NovelToon NovelToon
Batas Yang Kita Sepakati

Batas Yang Kita Sepakati

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Princess Saraah

Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?

Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.

Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."

Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Kedua Syuting

Selama seminggu ini, Nizan masih terus berusaha membujukku. Pesannya datang setiap malam dengan berbagai cara, mulai dari permintaan maaf, cerita-cerita kecil, bahkan voice note yang kadang cuma isinya,

lagi apa cantik? Walau lagi marah, jangan lupa makan ya. Tapi aku tetap tidak membalas.

Di sekolah, Nizan tetap sering main ke kelasku. Kadang berbasa-basi ngobrol sama Mira. Kadang nimbrung ke Erina yang lagi duduk di depan kelas. Kadang juga bercanda sama Raka dan Khalif. Mungkin pura-pura cari topik biar bisa ngelirik aku sedikit. Tapi aku tetap cuek. Bahkan mungkin terlihat dingin.

Siang itu, saat jam kosong sebelum istirahat, aku duduk di bangku sebelah Khalif dekat jendela. Memandang halaman belakang sekolah.

"Sya," panggilnya, santai.

Aku menoleh pelan. "Hah?"

"Lo nggak nyadar Nizan sesuka itu sama lo?"

Aku mendesah pelan, sedikit menunduk. "Suka apaan sampai kayak gitu?" ujarku pelan.

"Maksud lo?" Khalif memiringkan kepala, heran.

Aku menatap lurus ke luar jendela. "Ya, posesif banget. Cemburuan, ngatur-ngatur, nonjok orang gara-gara gue. Kalau udah jadian nanti gue bahkan gak bisa bayangin bakal seposesif apa."

Khalif tertawa kecil, menggoyang-goyangkan kursinya. "Hampir semua cowok begitu kali kalau udah suka."

Aku menoleh ke arahnya, menatapnya sebentar. "Suka beda sama obsesif ya, Lif."

Dia terdiam.

"Kalau suka, lo jaga. Tapi kalau obsesif, lo pengen punya. Lo gak peduli dia seneng atau enggak, asal dia bareng lo. Gitu kan bedanya?" lanjutku.

Khalif nyengir, angkat tangan. "Aduh, bener juga sih. Kena mental nih gue lawan juara kelas."

Aku menahan senyum, lalu menyandarkan tubuh ke kursi.

"Lagian, gue masih kecil."

Khalif mengangguk sambil meneguk air dari botolnya. "Iya juga sih. Lo tuh masih bocil. Mending belajar dulu yang bener, jangan mikir cinta-cintaan."

"Makanya," aku mengangguk. "Gue juga nggak mau kali digenggam terus dan nggak dikasih kebebasan."

"Yah susah sih, Sya," gumam Khalif. "Kadang perasaan tuh lebih cepat dari logika. Apalagi Nizan udah ngejar lo lama. Takut la pasti kalau lo suka sama orang lain."

Aku menoleh, menatapnya. "Makanya belajar kontrol dong. Perasaan kan bisa dikontrol Lif. Apalagi belum ada hubungan apa-apa. Lagian nih ya kalau prinsip gue, kalau gue sayang sama seseorang, gue sih ga masalah perasaan gue berbalas atau ngga. Yang paling penting itu kebahagiaan orang yang gue sayang."

Dia tertawa, lalu menepuk pelan mejaku. "Bijak banget lo ya bocil. Tapi yang bikin gue salut sih ya, lo kuat nahan semua itu. Ga baperan. Kalau cewek lain mungkin udah luluh gara-gara Nizan kejar tiap hari."

Aku cengengesan, pura-pura bangga. "Ya iyalah. Lagian kaga ada juga yang berani ngejar gue selain Nizan. Gue galak gini."

Kami tertawa bersama. Dan entah kenapa, siang itu terasa ringan. Walau di luar sana Nizan masih menunggu jawaban, dan mungkin Mira masih menyimpan banyak yang belum dia ceritakan. Aku harus tetap waras sebelum jatuh hati ke arah yang salah.

...****************...

Sampailah kami di hari Sabtu lagi untuk syuting ulang. Pagi itu aku sedang berdiri di depan cermin, mengikat rambut dengan jepit kupu-kupu kecil. Outfitku hari ini sederhana yaitu celana putih dan blus hijau lumut. Naskah sudah di tas dan,

Tok tok.

Mami masuk ke kamarku dengan wajah heran. "Dek, udah siap? Itu di depan ada Azzam."

Aku terkejut. "Hah? Azzam?"

"Iya,temen SMP adek itu kan? Adek janjian sama dia?"

Aku buru-buru keluar kamar. "Nggak Ma. Nggak janjian sih."

Begitu keluar rumah, kulihat Azzam berdiri di depan pagar mengenakan hoodie abu-abunya. Tangan di kantong dan motor hitamnya sudah menyala.

"Udah siap, tuan putri?" sapanya dengan senyum lebar.

Aku nyengir sinis. "Lo ngapain ke sini?"

"Jemput lo lah."

"Perasaan gue nggak bilang suruh jemput."

"Gue gak enak ke sana sendiri. Isinya temen-temen lo semua," jawabnya santai.

"Idih. Alesan lo."

"Kenapa? Lo takut gebetan lo marah?"

