Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Perjodohan
.
Pagi itu di ruang makan keluarga Dirgantara, suasana terasa sedikit tegang. Marcel duduk dengan wajah datar, mendengarkan mamanya dengan seksama.
"Marcel, Mama ingin mengenalkanmu dengan seorang gadis. Dia putri dari teman baik Mama. Mama yakin kalian akan cocok," kata Nyonya Syifana, berusaha membujuk putranya.
Marcel menghela napas. "Ma, aku tidak tertarik dengan perjodohan. Aku bisa mencari pasangan sendiri," jawabnya dengan nada tegas namun sopan.
"Marcel, jangan keras kepala. Kamu butuh seorang istri, usiamu sudah semakin dewasa, sudah saatnya kamu berpikir untuk membangun rumah tangga," ucap Nyonya Syifana, sedikit meninggikan suaranya.
"Aku tidak ingin dijodohkan dengan wanita manapun. Tidak akan ada wanita yang mau mencintaiku dengan tulus. Jika pun ada yang mau perjodohan yang Mama ajukan, yakinlah! Mereka pasti hanya menginginkan harta keluarga kita. Aku ingin mencari wanita yang benar-benar mencintaiku apa adanya," balas Marcel, berusaha menjelaskan perasaannya.
"Kamu terlalu idealis, Marcel. Di dunia ini, sulit mencari cinta sejati. Lebih baik kamu menyetujui pilihan Mama. Putri teman Mama adalah wanita yang sudah jelas bibit, bebet, dan bobotnya," sanggah Nyonya Syifana.
Marcel menggeleng. Kata-kata mamanya terasa menusuk hatinya. Ia merasa kata-kata mamanya merujuk pada Aya.
"Aku tidak peduli dengan itu, Ma. Aku akan mencari sendiri wanita yang bisa membuatku bahagia.” Marcell bersikeras. Daripada Mama dan papa sibuk memikirkan perjodohan untukku, kenapa tidak berpikir tentang Kak Marvel saja?”
“Hei! Kenapa aku dibawa-bawa?” Marvel tidak terima.
“Kenapa tidak? Usia Kakak tiga tahun lebih tua dariku, tapi Mama tidak menyuruhmu untuk menikah. Lalu kenapa harus aku?”
“Marcel! Sopan lah kalau berbicara dengan mamamu!” Tuan Dirgantara tidak menyukai nada bicara Marcel yang keras.
“Aku sudah tidak berselera makan!” Marcel membanting sendok jadi piring, lalu bangkit dari kursinya, meninggalkan ruang makan dengan perasaan kesal.
“Marcell kita belum selesai!” Tuan Dirgantara berteriak tetapi Marcel tetap berlalu.
*
Di taman belakang rumah, Marcel duduk di bangku taman, mencoba menenangkan diri. Ia memikirkan kata-kata mamanya. "Kamu butuh seorang istri, bukan hanya seorang pembantu." Kata-kata itu terus terngiang di benaknya.
Marcel mengacak rambutnya frustrasi. Padahal mamanya tahu bahwa dia begitu dekat dengan Aya. Tapi kenapa mamanya seakan tidak bisa melihat kehadiran gadis itu? Kalaupun dirinya disuruh menikah kenapa harus dengan gadis lain?
Kembali ke ruang makan
Tanpa mereka sadari, di balik pilar yang tak jauh dari ruang makan, Aya berdiri membeku. Tubuhnya bersembunyi di balik tembok penyekat. Ia tak sengaja mendengar percakapan antara Marcel dan keluarganya.
Hatinya berdenyut nyeri mendengar setiap kata yang terucap. Terutama kalimat yang dilontarkan Nyonya Syifana, “bibit, bebet, bobot." Kata-kata itu menghantamnya seperti palu godam, menghancurkan sedikit harapan yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Aya menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Ia merasa sangat kecil dan tidak berarti. Ia sadar diri, walaupun kini dirinya sudah sukses, tetap saja ia hanyalah seorang pembantu di rumah keluarga Dirgantara. Ia tidak pantas untuk bermimpi lebih jauh.
Ia mendengar Marcel membela dirinya, mengatakan bahwa ia akan mencari wanita yang mencintainya apa adanya. Namun, hal itu justru membuat hatinya semakin sakit. Ia berpikir, Marcel tidak mungkin memilihnya. Ia dan Marcel berada di dunia yang berbeda, dunia yang tidak mungkin disatukan.
Aya memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Ia harus tetap fokus pada pekerjaannya dan terus memberikan yang terbaik bagi para difabel di "Cahaya Harapan".
Perlahan, Aya berbalik dan melangkah pergi. Ia tidak ingin mereka semua melihatnya dalam keadaan seperti ini. Ia tidak ingin mereka tahu bahwa ia telah mendengar percakapan mereka. Ia ingin mereka tetap melihatnya sebagai Aya yang kuat dan mandiri, bukan sebagai seorang gadis pembantu yang berharap lebih.
.
