Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perundungan dan Dimulainya Ujian
Hari begitu tenang saat berada di lingkungan pencak silat. Sebelumnya aku pernah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sepak bola tapi entahlah rasanya tidak cocok di sana. Terlalu banyak materi. Aku lebih menyukai yang langsung melatih fisik. Rasanya damai saat berada di waktu latihan pencak silat yaitu di hari Selasa dan Kamis sepulang sekolah, serta di hari Sabtu jam setengah 8 hingga jam 11. Selain dari jadwal itu, aku akan menghadapi jam yang mengerikan. Tertindas, disuruh-suruh, dicaci-maki, oleh geng yang aku harap segera lenyap dari dunia. Aku harap seluruh anggotanya mati saja. Ya, aku tidak akan sedih atas kematian mereka.
Aku sempat mendapat perundungan habis-habisan dari salah satu orang di geng tersebut. Orang itu bernama Eden. Menjelang Zuhur, aku dikunci di kelas dan hanya berdua dengan Eden. Tidak bisa keluar, dia menghalangi pintu. Dia mendorongku, mengambil penghapus papan tulis yang penuh dengan noda bekas spidol, lalu mengoleskannya ke seluruh wajah hingga ke mulutku.
Ditendang dan diinjak hingga baju tidak karuan lagi bentuknya. Entah sah atau tidak aku salat dengan baju ini. Apa sepatunya mengandung najis? Setelah pada akhirnya dia pergi meninggalkan, aku langsung berlari secepat mungkin menuju masjid untuk salat Zuhur. Tidak peduli orang-orang sekitar bingung melihat baju yang kotor, ini hanya noda dari spidol biasa, tidak akan membunuhku. Aku harus cepat, jika terlambat kemungkinan akan dihukum oleh guru yang menunggu di masjid.
Selamat! Aku berhasil sampai tepat waktu. Napas yang terengah-engah, serta keringat turut serta menghiasi kedatanganku di masjid. Ini hari terparah, aku menaruh dendam padanya, Eden, bukan hanya Eden tapi semua anggota geng aneh tersebut.
Hampir putus asa dibuatnya, sempat berniat untuk pindah sekolah. Namun niatku terhenti. Aku punya penyemangat saat ini. Perempuan yang tiba-tiba datang memberi semangat untuk bertahan di sekolah ini. Dia bernama Irista. Saat ini aku punya beberapa teman yang rata-rata perempuan. Aku tidak tahu, jika di kelas aku mengalami fobia dengan laki-laki. Ini berarti tandanya aku normal. Aku fobia bukan karena kelainan, melainkan takut disiksa.
Saat ini teman yang paling sering menemani di kehidupan kelas yang mengerikan adalah Jenny, Fitri, dan Irista. Jenny dan Fitri sering mengajakku bermain SOS saat pelajaran kosong. Mereka selalu punya permainan lain yang jika dimainkan bersama dapat membuatku lupa akan penyiksaan walaupun tetap saja di sela waktu bermain, ada saja yang terus menyuruh-nyuruhku membeli makanan. Aku berpikir, lebih baik ada hiburan daripada tidak sama sekali.
Irista, dia selalu bilang padaku agar tidak lagi menuruti perintah dari makhluk yang menjadi anggota geng aneh tersebut. Irista selalu menyemangatiku, aku teringat sosok Dera. Tidak, ini bukan waktunya galau. Aku harus lolos dari masalah ini. Irista, perempuan itu, aku menyukainya. Hanya saja, selalu dalam pikiran terjerat pola pikir yang amat buruk. Aku berpikir, tidak mungkin bisa bersamanya. Keberadaanku di sini saja seperti budak. Aku takut dia malu dengan keadaanku. Memang, sempat mengejar dia walaupun tidak menunjukkan tanda bahwa aku menyukainya. Berhasil jadi teman dekat saja sudah cukup rasanya. Dia sering menyapaku, hingga akhirnya butir-butir rasa suka itu tumbuh dan rasanya ingin mengungkapkan semua.
Namun ternyata, Irista yang sudah aku harapkan itu sudah punya pacar. Melihat dia jalan dengan laki-laki lain sambil bilang sayang dengan mesranya, membuatku patah hati. Aku benci bicara soal cinta. Selalu saja begini, tidak bisa normal atau berpihak sedikit saja padaku. Cinta lagi, cinta lagi, kata itu sungguh membuat muak.
