Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi Liar
"Tak akan kubiarkan pelakor jahat itu menang! Jika dia menggunakan sihir agar kami sebagai suami istri saling benci, maka kugunakan strategi paling liar yang terpikirkan di kepalaku!"
Mala menatap wajahnya di cermin, berbicara sendiri dengan senyum sinis pada wujudnya sendiri. Pada pantulan cermin, rambut basah habis keramas menjuntai, menetes, mengaliri tubuh tanpa busana.
Sementara Bram tertidur pulas di ranjang, senyum puas menghias bibirnya yang baru saja melumatkan bibir Mala tanpa ampun.
Rasa jijik menggerogoti benak Mala, melihat Bram suaminya berhasil menidurinya untuk pertama kali sejak Bram secara tak langsung mengaku berselingkuh. Penyatuan dengan Mala membuat Bram bahagia tapi tidak dengan Mala. Dikenakan kembali kimono mandi, membalutkan pada tubuh bergetar yang baru saja menjadi umpan strategi liarnya.
Datang menyerobot menggunakan umpan seksual, sudah sepantasnya diambil kembali dengan umpan yang sama— pendapat Mala untuk pelakornya.
Itu memang sudah rencana Mala mengalahkan pesona pelakor pada diri Bram. Walau merasa terpaksa, merasa mual dan malu pada diri sendiri.
Kemarin itu tak sulit bagi Mala untuk bersikap biasa saja. Karena ia tak melakukan hubungan dengan Bram. Tetap berbicara santai kendati tahu suaminya memilki wanita di luar rumah. Namun sekarang ...
Ternyata sesulit ini ya, melakukan penyatuan dengan orang yang membuat muak.
Sisi lain perasaannya menolak, sisi lain menyadari Bram adalah suaminya. Mala lebih berhak dari siapa pun untuk melakukan penyatuan dengan Bram.
Tengah mengeringkan rambut, hidung Mala menangkap bau tak sedap. Mala mengendus kabel hairdryer, apa ini bau kabel panas?
Ternyata tidak, ini lebih menyerupai aroma busuk pakaian tak kering. Bau kaus kaki basah. Hidung Mala mencari-cari sumber bau tak sedap ini. Tetap tak ditemukannya sumber bau. Dengan masih menggunakan kimono mandi serta rambut yang masih setengah kering, Mala mendekati suami yang masih tergeletak di ranjang. Merapalkan doa dan mengusap ubun-ubun Bram serta menyapukan telapak tangan ke wajah.
Bram merasakan sentuhan lembutnya, membuka mata dan tersenyum pada Mala.
"Hei, sayang. Wangi sekali!" Bram bangkit dan mengendus tubuh Mala.
Memang aku menyemprotkan banyak parfum, memakai lotion, mengusap hair vitamin untuk rambut agar aroma tubuhmu menghilang dari tubuhku.
"Apa aku wangi sayang?" Mala bertanya. Nada yqng dibuat manja hingga Mala geli pada dirinya sendiri.
"Iya, wangi sekali."
"Oh, bukannya kamu bilang aromaku seperti nenek-nenek?" sindir Mala sambil mengerlingkan mata.
"Umm, setelah sembuh dari sakit kemarin, kamu jadi berbeda, Mah!" ujar Bram sembari terus ngusel-ngusel ke lengan Mala.
Mala tidak menaggapi. Jika Bram kini melihatnya berbeda apakah dikarenakan buhul sihir telah dihancurkan ayah Mala? Pertanyaan itu berlompatan di kepala Mala. Mengingat lagi penuturan ayahnya mengenai wanita yang ingin mencelakainya dan membuat pikiran Bram tak realistis saat melihat istrinya.
Hmm, orang itu ada gunanya juga, pikir Mala.
***
Braak!
Nana membanting ponsel. Bram sama sekali tak menjawab panggilan juga membalas pesannya.
Mengambil lagi ponsel yang menjadi korban naik pitamnya. Lantas rasa marah membuatnya tak terkontrol lagi ketika menekan ponsel untuk mengirim pesan.
Nana memutuskan untuk melakukan panggilan, dan ...
"Apa setan-setan yang anda kirimkan tidak berhasil membinasakan wanita itu, heh?" tanya Nana kasar pada seseorang di seberang telepon.
"Wanita itu bukan orang biasa," ucap suara di seberang.
"Omong kosong! Dia sudah sangat lemah, bagaimana mungkin dia bisa kembali bangkit, hah?!"
