Seorang wanita mendatangi klinik bersalin di tengah malam buta. Wanita itu meringis menahan rasa sakit. Sepertinya dia ingin melahirkan.
Setelah mendapatkan pertolongan dari Bidan, kini wanita itu menunggu jalan lahir terbuka sempurna. Namun, siapa sangka ia akan di pertemukan oleh lelaki yang sengaja ia hindari selama ini.
"Lepas, Dok! Aku tidak butuh rasa kasihan darimu, tolong jangan pernah menyakiti hatiku lagi. Sekarang aku tak butuh pria pengecut sepertimu!" sentak wanita itu dengan mata memerah menahan agar air mata tak jatuh dihadapannya.
"Alia, aku mohon tolong maafkan aku," lirih lelaki yang berprofesi sebagai seorang Dokter di sebuah klinik bersalin tempat Alia melahirkan. Lelaki itu menatap dengan penuh harap. Namun, sepertinya hati wanita itu telah mati rasa sehingga tak terusik sedikitpun oleh kata-kata menghibanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jiwa Alia
"Alia, aku mohon maafkan aku, tolong jangan bicara seperti itu," ucap Hanan masih memohon dengan mata berkaca-kaca.
Alia mengabaikan ucapan Hanan, ia segera menuju ruang rawat bayi, dimana malaikat kecilnya yang sudah tak bernyawa. Dengan tubuh bergetar Alia mendekati putrinya telah terbujur.
Alia tersenyum getir melihat pemandangan itu. Hatinya benar-benar hancur lebur. Dengan perlahan Alia meraih tubuh mungil putrinya dengan isakan kecil, bibirnya bergetar sembari mengecup seluruh wajah bayi malangnya.
"Anak Ibu kenapa tega meninggalkan Ibu, Nak? Bukankah kamu sudah berjanji untuk selalu bersama Ibu?" ucap Alia masih tersedu-sedu mendekap jasad bayinya.
"Ibu percaya kamu tidak akan mungkin pergi meninggalkan Ibu, kamu hanya bobok saja kan, Nak? Ayo bangunlah Sayang." Alia masih berusaha mengusak wajahnya di tubuh bayi itu.
"Ibu Alia, sabar ya. Tolong ikhlaskan kepergian bayi Ibu," ucap Dokter anak yang berdiri tak berapa jauh dari Alia.
"Tidak, Dok. Bayi saya masih hidup. Dia hanya tidur saja," Alia masih menimang bayinya dengan senyum hampa.
Hanan dan Hendra menatap dengan perasaan sedih. Hanan tak kuasa menahan diri, hatinya benar-benar sakit melihat pemandangan itu.
"Alia, aku mohon ikhlaskan kepergian bayi kita," ucap Hanan ingin meraih bayi yang ada dalam gendongan wanita itu.
"Tidak! Aku katakan bayiku hanya tidur saja. Pergi kamu Hanan!" sentaknya mengibaskan tangan Hanan dengan keras.
Alia masih meracau sembari menimang bayi yang telah meninggal dunia. Hendra mendekat pada Hanan.
"Han, sepertinya kejiwaan Alia terguncang, ayo sekarang ambil bayimu, dan segera kita urus pemakamannya," ucap Hendra meminta Hanan sedikit tega mengambil jasad bayi mereka.
Hanan menguatkan hatinya, air mata yang mengambang di pelupuk mata segera ia hapus. Hanan kembali berjalan mendekati Alia yang masih bicara dengan hayalan belaka.
"Anak Ibu bobok yang nyenyak ya, sebentar lagi kita akan pulang. Kamu cepat besar, tidak boleh rewel. Hihi, kamu itu cantik sekali. Ibu sayang sekali sama kamu, Nak," ucapnya dengan tawa dan sedih.
Hanan segera mengambil bayi itu secara paksa dari pelukan Alia. Meskipun hatinya sedih dan sakit melihat keadaan Alia. Namun, ia harus tega demi kebaikan kondisinya yang sudah mulai tak stabil kenormalan jiwanya.
"Apa yang kau lakukan Hanan? Berikan bayiku!" pekiknya ingin kembali meraih bayi yang ada dalam gendongan Hanan.
Hanan memberikan pada Hendra untuk segera mengurus kepulangan jenazah bayi tak berdosa itu.
"Hen, tolong urus kepulangan jenazah bayi kami. Ini alamat kediamanku. Aku mengurus Alia dulu, dan secepatnya aku akan menyusul pulang.
"Baiklah, kamu urus Alia. Biar aku yang akan mengurus semuanya dikediamanmu," sahut Hendra.
Hendra dan Dokter yang lainnya segera membawa bayi itu keluar dari ruangan bayi. Jangan ditanya bagaimana histerisnya Alia saat ditinggalkan oleh bayinya.
"Jangan ambil bayiku! Berikan dia padaku, kenapa kalian tega sekali? Dia sangat membutuhkan aku!" teriak gadis itu begitu histeris.
"Alia, tenanglah Alia!" ucap Hanan sembari memeluknya dengan erat. Sekuat apapun tenaga Alia memberontak, namun, akhirnya ia lelah dengan tangisan pilu.
"Hiks Hiks, aku benci kamu Hanan, aku benci. Kenapa kamu tega memisahkan aku pada putriku. Hhaaaa!" pekik Alia sembari memukul dada Hanan dengan kuat. Namun, Hanan tak menghiraukan, ia masih memeluk gadis itu dengan segala rasa bersalah.
