin dan Rada. Kedua ibu mereka tampak sangat bersemangat, Istina sibuk memeriksa bunga tangan dan veil, sementara Lauren sibuk memastikan semuanya siap untuk pemotretan hari kedua.
“Lihat, kalian berdua serasi sekali,” ujar Lauren sambil tersenyum puas. “Aku yakin hasil fotonya bakal luar biasa.”
Rada hanya tersenyum canggung, sementara Gavin sekadar menunduk sopan tanpa komentar.
Di dalam mobil, perjalanan menuju resort eksklusif di Lombok bagian selatan memakan waktu hampir satu jam. Jalanan berliku di sepanjang tebing memberi pemandangan laut biru yang luar biasa.
“Tempat ini terkenal banget,” kata Istina, penuh semangat. “Katanya cuma pasangan tertentu yang bisa dapat izin foto di sana.”
Rada mengangguk pelan. “Cantik banget ya, Bun.”
“Cantik, dan mahal,” timpal Lauren sambil tertawa kecil.
Gavin hanya mendengarkan percakapan itu dalam diam. Tapi sesekali, dari kaca spion, ia memperhatikan wajah Rada yang menatap laut. Tatapan Rada yang tampak kagum, lelah dan bingung. Dan entah kenapa, Gavin ingin sekali menjadi alasan agar ekspresi itu berubah menjadi senyum sungguhan.
Mobil berhenti di depan sebuah resort mewah yang menghadap langsung ke laut selatan Lombok. Bangunannya bergaya tropis modern dengan dinding batu alam, atap jerami, dan jendela besar yang menampilkan birunya samudra di kejauhan. Angin membawa aroma garam laut dan suara deburan ombak yang menghantam tebing di bawah.
Rada turun dari mobil, menatap pemandangan di hadapannya dengan takjub. “Indah sekali…” gumamnya pelan.
“Tempat ini memang luar biasa,” ujar Mama Lauren sambil tersenyum bangga. “Kami ingin semuanya sempurna untuk kalian.”
Sementara itu Gavin berdiri di samping mobil, mengenakan kemeja linen putih dan celana krem muda. Matahari pagi memantul di kulitnya yang sedikit kecokelatan, membuatnya tampak seolah baru keluar dari iklan majalah. Ekspresinya tetap datar seperti biasa, tapi di balik tatapan itu, ia memperhatikan Rada yang sibuk menata rambutnya karena tertiup angin.
Tim fotografer sudah menunggu di area kolam infinity, kolam yang tampak menyatu langsung dengan lautan di belakangnya. Permukaan airnya berkilau seperti kaca, memantulkan langit biru yang mulai cerah.
“Baik, kita mulai dari tepi kolam dulu,” kata salah satu fotografer dengan antusias. “Cahaya pagi ini bagus sekali. Rada, kamu bisa berdiri di ujung kolam, dan Gavin sedikit di belakangnya, ya. Dekatkan posisi kalian, biar lebih natural.”
Rada menuruti instruksi itu dengan patuh, berdiri di ujung kolam. Gaun putih sifon yang dipakainya tertiup lembut oleh angin, membuatnya tampak seperti potret dewi laut. Gavin melangkah mendekat, berdiri tepat di belakangnya, jarak mereka hanya beberapa sentimeter.
“Sedikit lebih dekat, Gavin,” ujar fotografer.
“Tangan di bahu Rada, ya.”
Gavin menurut tanpa banyak bicara. Jemarinya menyentuh bahu Rada pelan, dan seketika gadis itu menegang. Ia bisa merasakan kehangatan dari kulitnya, begitu dekat hingga jantungnya berdetak lebih cepat.
“Relaks saja,” bisik Gavin dengan nada datar, tapi suaranya rendah dan tenang.
“Sulit kalau berdiri sedekat ini dengan manusia menyebalkan,” balas Rada dengan nada nyaris berbisik juga, membuat fotografer menahan tawa kecil.
Beberapa kali shutter kamera berbunyi cepat. “Bagus sekali! Rada, kamu boleh sedikit menoleh ke Gavin.Ya, seperti itu! Oh, ekspresinya natural sekali!”
Rada menatap sekilas ke arah Gavin. Lelaki itu masih berwajah datar, tapi ada kilatan samar di matanya yang membuatnya tidak bisa berpaling. Untuk sesaat, dalam jarak sedekat itu Gavin ingin egois saja—ingin Rada membalas perasaannya sehingga ia tidak perlu lagi menahan perasaannya sendiri.
