Nasib Si Kayya Yang Miskin

Satya sudah berkeringat dingin saat Jovan memanggilnya. Begitu Satya menemui Nicky, wajahnya sudah sepucat kertas. Dia melihat sendiri aura kemarahan atasannya itu.

"Lihat itu, dan panggil dia. Saya ingin kamu memecat orang ini. Saya tidak mentolerir penindasan apapun terjadi di perusahaan saya."

Satya mengusap keringat di keningnya. Dia begitu gugup dan juga marah. Sebenarnya ada apa dengan perempuan ini? Apakah hidupnya terlalu santai, sampai-sampai dia malah menindas asisten khusus bosnya.

Selama ini siapa yang pernah melihat bos Nicky berjalan berdekatan dengan perempuan, kecuali ibu dan adiknya? Tidak ada. Tetapi sekarang saat ada satu orang perempuan di dekatnya, mereka justru berani mengulurkan tangannya pada gadis itu, sungguh cari mati.

Satya turun ke lantai bawah. Biasanya dia akan menyuruh orang lain, tetapi kali ini dia khusus akan menindaklanjuti kasus ini dengan usahanya sendiri.

Tidak perlu mengetuk pintu, begitu tiba di sebuah ruangan yang berisi dengan kubikel, Satya memanggil seseorang.

"Kamu! Ya, kamu. Ikut saya ke ruangan saya. Ada hal yang perlu saya bicarakan denganmu."

Satya berjalan keluar terlebih dahulu. Orang yang dipanggil tiba-tiba merasakan firasat buruk. Dia menoleh ke arah teman-temannya. Mereka semua menunduk dan tidak berani menatap.

"Lina, cepat ke ruangan saya. Sekarang!" Satya kembali masuk ke ruang kerja itu, karena tak mendapati Lina berjalan di belakangnya.

Lina berjalan menunduk dan ketakutan. "Ada apa, Pak? Kenapa anda memanggil saya?" tanya Lina dengan suara bergetar.

"Saya rasa dengan sikap kamu sekarang ini, kamu sudah tahu apa yang ingin saya bicarakan dengan kamu?"

Satya duduk di atas meja dan menatap lawan bicaranya dengan tajam.

"Kamu tahu, saya bahkan tidak berani berbicara dekat dekat dengan asisten pak Nicky, tetapi kamu, kamu hanya pekerja biasa malah mengulurkan tanganmu begitu jauh. Saya akui kamu adalah orang yang pemberani, kamu berani mengusik asisten pak Nicky. Saya akui keberanianmu itu sungguh luar biasa, tetapi pak Nicky tidak membutuhkan pekerja pemberani sepertimu. Mulai hari ini silahkan tinggalkan perusahaan ini."

Setelah memuji Lina dengan penuh sarkas, Satya tiba-tiba menjatuhkan bom tepat waktu, hingga membuat Lina terkejut.

Lina seketika mengangkat kepalanya dan menatap pak Satya dengan nanar. "Pak Satya saya khilaf, Pak. Tolong beri saya kesempatan. Setidaknya seharusnya ada surat peringatan pertama. Jangan langsung dipecat seperti ini. Pak, saya sudah bekerja di sini lebih dari empat tahun. Beri saya kesempatan lagi, Pak."

Pak Satya tersenyum, tetapi senyumnya tampak seperti senyum meremehkan. "Kamu pikir saya ini siapa? Orang yang meminta kamu untuk dipecat adalah pak Nicky, bukan saya. Saya hanya menyampaikan saja."

"Pak Satya, tolong kali ini saja, saya ingin bicara dengan asisten pak Nicky. Saya akan meminta maaf padanya."

Satya terdiam sejenak. Dia melihat gadis di depannya dengan muram, jika takut kehilangan pekerjaan, kenapa tadi tidak memikirkan dulu resikonya sebelum bertindak.

"Saya tidak tahu, kamu bisa ketemu apa tidak. Saya juga tidak berani bicara. Saat ini pak Nicky marah besar. Seharusnya kamu tahu batasanmu. Pada akhirnya di sini kamu yang dirugikan."

"Tapi itu semua bukan hanya ide saya, Pak. Saya hanya ditugaskah menutup akses. Orang yang mengunci pintu toilet Kayya bukan saya," kata Lina cemas.

