“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Alasan Baru
Rima terkejut sepersekian detik, lalu tertawa kecil, ringan tapi menusuk. “Selain suami pertamaku, mereka hanya pria-pria brengsek. Numpang hidup enak, tak layak dipertahankan. Tapi aku yakin… kamu bukan pria seperti mereka.”
Ardi menghela napas, menatap lurus tanpa menoleh lagi. Suaranya datar, dingin. “Aku bukan orang yang suka memanfaatkan orang lain. Tapi aku juga tidak bisa menjanjikanmu kebahagiaan. Apalagi cinta.”
Rima terkekeh lirih. Tawa yang lebih mirip bisikan tantangan.
“Kita lihat saja nanti,” ujarnya penuh percaya diri.
Ia mendekat sedikit, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Cepat atau lambat… kau akan berpaling padaku. Karena pada akhirnya, hanya aku yang bisa memberimu apa yang dia tidak bisa.”
Ardi terdiam. Rahangnya mengeras, matanya tetap menatap jauh. Dalam hatinya, hanya satu kalimat yang bergaung:
"Tak ada yang bisa menggantikan Kemala."
***
Usai menjalani cuci darah dan menebus obat, Rima mengajak Ardi dan Kemala singgah di sebuah restoran untuk makan siang sekaligus membicarakan kesepakatan mereka.
Restoran itu lengang. Mereka duduk di sudut yang agak tersembunyi, jauh dari hiruk pikuk pengunjung. Rima membuka percakapan dengan nada percaya diri, “Kalian bisa pesan apa saja.”
Ardi dengan telaten memilihkan menu khusus untuk Kemala. Saat makan, tangannya cekatan, wajahnya serius, memastikan istrinya tak salah makan. Rima tersenyum kaku. Ada semburat cemburu yang ia sembunyikan di balik senyum penuh percaya diri.
Usai makan, Rima mengeluarkan map dari tasnya dan menyodorkannya ke meja.
“Ini perjanjian kita sebelum menikah,” ucapnya, nada suaranya tenang tapi sarat dominasi.
Ardi membuka map itu. Dengan sengaja ia mendekatkan dokumen ke arah Kemala, seolah berkata:
“Kau bagian dari ini. Aku tak akan sembunyikan darimu.”
Isinya sesuai yang pernah Rima katakan. Biaya cuci darah Kemala akan ditanggung Rima. Namun, alis Ardi terangkat ketika sampai pada poin kedua.
“Jadi… aku harus mengurus usahamu?” tanyanya datar.
“Tentu saja,” jawab Rima ringan, bibirnya tersenyum tipis. “Saat kau jadi suamiku, wajar bukan kalau kau membantuku? Lagipula, kau tidak punya pekerjaan tetap. Akan lebih baik kalau kau mengurus usahaku.”
Ardi terdiam sejenak. Rahangnya mengeras. “Aku punya tanggung jawab menafkahi keluargaku.”
Rima menyandarkan tubuh ke kursi, tatapannya bergeser sekejap pada Kemala lalu kembali ke Ardi. “Soal biaya hidup, biar aku yang tanggung. Kalian bisa tinggal di rumahku, makan-minum pun kucukupi. Tak perlu lagi tinggal di kontrakan pengap itu. Jadi… kau tak perlu risau soal tanggung jawabmu pada Kemala dan anakmu.”
Suasana meja seketika hening. Hanya denting sendok dan percakapan samar dari meja-meja jauh di dari mereka.
Ardi menatapnya tajam. Suaranya rendah, tapi dingin menusuk.
“Kalau kita tinggal serumah… kau pikir itu tidak akan menyakiti hati istriku?”
Rima kembali tersenyum. “Kau justru akan lebih mudah menengok istri dan anakmu. Kau tidak kehilangan siapa pun, Ardi. Hanya berpindah rumah.”
Tatapannya menusuk Kemala, senyum itu terlalu manis untuk disebut tulus.
Kemala menghela napas pelan. Dalam hati, ia bergumam getir. "Kau sengaja, Rima. Kau ingin aku hancur perlahan, ingin aku kalah secara perlahan. Tapi sayang… aku tak akan memberimu kepuasan itu."
Ardi menggeleng keras. “Aku tidak setuju.”
Rima mengangkat alis, bibirnya melengkung licik. “Kalau begitu, anggap saja cuci darah tadi sebagai hutang. Tapi…” ia mencondongkan tubuh, tatapannya penuh tantangan. “...apa kau yakin bisa membiayai cuci darah Kemala dua minggu lagi?”
Rahang Ardi mengeras, jemarinya mencengkeram map itu terlalu kuat.
Kemala menaruh tangannya di lengan Ardi. Sentuhannya lembut, menenangkan. “Tak apa kalau aku dan Kevia harus tinggal di rumahnya,” ucapnya pelan, senyum tipis terukir di bibirnya.
Ardi menoleh cepat. “Tapi—”
Kemala menatapnya penuh keyakinan, meski tubuhnya ringkih. “Tubuhku mungkin lemah, tapi tidak dengan hati dan tekadku. Bukankah kau masih ingin aku hidup lebih lama bersamamu dan Kevia?”
Ardi tercekat, dadanya sesak oleh keteguhan yang ia lihat di mata istrinya.
"Ya Tuhan," batinnya, "...kenapa ketenanganmu justru lebih menyayat hatiku daripada tangisanmu?"
