NovelToon NovelToon
Dinikahi Duda Mandul!!

Dinikahi Duda Mandul!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Romantis / Janda / Duda / Romansa / Chicklit
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: Hanela cantik

Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.

Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28

"Bu, ada yang mau aku bicarakan" ucap Yuda duduk di samping ibunya.

"Apa" tanya Lasma tapi fokusnya tak beralih dari acara di televisi.

Yuda tampak gugup saat ingin mengucapkannya. "Aku mau nikah Bu"

Lasma akhirnya menoleh. Remote di tangannya terhenti, matanya membulat menatap Yuda seolah tak percaya.

“Nikah?” ulangnya pelan. “Kamu bilang apa barusan, Yud?”

Yuda menelan ludah, lalu mengangguk mantap. “Iya, Bu. Aku mau nikah.”

Lasma langsung mematikan televisi. Kali ini seluruh perhatiannya tertuju pada putranya. “Sama siapa?” tanyanya cepat, nada suaranya campur aduk antara kaget dan penasaran. “Ibu kok baru dengar? Kamu yakin?”

Yuda menghembuskan napas panjang. “Aku yakin, Bu.”

Lasma menatap wajah Yuda lekat-lekat, mencoba membaca kesungguhan di mata anaknya. “Memangnya kamu sudah siap?” tanyanya lagi, lebih pelan, namun sarat kekhawatiran. “Kamu ingat kan kondisi kamu? Rumah tangga kamu yang dulu juga bukan hal kecil, Yud.”

Yuda menunduk sesaat. “Justru karena itu, Bu. Aku nggak mau sembarangan lagi. Aku sudah mikir panjang.”

Lasma bersandar di sofa. “Terus… perempuan itu siapa? Ibu kenal?”

Yuda tersenyum kecil, senyum yang jarang muncul beberapa waktu terakhir. “Ibu kenal, Bu.”

Kening Lasma berkerut. “Siapa?”

Yuda mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan penuh keyakinan. “Kirana, Bu.”

Lasma terdiam cukup lama setelah nama itu keluar dari mulut Yuda. Wajahnya tak langsung menunjukkan penolakan atau persetujuan. Ia hanya menarik napas dalam, lalu menghela perlahan, seakan sedang menata kata-kata di kepalanya.

“Kirana…” ulangnya pelan. “Ibu tahu dia perempuan baik.”

Yuda menatap ibunya penuh harap, tapi Lasma mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat agar Yuda tidak menyela.

“Kalau kamu sudah bilang mau nikah, berarti kamu harus benar-benar pasti, Yud,” ucap Lasma serius. “Pernikahan itu bukan cuma soal rasa senang atau kasihan. Itu ibadah panjang, seumur hidup.”

Yuda mengangguk pelan. “Aku tahu, Bu.”

Lasma melanjutkan, suaranya lembut tapi tegas. “Kamu juga harus siap menerima seluruh hidupnya. Anak-anaknya, masa lalunya, lelahnya, tangisnya. Jangan setengah-setengah. Kalau nanti ada masalah, jangan sampai kamu mundur.”

Yuda menelan ludah. “Aku sudah siap dengan itu, Bu. Aku menganggap Arka dan Tiara seperti anakku sendiri.”

Mata Lasma sedikit berkaca-kaca. “Ibu senang dengarnya. Tapi satu lagi,” katanya sambil menatap Yuda dalam-dalam. “Kirana juga harus tahu kamu apa adanya. Kondisi kamu. Jangan sampai ada yang kamu sembunyikan.”

“Aku sudah bilang semuanya, Bu. Dari awal,” jawab Yuda mantap.

Lasma tersenyum tipis, lalu menepuk tangan Yuda pelan. “Kalau begitu… jaga niatmu. Jangan main-main dengan hati perempuan. Kalau kamu sudah yakin, datanglah dengan cara baik. Bawa ibu. Melamar dengan terhormat.”