“Perfect!” seru fotografer puas. “Sekarang coba berdiri berdua di tepi kolam, lihat ke laut, seolah kalian berbicara tentang masa depan.”
Rada menatap laut, tersenyum kecil, lalu mendengar suara Gavin di sampingnya. “Anginnya kencang sekali. Hati-hati, nanti kamu jatuh,” ucapnya datar.
“Kalau jatuh, kamu yang tanggung jawab,” jawab Rada ringan tanpa menoleh. Gavin nyaris tersenyum mendengarnya.
Fotografer sempat memotret momen itu dan terkekeh kecil. “Nah, ini dia. Natural banget. Aku suka interaksi kalian berdua!”
Kedua Ibu mereka yang menonton dari jauh saling bertukar pandang dan tersenyum bahagia.
“Mereka benar-benar cocok,” ujar Istina dengan mata berbinar. Lauren hanya mengangguk, tapi dalam hati ia setuju sepenuhnya.
Setelah sesi di kolam selesai, mereka bersiap menuju spot berikutnya di tebing kecil yang menghadap laut langsung, tempat di mana matahari mulai naik tinggi dan langit berubah semakin biru.
...☆...
Mereka tiba di tebing terakhir, sebuah spot yang menjorok ke laut dengan pemandangan 180 derajat birunya samudra di bawahnya. Angin bertiup kencang, membawa aroma asin laut dan suara deburan ombak yang memecah tebing.
Rada berdiri di tepi batu, gaun putih sifon yang tadi dipakai di kolam kini tertiup angin hingga berkibar dramatis di sekelilingnya. Ia menatap laut, menikmati hembusan angin, tapi angin yang semakin kencang membuat kakinya hampir kehilangan keseimbangan.
“Eh—” seru Rada, tapi sebelum sempat menstabilkan diri, tubuhnya tergelincir sedikit ke arah tepi.
Gavin yang berjalan beberapa langkah di belakang langsung bereaksi. Dengan gerakan cepat namun tetap terlihat santai, ia menahan tubuh Rada dari belakang. Tangannya menahan pinggangnya dengan lembut namun kuat, membuat Rada berdiri tegak lagi.
“Hati-hati,” ucap Gavin dengan nada datar, wajahnya tetap tenang, tapi matanya menatap Rada dengan sedikit kekhawatiran yang hanya bisa ia rasakan sendiri.
Rada menatapnya sekejap, sedikit terkejut. “Kamu… tenang banget ya? Biasanya kalau aku hampir jatuh, orang lain pasti panik duluan.”
Gavin hanya mengangkat alis tipis, masih dengan wajah datar. “Kalau panik, kamu juga bakal panik. Jadi mending aku tetap tenang.”
Fotografer yang berada tidak jauh dari mereka, spontan mengarahkan kamera dan memotret momen itu. Tangan Gavin menahan pinggang Rada, angin menerbangkan gaunnya, rambut Rada tertiup ke belakang, dan kedua mata mereka tertangkap dengan ekspresi yang natural namun dramatis. Shutter kamera berbunyi cepat, menangkap adegan yang tak sengaja tapi sempurna untuk foto pranikah.
“Perfect! Awas, jangan bergerak dulu!” teriak fotografer sambil terus memotret. “Ini gaya paling dramatis dari semua spot hari ini!”
Rada menarik napas panjang, menatap laut sebentar sebelum menoleh ke Gavin. “Kamu selalu datar banget… tapi aku tahu sebenarnya kamu khawatir.”
Gavin menatapnya sekilas, wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi tangannya tidak melepaskan pegangan dari pinggang Rada. “Aku hanya memastikan kamu nggak jatuh. Itu saja.”
Rada tidak bisa menahan senyum tipis, merasa sedikit lega. Meski wajah Gavin tetap datar dan dingin, sentuhan itu dan cara dia menahan tubuhnya dengan cepat memberi rasa aman yang tak pernah Rada rasakan sebelumnya.
Fotografer terus mengambil beberapa bidikan lagi, kali ini meminta mereka sedikit menoleh ke satu sama lain, namun Gavin tetap menjaga jarak sopan. Momen itu menjadi salah satu foto terbaik hari ini karena alami, dramatis, dan penuh chemistry yang tak bisa diatur.
...✯✯✯...
^^^Jangan lupa like, komen dan vote guys.^^^