Nana naik pitam, mendengarkan alasan yang baginya tak masuk akal. Yang dia tahu istri Bram itu lemah, tak pandai bergaul dan anti sosial. Seharusnya sangat mudah menghancurkan wanita yang sendirian tak memiliki siapa pun untuk mendukungnya. Bram telah menceritakan semua pada Nana. Kekesalannya pada istri dan keluarga istrinya.
"Aaaarghh, hal aneh terjadi ketika wanita itu pulang dari rumah sakit," geram Nana meremas rambut di kepala.
"Mengapa dia jadi lebih kuat??" gerutu Nana tak habis pikir.
Nana sangat tersinggung ketika Bram meninggalkanya di kedai sop buntut. Lebih murka lagi Bram pulang ke rumah dengan membawa sebungkus sop buntut. Ada siapa lagi di rumah mereka jam segini, itu pasti buat istrinya. Rasa marah tak tertahan di hati Nana. Ingin mengejar Bram tapi gengsi masih menahannya. Tapi pikirannya berontak memainkan rol film bergulung-gulung. Berisi adegan mesra Bram dan istrinya yang Nana takuti.
Jika Bram kembali berhubungan dengan istrinya, apa pengaruh sihirnya akan hancur? Bisik kepala Mala meronta-ronta tanya. Tanya yang hanya bisa Nana lempar kepada dukun yang ia bayar untuk membuat suami istri itu saling membenci. Sayangnya dukun itu tidak memberikan jawaban memuaskan untuk Nana.
"Percuma aku bayar mahal!" pekik Nana kembali membanting ponsel.
"Awas, kamu Bram!" Nana menjerit-jerit sendiri di kamar. Mengutuki Bram dengan sumpah serapah paling rumit.
Sumpah dari wanita obsesif terlalu rumit dan berbelit. Ingin memperbudak jiwanya, ingin menguasai raganya, benci pada apa pun yang lebih jadi pusat perhatian Bram selain dirinya.
Nana, melempar apa saja pada cermin meja rias yang memantulkan wajah menangisnya. Sampai sebuah notifikasi menarik tangisan itu kembali.
Notifikasi pesan dari suami yang tak pulang lebih dari sebulan.
Perhatian Nana teralihkan. Begitu cepat, begitu mudah. Ada mainan baru untuknya. Ini lebih penting karena berhubungan dengan sumber uangnya. Segera menekan nomor yang dihafal luar kepala sampai tak mau simpan nama pemilik kontak itu di ponselnya.
"Iya, Papi. Pulang besok malam? Apa urusan di Sydney sudah beres? Okey, Mami tunggu, ya, Pap!"
Panggilan dimatikan.
Tangis Nana berganti tawa. Melupakan sejenak kecemburuannya pada istri Bram.
"Silakan kaunikmati suamimu, Mala! Mari beberapa hari ke depan kita fokus pada suami kita masing-masing, nanti kalau suamiku pergi, kuambil lagi suamimu, ha-ha-ha!"
Tawa Nana membahana. Sebuah tawa yang dapat dirasakan Mala seketika, walau jauh di tempat berbeda. Desir halus merambati dada telanjangnya. seluruh indra terjaga. Lebih awas, lebih peka, lebih terbuka dengan hal-hal yang hanya bisa dirasakan oleh mata batin saja.
Mala hendak meraih kimono, tadi Bram menariknya hingga terlepas. Katanya mau ronde ke dua. Jelas Mala menolak, dikenakan kembali kimono warna putih itu. Mala beringsut menjauhi Bram.
Ho-ho-ho, tak semudah itu Bram. Kaupikir aku ini Mala yang dulu yang menuruti apa pun kehendakmu ... dan lagi perasaan aneh memang datang hinggap secara tiba-tiba. Seolah peringatan dari pelakor jahat itu mampir ke dalam kepala Mala.
Mala mengikat tali kimono mandinya kencang. Memunggungi Bram yang tengah merengek, berjalan santai keluar kamar. Mala berdalih, sebentar lagi waktunya menjemput Mia dari sekolah.
Bram tak berkata-kata lagi. Saat Mala menyinggungnya mengapa tak kembali kerja, sikap Bram merengut dan mengeluarkan kalimat yang Mala sebal.
"Memangnya nggak boleh? Sesekali 'kan aku ingin santai di rumah."
Hmm, aku sudah menduga, kira-kira setelah ini apa yang Bram lakukan?
"Mah, kita pergi ke mall, yuk! Beli baju buat kamu dan anak-anak," ajak Bram.
Mala tersenyum simpul. "Tumben!" selorohnya.
"Ih, apa sih Mah! Emang salah ya suami beliin anak dan istrinya?"
"Tumben sadar!"
"Apa, Mah?"
"Enggak!"
...ΩΩΩΩ...