Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui celah tirai kamar yang tak pernah benar-benar terbuka. Rafael berdiri di depan jendela dengan jas hitam yang sudah rapi melekat di tubuhnya. Wajahnya seperti biasa. dingin, tegas, dan tak menyisakan celah bagi keraguan.
“Aku harus pergi keluar kota. Ada urusan yang harus kuselesaikan,” ucapnya tanpa menoleh pada Dewi yang duduk di tepi ranjang, matanya masih sembab karena malam-malam tanpa tidur.
Dewi menatap punggung Rafael yang seolah menjadi dinding batu yang tak bisa ia lewati. Suaranya nyaris berbisik saat ia menjawab, “Kapan kamu kembali?”
Rafael menghela napas pendek. “Tak lama.” Kemudian ia melangkah pergi, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara.
Saat pintu tertutup, Dewi menunduk dalam diam. Hatinya bergejolak. Ia tahu apa yang Rafael maksud dengan “urusan”. itu selalu berarti darah, mayat, dan tangisan yang tak terdengar oleh dunia. Dan saat itu pula ia sadar... jika Rafael tidak akan pernah berubah, maka dia lah yang harus berubah.
Malam pun tiba.
Langit tak bersahabat, awan hitam menggantung seperti pertanda bencana. Di dalam ruang bawah tanah, para tawanan masih dalam kurungan, luka dan ketakutan menjadi teman abadi mereka. Sementara itu, Dewi bersiap. Ia mengenakan jaket tebal, menyembunyikan tongkat baseball di dalamnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, bukan karena takut ketahuan, tapi karena ia tahu... malam ini bisa jadi akhir dari hidupnya.
Dia mengendap menuruni anak tangga menuju penjara bawah tanah. Hanya ada satu penjaga di sana, seperti yang ia harapkan. Lelaki itu duduk malas dengan rokok di tangan, sama sekali tak menyadari bahaya yang tengah mendekat.
Brak!
Tongkat menghantam keras kepala penjaga itu. Sekali. Dua kali. Tiga. Darah muncrat ke lantai. Lelaki itu tersungkur, meronta dengan napas terakhirnya sebelum akhirnya pingsan, mungkin mati.
Dewi berdiri di atasnya, terengah. Matanya liar, bibirnya gemetar.
“Maaf... aku tak punya pilihan.”
Ia mengambil kunci dari tubuh penjaga itu. Tangannya bergetar. bukan karena takut, tapi karena ia tahu, setiap kunci yang dibuka malam ini adalah surat kematiannya sendiri.
“Klik.”
Satu per satu, ia membuka sel.
Para tahanan terkejut, bingung, dan ketakutan. Mata-mata kosong yang telah kehilangan harapan kini menatap Dewi dengan campuran tanya dan haru.
“Cepat... keluar dari sini,” ucap Dewi dengan suara parau.
“Larilah... sejauh mungkin. Aku akan menggantikan nyawa kalian dengan nyawaku sendiri.”
Mereka tetap berdiri membeku.
Dewi berteriak,
“Pergi! Jangan lihat ke belakang! Kalau kalian tertangkap lagi, kalian tahu apa yang akan terjadi!”
Seorang gadis kecil yang kurus kering menggenggam tangan Dewi, matanya berlinang.
“Kakak, ikutlah dengan kami…”
Dewi menunduk, menyentuh kepala gadis itu dengan lembut.
“Aku tidak bisa. Tapi kamu bisa hidup, kamu bisa bebas. Jangan sia-siakan kesempatan ini…”
Satu per satu, para tahanan mulai berlari. Suara langkah mereka bergema di lorong, menggema seperti bisikan kebebasan. Dewi berdiri di tengah ruang penjara yang kini kosong, kecuali tubuh penjaga yang tak sadarkan diri. Tangannya masih memegang tongkat yang kini berlumur darah. Hatinya hancur tapi teguh.
Ia tahu, saat Rafael kembali dan mengetahui semua ini, kemarahan pria itu akan membakar dunia. Tapi ia tidak peduli.
Air mata menetes dari matanya.
“Aku tidak ingin jadi penonton lagi saat orang-orang tak berdosa dibunuh di hadapanku. Kalau harus ada yang mati, biarlah aku yang menggantikannya…”
Malam itu, di balik ketenangan semu, tak ada yang tahu bahwa seorang perempuan telah memilih untuk menantang bayangan paling kelam dari hidupnya.
Dan dunia Rafael... baru saja retak untuk pertama kalinya.
...
Beberapa hari berlalu sejak Rafael meninggalkan rumah. Pagi itu, langit tampak suram, seolah merasakan badai yang akan segera datang. Langkah kaki Rafael terdengar tenang saat memasuki rumah besarnya yang sunyi. Sepatu kulitnya menginjak lantai marmer, menggema seperti gema kehancuran yang mendekat.
Baru saja ia melepas sarung tangannya, seorang anak buah berlari tergesa menghampiri, wajahnya pucat pasi.
“Tuan Rafael… kami… kami punya laporan penting,” ucapnya terbata.
Rafael mengangkat alis tanpa berkata. Tatapannya tajam menusuk, cukup untuk membuat pria itu gemetar sebelum melanjutkan.
“Semua tahanan di sel… mereka melarikan diri.”
Sunyi. Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir Rafael. Hanya sorot matanya yang berubah, perlahan menjadi tajam seperti bilah pisau yang baru diasah. Tapi wajahnya tetap dingin, tak tersentuh emosi. itulah yang paling menakutkan.
“Siapa yang berani melakukan ini?” tanyanya datar, seakan pertanyaan itu bukan permintaan penjelasan, tapi hukuman yang tertunda.