Kemala tersenyum. Senyum kecil yang rapuh, tapi mengandung keteguhan. Dalam hatinya ia berkata,
"Rima, kau pikir aku akan runtuh? Tidak. Justru kau yang memberiku alasan baru untuk bertahan. Aku ingin hidup lebih lama, bukan hanya demi Ardi… tapi terutama demi Kevia. Putri kecilku. Dan kalaupun suatu hari Ardi berpaling, aku masih punya Kevia. Buah hatiku. Cinta sejatiku. Itu cukup bagiku untuk tetap menegakkan kepala di hadapanmu."
Ardi menggenggam erat jemari Kemala, seolah ingin meminta maaf karena tak bisa melindunginya sepenuhnya.
Dan di hadapan Rima yang tersenyum penuh percaya diri, Kemala justru menatapnya balik dengan tenang. Bukan dengan amarah, tapi dengan keteguhan seorang istri dan ibu.
Seolah berkata, "Kau boleh menusukku dengan kata-kata, tapi aku akan tetap berdiri. Aku tidak akan kalah."
***
Taksi berhenti di depan gang rumah kontrakan kecil mereka. Ardi buru-buru membayar, wajahnya tegang sepanjang perjalanan. Ada banyak yang ingin ia bicarakan dengan Kemala, tapi jelas bukan di tempat itu. Supir taksi di depan terlalu dekat untuk dijadikan saksi obrolan pribadi mereka.
Jam baru menunjukkan pukul satu siang ketika Ardi dan Kemala masuk ke rumah. Suasana terasa sepi. Wajar, Kevia memang belum pulang sekolah pada jam segini. Ardi pun segera menoleh ke arah Kemala.
Ia melepas napas panjang, kasar. “Kemala…” suaranya berat. “Kenapa kau setuju tinggal di rumahnya? Kau tahu siapa Rima. Kau tahu kata-katanya…” Ia terhenti, rahangnya mengeras. Seakan tak sanggup melanjutkan karena terlalu marah.
Kemala hanya tersenyum kecil. Senyum lemah, tapi ada ketenangan aneh di sana. Ia meraih lengan suaminya, jemari ringkihnya menenangkan.
“Kalau aku menolak… kalian tak akan pernah menikah,” ucap Kemala pelan, menatap Ardi penuh kelembutan. Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan lirih, “tapi, katakan padaku, Ardi… apa kau benar-benar ingin mundur dari pernikahan itu?”
Ardi mengembuskan napas berat, kasar, seolah dadanya sesak. “Kalau aku mundur, bagaimana dengan biaya cuci darahmu?” Jemarinya mengusap wajahnya yang tegang. “Aku ingin kau tenang, Mala. Tapi kalau kita tinggal di rumah Rima… aku takut kau bukan hanya sakit tubuh, tapi juga hatimu.”
Mata Ardi bergetar, memandang istrinya dengan perasaan bercampur antara cinta, bersalah, dan takut kehilangan.
Kemala menggenggam tangannya, suaranya pelan tapi mantap, “Ardi… kalau kita memilih terpisah, apa kau yakin Rima akan berhenti mengusik kita? Dia tak akan membiarkan aku dan Kevia hidup tenang. Jadi biarlah… aku memilih bertahan. Aku tak akan menyerah. Demi kau… dan demi Kevia.”
Ardi terdiam. Tangannya terulur menggenggam tangan istrinya erat-erat.
“Kemala…” gumamnya lirih.
Ia menatap dalam mata istrinya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Bukan pasrah, bukan sekadar menerima. Ada kilat tekad, ada api kecil yang menyala di sana. Sesuatu yang membuat dada Ardi sesak, campuran harapan dan ketakutan.
Jika mereka tinggal di rumah Rima nanti… apa Kemala benar-benar sanggup? Apa perempuan ini tidak akan semakin hancur?
Ardi menunduk, mencium jemari rapuh itu, lalu berbisik, “Semoga kau cepat mendapatkan donor ginjal… agar kita bisa kembali hidup bertiga, seperti dulu.” Ia kemudian merengkuh tubuh istrinya, memeluk erat seakan takut kehilangan.
Kemala bersandar di dadanya, menghirup aroma yang begitu akrab. Hangat. Nyaman. Tapi hatinya justru semakin getir.
“Ardi…” bisiknya pelan, “apa kita tak berdosa… menjadikan pernikahan hanya untuk membayar biaya pengobatanku?”
Pelukan Ardi mengeras. Suaranya pecah, rendah namun penuh keyakinan. “Aku tak bisa hidup dengan wanita yang tak kucintai. Jangan pernah ragukan itu.”
Kemala terdiam. Dadanya perih mendengar kalimat itu. Indah, sekaligus menyakitkan. Ia tahu Ardi mencintainya. Tapi bagaimana nanti, setelah ia dan Rima resmi menikah? Akankah cinta itu tetap sama?
Kemala memejamkan mata, menahan air bening yang nyaris jatuh. Dalam hatinya ia berbisik, “Andai suatu hari kau berpaling… aku akan belajar mengikhlaskan, meski perih. Asal kau bahagia, aku rela. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku. Terima kasih, Ardi…”
Dalam pelukan hangat itu, Kemala tersenyum tipis. Senyum yang tak lagi rapuh. Senyum seorang perempuan yang sudah memilih untuk tetap bertahan, seberat apa pun jalan di depannya.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
TIIINNN!!!
CKKIITTT!!!
“Akh!”
Kevia terperanjat. Ketika menoleh, matanya menangkap kilatan lampu depan mobil yang melaju cepat ke arahnya. Jaraknya terlalu dekat. Dunia seakan berhenti sejenak.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....