Satya sejenak berpikir. Dia menghubungi Jovan dan menanyakan perihal masalah ini. Jovan pun langsung melaporkan semuanya pada Nicky lewat telepon.

Nicky segera menyuruh Jovan untuk memanggil semua orang yang terlibat ke ruangannya.

"Kayya, kamu bisa pulang. Saya hanya tinggal menyelesaikan beberapa dokumen."

Kayya pun segera membereskan pekerjaannya. Insiden tadi sebenarnya membuat Kayya agak bingung. Dia merasa tidak pernah menyinggung siapapun, tetapi kenapa ada orang yang ingin menindasnya.

"Pak, soal masalah tadi di toilet .... "

"Saya akan membereskannya. Lain hari tidak akan ada yang berani menindasmu lagi."

Kayya mengangguk dan tersenyum hangat, "Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi."

Nicky lagi lagi terpana setiap melihat senyuman Kayya. Sampai Kayya menghilang dibalik pintu, Nicky masih mematung.

Kayya berjalan dengan santai dan tidak sempat memperhatikan sekitarnya. Jika dia tahu saat ini jadi pusat perbincangan lagi, mungkin dia akan menunduk canggung.

Sebuah mobil mewah berhenti di depan Kayya. Meski tidak mengenali mobil siapa ini, ia tetap menunggu siapa yang akan keluar dari mobil.

Saat pintu mobil terbuka, Kayya menunduk menatap sepatu pantofel tinggi yang mengkilap keluar perlahan, Tatapan Kayya perlahan naik dan seketika itu matanya bertemu dengan sosok yang dia kenal sebagai kakak kedua Vira.

"Kayya, kamu di sini?" Reivan terkejut melihat keberadaan Kayya. Ia tidak tahu sama sekali jika Kayya bekerja menjadi asisten Nicky.

"Selamat sore, Kak Reivan, saya bekerja di sini."

"Bekerja di sini?" dahi Reivan langsung berkerut. Bukankah kakaknya tidak suka dengan Kayya. Apakah mamanya memaksa kakaknya untuk memberi pekerjaan pada Kayya? Bukankah mamanya bisa meminta pada dirinya atau Varo?

"Kak Reivan, saya permisi dulu, ya."

Kayya segera berlalu. Dia khawatir akan jadi bahan gosip jika berbicara lama-lama dengan adik dari bosnya ini. Kayya tahu dari Vira, Reivan ini sangat pendiam dan menyendiri, meski kata Vira kakak keduanya ini baik sekali, tapi mereka kan keluarga, pasti akan memuji anggota keluarganya sendiri.

Reivan menoleh, memandangi kepergian Kayya dengan pikiran yang agak bingung. Saat Reivan disapa petugas keamanan, barulah dia berbalik dan memasuki perusahaan Nicky.

Kayya berjalan di trotoar sambil sesekali menatap kemacetan kota. Dia merasa bersyukur sekali, sekarang memiliki pekerjaan dan ada rumah yang nyaman untuknya pulang.

Kayya masih belum bisa percaya kehidupannya telah berubah. Dari yang dulunya selalu berada di gang kumuh, kini dia telah menapaki dunia luar. Bahkan terakhir kali dia naik pesawat dan pergi ke luar daerah.

Padahal dulu, jangankan berkhayal bisa naik pesawat. Bisa naik mobil saja seperti mimpi, tapi sejak malam itu, dia merasakan semuanya secara nyata, ia bisa naik mobil, naik pesawat dan dia merasa sangat bersyukur.

Kayya baru tiba di depan rumah, dia melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah. Itu sekarang bukan pemandangan yang mengejutkan lagi baginya.

Kayya masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh Vira. Gadis itu begitu bersemangat bergelayut di lengan Kayya.

"Kamu akhirnya pulang," kata Vira gembira.

"Memang kenapa?" Kayya melepas sepatunya dan menggantinya dengan sendal rumah.

"Aku sudah menunggumu. Aku sudah minta ijin pada mama, aku mau menginap di rumahmu, bukankah besok minggu. Kamu libur kan?"

Kayya tersenyum dan mengangguk, "Ya, seharusnya libur."

"Baiklah, kalau begitu aku akan menginap di sini, Ok!" kata Vira tanpa meminta persetujuan Kayya.