Anak buahnya saling pandang dengan gugup. Lalu, salah satu dari mereka menjawab dengan suara nyaris tak terdengar,
“Itu… Nona Dewi, Tuan.”
Sunyi lagi. Lebih mencekam dari sebelumnya.
“Bawa dia ke hadapanku. Sekarang,” perintah Rafael pelan, tapi jelas. Suaranya mengandung bara yang siap membakar siapa pun.
Di kamar, Dewi duduk di tepi ranjang. Wajahnya pucat, matanya sembab, namun ada api di balik tatapan itu. api yang terbakar karena rasa bersalah dan keberanian yang putus asa. Tangan kanannya menggenggam erat pisau dapur yang ia selipkan di balik bajunya. Ia tahu. hari ini adalah hari penentuan.
Pintu dibuka kasar. Dua orang pria bertubuh kekar masuk dan menariknya keluar tanpa banyak bicara. Dewi tidak melawan. Ia hanya menunduk, langkahnya berat, tapi hatinya sudah bulat.
Sesaat kemudian, ia berdiri di hadapan Rafael.
Pria itu menatapnya lekat, lama, sebelum berkata dengan suara yang nyaris tanpa emosi, “Kau tahu konsekuensinya jika menentang aturanku, Dewi.”
Dewi menunduk. Tubuhnya bergetar pelan. Tapi ia tak berkata sepatah kata pun.
Rafael menghela napas perlahan, lalu memerintahkan,
“Kumpulkan semua penjaga. Semua pekerja. Sekarang.”
Dalam waktu singkat, halaman rumah Rafael dipenuhi wajah-wajah ketakutan. Para pelayan, penjaga, koki, dan pekerja lain berdiri berjajar, menunduk, takut menatap langsung mata pria itu.
“Pilih satu,” ucap Rafael tiba-tiba pada Dewi.
Dewi menatapnya, bingung.
“Apa?”
“Pilih satu dari mereka. Satu saja. Yang akan menerima hukuman untuk pengkhianatanmu.”
Wajah Dewi langsung pucat.
“Tidak…” bisiknya. “Aku tak mau ada yang mati lagi karena aku.”
Rafael menyunggingkan senyum kecil yang tak sampai ke matanya.
“Kalau begitu, aku yang akan memilih.”
Ia melangkah perlahan ke depan barisan, jarinya mengarah satu per satu, seperti malaikat maut tengah menunjuk siapa yang harus menjemput ajalnya. Lalu, jarinya berhenti pada seorang pelayan wanita muda yang berdiri paling ujung. Tubuhnya gemetar hebat.
“Kau tahu apa yang akan dia rasakan, Dewi,” bisik Rafael.
Dewi menahan napas. Dadanya sesak. Ia melirik wanita itu. pelayan muda itu menunduk, tubuhnya berguncang.
“Jangan…” bisik Dewi.
“Tolong… jangan lakukan apapun padanya.”
Tapi Rafael tak peduli.
“Bawa dia ke ruang bawah tanah,” perintahnya. “Ke kandang harimau.”
“JANGAN!” teriak Dewi, suaranya pecah. Ia menarik napas cepat, lalu menghunus pisau dari balik bajunya dan mengarahkannya ke lehernya sendiri.
Seluruh orang yang ada di sana menahan napas.
“Aku bilang… jika harus ada yang mati… biar aku saja!” ucap Dewi gemetar, air mata jatuh dari sudut matanya. Pisau itu menempel erat di kulit lehernya.
Rafael menatap tajam. Alisnya terangkat, suaranya rendah, mencibir,
“Coba saja.”
Lalu...
“Srakkk…”
Dewi benar-benar menekan pisau itu. Darah langsung mengucur dari luka di lehernya, membasahi baju dan tangannya. Nafasnya tercekat, matanya berkedip pelan menahan sakit, tapi ia tetap berdiri tegak.
Wajah Rafael berubah. Matanya melebar, napasnya memburu. Ia melangkah cepat, meraih tangan Dewi dan merebut pisau itu lalu melemparkannya jauh, mengenai vas di sudut ruangan hingga pecah berkeping-keping.
“Apa yang kau lakukan?!” bentaknya, suara yang biasanya tenang kini penuh ledakan emosi.
Dewi terhuyung, tubuhnya gemetar hebat. “Aku… lebih baik mati… daripada melihat orang lain disiksa karena aku…” katanya lirih.
Tiba-tiba, Rafael mengayunkan tangannya ke dinding.
Brakkk!
Dinding semen itu retak. Tangannya berdarah. Tapi ia tak peduli. Ia menghancurkan meja, melempar kursi, dan menendang pintu dengan amarah membara.
“Kenapa?! Kenapa kau selalu menantangku?!” teriak Rafael, matanya merah.
Dewi menangis, berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki.
“Karena aku masih punya hati! Karena aku… manusia, Rafael! Aku tidak bisa menutup mata lagi saat kau menyiksa orang-orang tak bersalah!”
Rafael terdiam. Nafasnya tersengal. Tangannya mengepal penuh darah.
Suara langkah kaki para pelayan yang membawa pelayan muda menjauh berhenti.
“Bawa dia kembali,” ucap Rafael akhirnya, pelan… dan dingin.
Semua orang terdiam. Bahkan angin pun seperti berhenti berhembus.
Dewi jatuh berlutut. Luka di lehernya masih mengalirkan darah, tapi ia tersenyum… meski lemah. Ia tahu, meski belum menang, ia sudah berhasil membuat retakan pertama dalam dinding baja bernama Rafael.
Dan untuk pertama kalinya…
Rafael merasa takut.
Bukan pada musuhnya. Tapi pada perempuan yang berdiri di hadapannya dengan luka… dan keberanian yang nyaris membunuh dirinya sendiri.