"Hah? Siapa gebetan gue? Punya emang?"

"Siapa tuh? HTSan lo? Nizan?" Azzam nyengir menang. "Cih, kasian banget. Nggak diakui," lanjutnya lagi.

Aku melotot. "Apaan dah. Pagi-pagi udah gak jelas."

Dia ngakak. "Udah, ayo. Sore gue mau futsal. Jangan lama-lama."

Aku mengangguk sebal. "Iya iya."

Sebelum aku naik motor, Azzam mengulurkan sesuatu.

"Nih," sambil memberikan sebuah permen lolipop milkita kesukaanku.

"Buat gue?"

"Iya. Mulut lo harus disumpel biar lo gak bawel di jalan."

Aku memicingkan mata. "Gitu banget. Anyway thankyou ya."

Sesampainya di sekolah, yang lain sudah datang. Mira, Yumna, Erina, Salsa, Raka, Afiq, dan Khalif duduk di teras kelas, sibuk dengan naskah dan tripod seadanya. Tapi aku bisa ngerasain aura mereka beda. Mereka pasti pengen nanya kenapa aku pergi bareng Azzam, tapi sayangnya mereka ga berani tanya kalau soal kehidupan pribadiku.

Syuting dimulai. Lokasi pertama di koridor kelas, adegan perkelahian antara Khalif dan Salsa akibat ulah Erina.

"CUT!" seruku. "Ulang-ulang. Jangan ketawa ih kalian!"

"Astagaaaa maaf, maaf. Gini susah banget sih ngomong, apalagi ngeliat Salsa, jadinya pengen ketawa terus," balas Khalif.

Kita semua tertawa.

Azzam di belakang kamera cuma geleng-geleng. Raka nyeletuk, "Sutradara ngamuk, editor stress."

Sekitar jam 2 siang, kami pindah ke taman kota untuk beberapa adegan dan tentunya adegan terakhir, yaitu adegan Erina kecelakaan motor.

Saat motor akan lewat, aku secara refleks berdiri agak ke tengah, untuk melihat angle kamera.

Tiba-tiba...

"TIIINNNNN!!!!"

Suara klakson motor meraung dari kejauhan. Kencang.

Sebelum aku sempat mundur, Azzam menarik lenganku kuat dan menyeretku ke pinggir.

"Eh, lo bosan hidup ya?!" katanya keras. "Pinggir aja sini! Pinggir!"

Aku tersentak. "Ih apaan sih marah-marah? Gue juga denger kali!"

"Denger apanya. Kalau ngga gue tarik udah ketabrak lo!" katanya tajam, tapi suaranya mengandung cemas.

Baru saja aku ingin membalas perkataannya, motor trail hitam lewat. KLX.

Raka berseru, "Eh itu Nizan!"

Khalif ikut tertawa. "Mampus dah, cemburu tuh pasti. Ngebut gitu."

Salsa melotot ke Khalif. "Sayang, apaan deh kamu! Jangan ngejek orang deh."

Aku langsung melepaskan tangan Azzam dan mundur dua langkah. Wajahku panas.

Aku melirik ke Mira. Dia menunduk, pura-pura main HP.

Sebelum pulang, kami foto bareng. Setelah itu, aku merampas kamera dari Azzam dan menyuruhnya berfoto dengan Mira.

"Zam cepet sana gue fotoin sama Mira."

Dia melirik ke Mira, lalu ke aku. "Ngapain?"

"Ya foto. Masa kameramen gak ada dokumentasi?"

"Alesan lo."

"Udah cepet. Nggak usah banyak protes," kataku sambil menarik lengannya ke sebelah Mira.

Mira senyum malu. Wajahnya merah. Azzam cuma ngusap leher, tapi tetap berdiri.

"Khalif, fotoin ya!" seruku.

"Siap, bos!"

Cekrek.

...****************...

Di motor saat perjalanan pulang, Azzam ngomong kepadaku. "Next time lo gak usah kaya tadi."

Aku melihat raut wajahnya dari spion. "Kenapa? Lo ga suka?"

Setelah melihat raut wajahnya aku malah tertawa. "Maaf ya Azzam. Gue kan cuma mau jadi bestie yang baik aja untuk kalian. Lo kan tau Mira suka sama lo, jadi gue bantuin."

Dia diam.

Aku kembali melanjutkan. "Jadi karena Mira malu-malu, gue sebagai sahabatnya harus bantu dong. Dorong dari belakang."

"Nggak perlu."

"Dih. Ngambek? Ya udahlah. Lain kali gue bantu lebih frontal ya," ucapku sambil tertawa makin kencang.

Azzam ngedumel. Ntah ngedumel apa, aku ga dengar soalnya ketutup suara tertawaku. Tapi dalam hati, aku sadar. Kadang, menyatukan dua orang bukan berarti kita sepenuhnya merelakan. Tapi karena kita pengen semuanya tetap baik-baik saja. Meskipun harus ada yang dikorbankan.

1
Asseret Miralrio
Aku setia menunggu, please jangan membuatku menunggu terlalu lama.
Daina :)
Author, kita fans thor loh, jangan bikin kita kecewa, update sekarang 😤
Saraah: Terimakasih dukungannya Daina/Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!