"Tenanglah Alia, tolong ikhlaskan kepergian bayi kita. Maafkan aku, Dek," lirih Hanan sembari mengecup puncak kepala Alia berulang kali. Perasaan Pria itu bercampur baur menjadi satu, air mata Hanan kembali jatuh, dengan cepat ia hapus. Ia tak boleh lemah dihadapan Alia yang kini sangat membutuhkan dukungannya.
"Hahaha.... Kau sudah gila Hanan, bayiku tidak meninggal. Dia hanya tidur," jawab Alia masih keukuh dengan pernyataannya.
Hanan tak lagi menyahut, ia semakin memeluk dengan erat. Sungguh hatinya terasa perih, dan air matanya kembali jatuh. Kenapa hidup gadis ini begitu malang. Hanan berjanji dalam hati akan selalu menjaga Alia walau apapun yang akan terjadi padanya.
Hanan membujuk Alia untuk membawanya menemui psikiater dan meminta obat penenang untuk wanita itu.
"Ayo Alia ikut aku," ucap Hanan menarik tangan Alia untuk keluar dari ruangan itu.
"Hanan, aku tidak mau kemana-mana. Aku ingin bertemu dengan bayiku, lepas Hanan!" Alia menghempaskan tangan Hanan dari cekalannya.
"Ayo ikut, aku akan membawamu bertemu dengan bayi kita. Tapi, kamu harus berobat sebentar ya," ucap Pria itu masih berusaha membujuk.
Alia tak menyahut, ia mengikuti langkah Hanan menuju sebuah ruangan Dokter spesialis kejiwaan untuk memeriksa mental dan kejiwaan Alia yang sedang goyah.
"Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Hanan pada dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Alia.
"Dokter Hanan, Bu Alia mengalami tekanan batin yang hebat sehingga mental dan kejiwaannya bermasalah. Untuk saat ini saya hanya bisa memberikan dia obat penenang. Dan untuk selanjutnya kita akan melakukan terapi dan serangkaian pemeriksaan lebih lanjut. Dan saya sarankan agar Bu Alia harus di tangani oleh psikolog juga, agar mendapatkan psikoterapi," jelas Dokter itu pada Hanan dengan panjang lebar.
"Baiklah, Dok, untuk saat ini berikan obat untuknya. Dan nanti saya akan kembali lagi menemui Dokter untuk meminta jadwal pemeriksaan Alia selanjutnya," jawab Hanan.
"Baiklah, saya harap Dokter bisa menjaga Bu Alia dengan ketat saat dirumah. Karena dia bisa saja sewaktu-waktu melakukan hal yang diluar dugaan kita. Cobalah untuk selalu membawanya bicara. Tapi menurut saya akan lebih baik selesaikan prosesi pemakaman bayinya, karena jika dia masih melihat jasad bayinya maka akan membuat jiwanya semakin terguncang."
"Baiklah, Dok, kalau begitu saya minta satu ruangan untuk menitipkan Alia sementara, tolong berikan perawat untuk menjaga dan mengurusnya," pinta Hanan pada dokter itu.
"Baik, kami akan menyediakan ruangan. Dan saya akan memantau. Jangan khawatir, selesaikan prosesi pemakaman bayi kalian," balas Dokter itu sangat pengertian.
"Terimakasih, Dok." Hanan dan Dokter jiwa itu membawa Alia kesebuah ruangan tertutup. Ini hanya untuk sementara waktu saja, karena Hanan sudah berjanji akan mengurus ibu dari anaknya itu dengan tangannya sendiri.
"Hanan, apa yang kamu lakukan! Aku tidak mau ikut denganmu! Apakah kamu tidak mendengar bayiku menangis, dia haus dan lapar, aku akan memberinya ASI," racau wanita itu merengek sembari memberontak.
"Alia, ayo ikut denganku." Hanan tak menghiraukan ucapan Alia.
"Hanan, lihat itu bayiku!" seru Alia saat melihat bayi dalam gendongan salah seorang wanita yang melintas melewatinya.
"Hei, kenapa kamu mengambil bayiku!" teriaknya ingin mengejar wanita itu.
"Alia Alia, tenanglah! Ayo ikut aku!" Hanan masih meraih tubuh wanita itu untuk membawanya masuk kedalam ruangan yang telah disediakan.
"Sus, tolong jaga Alia. Dan ini nomor telepon saya. Jika ada hal yang penting segera hubungi saya," pesan Hanan pada dua orang perawat yang di tugaskan.
"Baik, Dok."
Hanan menatap Alia yang duduk diatas ranjang pasien. Wanita itu kembali menangis saat kesadarannya kembali. Ia akan menangis memanggil bayinya.
"Hiks, Hiks. Kenapa kamu pergi meninggalkan Ibu, Nak. Kini Ibu sendirian di dunia ini," lirihnya dengan tangis haru. Namun, sejenak setelah itu Alia kembali tertawa dan meracau tak jelas.
Hanan menghela nafas pelan. Ia mendekati wanita itu yang sedang memeluk sebuah boneka yang tadi sengaja diberikan oleh Dokter psikiater untuk mengalihkan perhatiannya.
"Alia, kamu disini dulu ya, aku akan mengurus pemakaman bayi kita. Kamu cepatlah sadar, Dek, kamu jangan takut, ada aku yang selalu ada bersamamu untuk selamanya," lirih Hanan mengusap pipi dan kepala Alia dengan lembut.
Hanan keluar dari ruangan itu menghapus air matanya dengan kasar.
Bersambung...
Happy reading 🥰