Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LELAKI TANPA LUKA
Sepuluh tahun lalu.
Langit Jakarta memekat seperti tanah kuburan basah. Hujan turun deras, mengguyur tanpa belas kasihan. Petir menggelegar, tapi suara itu tak mengalahkan sunyi yang menggerogoti dada Adrian Lesmana muda.
Ia duduk sendiri di bangku kayu tua, di luar ruang jenazah Rumah Sakit Umum.
Kemeja putihnya sudah kuyup, menempel di tubuh kurusnya. Jam tangannya mati. Tangan kirinya bergetar. Tapi wajahnya—tatapan matanya—tak menunjukkan apa-apa.
Ayahnya baru saja meninggal.
Bukan karena penyakit. Tapi karena dibunuh oleh sistem yang tidak adil.
Ayah Adrian adalah seorang guru. Guru negeri yang idealis, keras kepala, dan jujur sampai bodoh. Ia menolak menutup mata pada korupsi dana sekolah—dan akhirnya dijebak oleh kepala sekolah sendiri. Dituduh menyelewengkan anggaran, digantung tanpa proses, dicabut jabatannya, dan ditinggalkan oleh institusi yang katanya "memuliakan guru".
Dia stres. Sakit. Tak punya uang.
Meninggal di kursi ruang tamu, dengan darah tinggi dan jantung remuk.
Dan Adrian, anak bungsu yang waktu itu baru 23 tahun, tidak bisa berbuat apa-apa.
Ibunya menangis histeris. Kakaknya menyalahkan keadaan. Tapi Adrian hanya duduk… dan diam. Bukan karena dia tidak sedih. Tapi karena kesedihan itu terlalu dalam untuk bisa ditumpahkan.
“Kalau kamu nangis, kamu lemah.”
“Kalau kamu marah, kamu hancur.”
“Jadi diam. Hadapi. Telan.”
Dan dia melakukannya.
Malam itu, Adrian mengubur bukan hanya ayahnya—tapi juga seluruh bagian lembut dari dirinya.
...----------------...
Enam bulan kemudian.
Hidup berubah drastis. Rumah dijual untuk membayar utang. Ibunya menderita depresi ringan. Kakaknya keluar dari kerja. Dan Adrian? Ia kuliah hukum sambil bekerja serabutan: jadi barista pagi, asisten legal sore, dan begadang sebagai penerjemah kontrak semalaman.
Tidurnya hanya dua jam sehari. Makan pun kadang nasi bungkus basi. Tapi dia tidak pernah mengeluh.
Karena dia tahu: kalau dia berhenti… keluarganya habis.
Sampai akhirnya, ia magang di firma hukum Leonard Surya & Partners.
Leonard adalah legenda hukum. Keras, tajam, dan nyaris tidak manusiawi. Dan di kantor itu, Adrian melihat bagaimana kebenaran bisa dikalahkan uang, bagaimana orang salah bisa menang karena pengacaranya cukup pintar… dan cukup kejam.
“Keadilan itu konsep, Adrian,” kata Leonard suatu malam. “Yang nyata adalah logika dan strategi.”
“Empati itu racun di pengadilan. Kalau kamu kasihan sama klien, kamu lemah. Kalau kamu jatuh cinta pada cerita korban, kamu dimakan.”
Kalimat itu menancap di benak Adrian.
Dan sejak malam itu, ia mulai membunuh perasaannya sendiri.
...----------------...
Dua tahun kemudian.
Adrian lulus dengan predikat terbaik. Diterima kerja tetap. Diberi kasus besar. Dan sejak itu, dia tidak pernah gagal.
Tapi keberhasilan itu datang dengan harga mahal:
Ia tak pernah pulang kampung lebih dari setahun sekali.
Ibunya meninggal saat dia sedang menangani kasus penting—dan dia tidak datang ke pemakaman.
Ia memutuskan cinta pertamanya, Aurel, hanya karena gadis itu mulai bicara soal “keluarga” dan “anak”.
“Aku nggak bisa jadi manusia untukmu,” katanya saat itu. “Aku ini senjata. Kalau aku mencintaimu, aku berhenti jadi tajam.”
Dan Aurel pergi. Menangis.
Tapi Adrian tidak menoleh.
...----------------...
Sekarang.
Dia pria dingin yang disegani. Dikenal di ruang sidang karena tak punya belas kasihan. Dihormati sekaligus ditakuti. Tidak pernah punya hubungan lebih dari tiga malam. Tidak pernah peduli pada air mata klien.
Sampai Maya datang.
Dengan tubuh lemah, suara bergetar, dan ketegaran yang nyaris memaksanya bersimpuh. Perempuan itu tidak meminta belas kasihan—dia menawarkan dirinya.
Dan itu membuat Adrian lumpuh untuk pertama kali setelah sepuluh tahun.
Bukan karena nafsu.
Tapi karena Maya mengingatkannya pada ibunya.
Pada perempuan-perempuan kuat yang terpaksa menyerah karena sistem yang brengsek.
Dan itu… menyakiti Adrian jauh lebih dalam dari yang dia akui.
Karena sesungguhnya…
Dia tidak pernah benar-benar sembuh.
Dia hanya menyembunyikan lukanya lebih dalam dari siapa pun.
kamu harus jujur maya sama adrian.