Yuda mengangkat wajahnya, matanya berbinar. “Berarti… ibu restu?”

Lasma menghela napas, lalu tersenyum penuh kasih.

“Ibu merestui kalau kamu sungguh-sungguh, Yud. Semoga Allah mudahkan jalan kalian.”

Yuda tersenyum lebar, dadanya terasa jauh lebih ringan malam itu.

......

Tiara berjalan kecil-kecil menuju rumahnya. Pintu pagar tidak tertutup rapat. Ia hanya berniat mengambil boneka kelinci kesayangannya yang tertinggal di kamar. Lilis masih asyik menonton kartun di rumah Mbak Rita, jadi Tiara berpikir tidak apa-apa pergi sebentar.

Di seberang jalan, sebuah mobil hitam terparkir sejak tadi. Mesinnya mati, kacanya sedikit gelap. Dari balik kemudi, Laura mengamati setiap gerak Tiara. Bibirnya melengkung tipis, matanya menyipit penuh perhitungan.

Ini kesempatanku, batinnya.

Saat Tiara keluar rumah sambil memeluk boneka, Laura segera membuka pintu mobil dan turun. Senyumnya dibuat selembut mungkin.

“Hai, Tiara,” sapa Laura dengan suara manis yang dibuat-buat.

Tiara terhenti. Alis kecilnya mengernyit. Ia tidak mengenal perempuan itu. Naluri kecilnya langsung memberi tanda waspada.

“Tiara mau ke Tante Rita,” jawabnya jujur, lalu melangkah hendak pergi.

Laura segera mendekat. “Tunggu sebentar, sayang. Tante ini temannya mama kamu. Tante disuruh jemput Tiara.”

Tiara menggeleng cepat. “Enggak. Mama nggak bilang apa-apa.”

Senyum Laura sedikit menegang, tapi ia cepat menutupinya. “Mama kamu lagi kerja, kan? Tante mau ajak Tiara beli es krim. Sebentar aja.”

“Enggak mau,” jawab Tiara lebih tegas, lalu mundur satu langkah.

Laura mulai kehilangan kesabaran. Tangannya meraih pergelangan kecil Tiara.

“Aduh, jangan rewel. Tante nggak akan lama,” ucapnya, kali ini nadanya sedikit memaksa.

Tiara berusaha melepaskan tangannya. “Lepasin! Tiara mau pulang!” suaranya mulai bergetar.

Laura menunduk, berbisik di dekat telinga Tiara, suaranya dingin. “Kalau kamu teriak, tante marah.”

Tiara terdiam. Air mata mulai menggenang di matanya. Tubuh kecilnya gemetar ketakutan.

Tanpa memberi kesempatan lagi, Laura membuka pintu mobil dan mendorong Tiara masuk. Pintu itu segera ditutup, terkunci dengan bunyi klik yang terdengar begitu menakutkan bagi Tiara.

Di dalam mobil yang melaju menjauh, tangis Tiara pecah tanpa bisa ditahan lagi. Tubuh kecilnya terguncang-guncang, tangannya memeluk boneka kelinci seolah itu satu-satunya pengaman yang ia punya.

“Hiks… mau Mama… Tiara mau pulang…” isaknya lirih, lalu semakin keras.

Laura yang duduk di kursi depan mencengkeram setir.

“DIAM!” bentaknya tiba-tiba.

Tiara tersentak. Tangisnya berubah menjadi cegukan ketakutan. Bahunya naik turun, napasnya tersengal.

Laura melirik lewat spion tengah, matanya tajam dan dingin. “Tante bilang diam! Kalau kamu nangis terus, tante bisa marah beneran.”

Tiara menutup mulutnya dengan tangan kecilnya, berusaha menahan suara. Air matanya tetap mengalir membasahi pipi, jatuh ke baju kecilnya. Ia menggigil, menempelkan punggung ke jok mobil, matanya memandang kosong ke jendela.