Waktu terus bergulir bagai roda truk yang besar, sehingga ketika ban itu berputar, aspal akan bergetar. Itulah bagaimana aku menghadapi hidup. Hidup yang selalu berguncang, digetarkan, serta ditantang untuk terus menerima beban mental yang amat berat. Namun, pada kenyataannya bukan hanya aku yang seperti ini. Temanku, Arka juga mengalami hal yang sama, sama seperti hal yang dialami Deco.
Bukan hanya di kelas E dan F, tapi di kelas D bahkan C juga mengalami penderitaan yang sama bagi orang yang dianggap tidak punya kekuatan. Kelas C, aku sering mendengar nama Izal. Dia dikabarkan sering disiksa, bahkan sampai menangis. Lagi-lagi oleh anak yang sok jagoan. Hal itu membuatku makin muak dengan keberadaan geng aneh yang selalu ada di setiap masalah-masalah di sekolah. Seakan-akan geng di sekolah ini adalah geng yang sama, padahal mereka berbeda. Itu mungkin karena mereka tetap menjaga sosialisasi antar geng. Omong kosong macam apa itu? Aku harus bisa melewati kebodohan ini. Aku percaya akan tiba saat-saat bisa lepas dari semuanya.
Ujian kenaikan kelas selesai. Lagi-lagi nilai rapornya pas-pasan. Aku tidak bisa fokus untuk belajar. Ini cobaan, aku harus tetap positif menerima nilai-nilai yang rata-rata hanya 68, saat ini bisa naik kelas saja sudah bersyukur. Aku harap kelas tiga bisa masuk kelas yang tidak terlalu menyebalkan. Liburan tiba, aku tidak sepenuhnya libur. Aku berlatih pencak silat karena sebentar lagi ujian kenaikan tingkat akan tiba, hanya tinggal seminggu lagi. Ujian kenaikan tingkat akan diselenggarakan pada hari Rabu hingga hari Sabtu. Aku sudah mendaftarkan diri, hanya tinggal menunggu waktunya tiba. Jantung berdebar-debar. Ini pertama kali aku mengikuti ujian dari kegiatan pencak silat ini.
Setiap jadwal latihan, berlatih makin keras. Hingga hari ujian tiba, seluruh peserta ujian hadir di lapangan sekolah pukul 4 sore di hari Rabu. Para panitia menyiapkan semuanya termasuk bekal untuk di tempat ujian karena kami akan menginap tiga hari di daerah Bandung. Sebelum berangkat, panitia membagi kami ke beberapa kelompok. Aku masuk kelompok plankton. Nama kelompok yang didapat dengan spontan karena syaratnya harus menggunakan nama hewan. Kami tidak punya waktu untuk berpikir lama. Kami berangkat naik bus jam 5, di perjalanan, semua terlihat sangat gembira dan tidak sabar untuk melihat lokasi ujiannya.
Setelah kurang lebih lima jam, akhirnya kami sampai juga di lokasi. Perjalanan dari Tangerang ke Bandung sebenarnya tidak selama ini, tapi karena sering berhenti untuk istirahat dan salat. Selain itu, medan yang kami hadapi sangat terjal dan gelap karena melewati hutan, membuat kami harus bersabar untuk jalan perlahan. Semua yang ada di bus menghadapi suasana yang amat mencekam. Bus yang kami tumpangi terus-menerus bergoyang, hingga tidak jarang kami berteriak. Memang mengerikan tapi sangat menyenangkan. Setelah sampai lokasi, mereka justru tertawa girang. Seakan-akan kami habis menaiki roller coaster. Ya, walaupun aku tidak pernah naik itu sih.
Kami tiba di lokasi yang tepatnya adalah sebuah pondok. Setelah kami berkumpul untuk mendata ulang semua peserta, kami dipersilakan masuk kamar yang disediakan untuk istirahat. Satu kamar menampung sekitar sepuluh orang. Itu juga tidur di lantai, tapi menyenangkan menikmati malam bersama, tertawa, dan canda sebelum tidur. Kamar laki-laki dan perempuan terpisah. Tentu saja, untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan.
Aku lelah, akhirnya tidur juga. Tiba-tiba suara gemuruh mengejutkanku. Salah satu pelatih silat menyuruh kami bangun dengan berteriak di lapangan menggunakan pengeras suara. Dia bilang kami harus mengganti baju silat, sepatu, dan perlengkapan lain termasuk sabuk dalam waktu satu menit. Jika telat akan diberikan hukuman, yang benar saja, bahkan aku bingung mencari tas milikku karena ruangan ini gelap sekali. Tidak ada yang mencoba menyalakan lampu. Aku bahkan bingung untuk mencari sakelarnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...