Masih di meja makan, Nyonya Syifana menatap ke arah suaminya sambil tersenyum. Tuan dirgantara yang ditatap pun mengangguk seraya menipiskan senyum di bibirnya.
“Ada apa sih? Kenapa kalian seperti misterius begitu?” Marvel yang melihat mama papanya tersenyum, menatap tidak mengerti.
“Rahasia. Yuk, Pa. Katanya mau nganterin Mama ke spa?”
“Apa yang tidak untukmu, Sayang?” ucapnya membuat Marvel mencebik. Orang tuanya romantis tak tahu tempat.
Tuan Dirgantara menghapus mulutnya menggunakan tisu, menenggak habis air putih yang tersisa di gelasnya, lalu berdiri, menyodorkan siku untuk digandeng oleh istrinya.
Marvel menatap cengo kepergian kedua orang tuanya. Ada yang misterius, tapi dia tidak tahu itu apa?
Malam sebelumnya…
Di kamar tidur utama keluarga Dirgantara, Tuan Dirgantara duduk di tepi tempat tidur, melepas dasinya. Nyonya Syifana duduk di meja rias, membersihkan wajahnya. Suasana malam itu tenang, hanya terdengar suara jangkrik dari luar jendela.
Pa Marcel itu sudah semakin dewasa. Sudah waktunya dia memikirkan pernikahan," ucapnya, meletakkan majalah di pangkuan.
Tuan Dirgantara mengangguk setuju. "Benar, Ma. Usianya sudah matang. Kita harus segera mencarikan pendamping yang cocok untuknya.”
"Pa, apa kamu memperhatikan kedekatan antara Marcel dan Aya?" tanya Nyonya Syifana, memecah keheningan.
Tuan Dirgantara mengangguk. "Ya, Ma. Aku juga melihatnya. Mereka berdua tampak sangat dekat. Bahkan, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman di antara mereka."
Nyonya Syifana menghela napas. "Aku juga merasakan hal yang sama. Aku melihat tatapan Marcel pada Aya, dan tatapan Aya pada Marcel. Ada cinta di sana, Pa."
"Tapi mereka tidak berani mengungkapkan perasaan mereka?" Tuan Dirgantara menghela nafas berat.
Nyonya Syifana terdiam sejenak, lalu berkata, "Mungkin... mungkin mereka berdua sama-sama rendah diri, Pa. Aya merasa rendah karena kakinya yang cacat, dan Marcel... Marcel merasa rendah karena wajahnya yang buruk."
Tuan Dirgantara terdiam, merenungkan kata-kata istrinya. Ia tahu, Marcel mungkin merasa tidak percaya diri dengan penampilannya. Luka akibat kecelakaan tunggal yang menghiasi sebagian wajahnya membuatnya merasa berbeda dari orang lain.
"Itulah yang membuatku khawatir, Pa. Aku takut mereka berdua sama-sama memendam perasaan mereka, dan akhirnya menyesal di kemudian hari," lanjut Nyonya Syifana dengan nada cemas.
Tuan Dirgantara berpikir sejenak. "Kita harus melakukan sesuatu, Ma. Kita harus membuat mereka berdua sama-sama berani mengungkapkan hati masing-masing."
Nyonya Syifana menoleh, menatap suaminya dengan penuh minat. "Apa maksudmu, Pa?"
"Kita coba panas-panas saja mereka, Ma. Kita buat Marcel merasa terdesak, dan kita lihat bagaimana reaksinya. Kita juga buat Aya merasa tidak aman, dan kita lihat apakah dia akan berani mengungkapkan perasaannya," jelas Tuan Dirgantara.
Nyonya Syifana tersenyum. "Ide yang bagus, Pa. Aku setuju. Tapi bagaimana caranya?”
“Nah, itu tugas Mama untuk berpikir!”
“Ishh, Papa mau enaknya saja!” nyonya Syifana terdiam sambil mengetuk-ngetuk dagunya.
“Aku punya ide, Pa,” serunya tiba-tiba. “Bagaimana kalau kita pura-pura akan mengenalkan Marcel dengan putri teman sosialitaku. Kita lihat, apakah Marcel akan tertarik atau tidak."
"Dan kita lihat, apakah Aya akan merasa cemburu atau tidak," timpal Tuan Dirgantara, tersenyum penuh arti.
Mereka pun menyusun rencana untuk membuka hati kedua anak muda itu. Mereka berharap, dengan cara ini, Marcel dan Aya akan berani mengungkapkan perasaan mereka dan akhirnya bersatu dalam ikatan cinta yang sejati.
Kembali ke saat Ini
Aya terus berlari, air mata terus membasahi pipinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia hanya tahu, hatinya sangat sakit dan ia tidak ingin berada di dekat Marcel untuk saat ini.
Pagi itu, Aya menangis dalam diam, meratapi nasibnya yang malang. Ia mencintai Marcel, tetapi ia tahu cintanya tidak akan mungkin tersampai.
. cuit cuit