Laura menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sendiri. “Kamu nurut aja, Tiara. Tante nggak akan lama,” ucapnya dingin, tanpa menoleh. “Asal kamu anteng.”

Tiara mengangguk kecil, bukan karena setuju, tapi karena takut. Tangisnya kini hanya berupa isak tertahan, bahunya masih bergetar pelan.

Arka pulang sekolah dengan langkah ringan. Tasnya menggantung di satu bahu, wajahnya cerah karena hari ini gurunya membolehkan pulang lebih cepat. Begitu sampai di depan rumah, ia tidak menemukan Tiara di teras seperti biasanya.

“Tiara?” panggilnya pelan sambil menaruh sepatu.

Tidak ada jawaban.

Arka mengerutkan kening. Ia menoleh ke rumah Mbak Rita, tempat Tiara tadi pagi bermain dengan Lilis. Tanpa pikir panjang, ia berlari kecil ke sana.

“Assalamualaikum, Tante Rita!” serunya sambil berdiri di ambang pintu.

Rita yang sedang melipat baju di ruang tengah menoleh. “Waalaikumsalam. Eh, Arka. Kenapa?”

“Tante… Tiara di mana?” tanya Arka, napasnya sedikit terengah karena berlari.

Rita berhenti melipat. Alisnya terangkat. “Loh? Bukannya Tiara tadi main sama Lilis?”

Arka menggeleng cepat. “Tadi pagi iya, Tante. Tapi sekarang Tiara nggak ada di rumah. Arka kira masih di sini.”

Rita langsung berdiri. Wajahnya berubah serius. “Lilis!” panggilnya agak keras.

Lilis yang sedang menonton TV muncul dari kamar. “Iya, Mah?”

“Kamu tadi main sama Tiara, kan?” tanya Rita.

“Iya, Mah. Tapi Tiara bilang mau ke rumahnya bentar ambil mainan,” jawab Lilis polos. “Habis itu… Tiara nggak balik lagi.”

Jantung Arka langsung berdegup kencang. “Nggak balik?” suaranya mengecil.

Rita saling pandang dengan Arka. Perasaan tidak enak menyelinap cepat.

“Sejak jam berapa itu, Lis?” tanya Rita, nadanya mulai tegang.

“Udah lama, Mah. Sebelum aku makan siang,” jawab Lilis.

Rita menelan ludah. Ia meraih ponselnya dengan tangan sedikit gemetar. “Arka, kamu tunggu di sini ya. Tante telepon Bunda Kirana dulu.”

Arka mengangguk, tapi matanya sudah berkaca-kaca. “Tante… Tiara nggak kenapa-kenapa, kan?”

Rita menatap Arka, mencoba tersenyum menenangkan meski dadanya mulai sesak. “InsyaAllah nggak apa-apa, Nak. Kita cari sama-sama.”

1
Erna Riyanto
hahhh...ikut plong hatiku ...
Evi Lusiana
mewek thor dgr do'any kiran wktu sholat istikharoh,sungguh karakter wanita kuat,dan ttp mnjg iman ny walopun kesepian,kesusahan👍
Evi Lusiana
kiran org baik dn bertemu jodoh yg baik
Ds Phone
marah betul tak ada ampun
Ds Phone
orang kalau buat baik balas nya juga baik
Ds Phone
baru bunga bunga yang keluar
Ds Phone
mula mula cakap biasa aja
Ds Phone
terima aja lah
Ds Phone
orang tu dah terpikat dekat awak
Ds Phone
orang berbudi kitaberbads
Ds Phone
dia kan malu kalau di tolong selalu
Ds Phone
tinggal nikah lagi
Ds Phone
terlampau susah hati
Ds Phone
dia tak mintak tolong juga tu
Ds Phone
orang tak biasa macam tu
Ds Phone
senang hati lah tu
Ds Phone
dah mula nak rapat
Ds Phone
emak kata anak kata emak sama aja
Ds Phone
dah mula berkenan lah tu
Ds Phone
itu lah jodoh kau
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!