Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang  berbeda. Bahkan status kita pun berubah.. 
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. DOKTER WIRA BHAKTI ARYA SATRIA WIGUNA
Pria itu mengernyitkan keningnya. Menatap sesuatu di lantai tangga itu. Cairan merah kental yang berasal dari sela - sela kakiku.
"Darah? Suster cepat bawa ke poli kandungan sekarang juga." ucap pria itu dengan wajah paniknya.
"Sebentar dok saya ambilkan kursi roda dulu." ucap suster itu ikutan panik melihat darah segar mengalir disela kakiku.
"Duh... Kelamaan sus." Tiba - tiba pria itu mengangkat tubuhku bak kapas yang sangat ringan. Dengan cepat ia berlari menggendongku menuju ke suatu tempat yang berada di samping gedung itu.
Aku yang tidak menyadari apapun hanya bisa berteriak dalam gendongan pria itu.
"Turunkan aku... Turunkan aku... tolong.. Tolong.. Aku diculik." ucapku dengan nada penuh kepanikan. Aku memberontak penuh energi dalam gendongan pria itu.
Dari kejauhan tampak dua orang security yang sedang berpatroli. Aku pun dengan lantang berteriak kepada mereka untuk meminta pertolongan.
"Pak polisi.. Pak polisi.. Aku diculik pria besar ini.. Tolong teleponkan ibuku.." ucapku seraya menangis sesenggukan.
"Selamat sore dok.." ucap mereka sembari tersenyum ramah kepada pria itu.
Tanpa jawaban dokter itu hanya lewat begitu saja di depan dua security itu. Dingin dan galak. Itulah julukan yang sering disematkan untuk dokter itu. Namun kesabarannya dalam menghadapi pasien menjadi kelebihannya tersendiri. Hanya pasien yang sanggup bertahan menghadapi galak dan dinginnya sikap dokter itu.
"Wah jarang sekali dokter Wira peduli sebegitunya dengan pasien. Tapi sepertinya dia pasien baru disini. Wajahnya tampak asing tapi dia cantik banget. Tau aja dokter Wira sama yang bening - bening." Kedua security itu tersenyum melihat kedekatan dokter dingin itu dengan Naya.
Ya....
Dia adalah Wira bhakti Arya Satria Wiguna. Seorang dokter spesialis kejiwaan di rumah sakit itu. Wajahnya yang tampan, alisnya tebal, rahang yang tegas dan sorot wajah Benar - benar pahatan yang sempurna dari Sang Pencipta. Dokter senior yang paling banyak dikagumi meski perangainya yang galak dan dingin.
Hingga beberapa saat kemudian, aku sampai di sebuah ruangan serba putih. Dibaringkannya tubuhku di atas ranjang yang berada di ruangan itu. Tak lama kemudian muncul seorang wanita berjubah putih yang sangat cantik datang menghampiriku.
"Siapa dia Wira?" tanyanya dengan tatapan tak bersahabat.
"Jangan banyak tanya. Segera tolong dia. Sepertinya dia pendarahan. Cepat lakukan sesuatu." ucap pria itu dengan nadanya yang ketus.
Akhirnya aku diperiksa oleh dokter wanita itu. Diolesnya gel yang terasa dingin di bagian perutku. Perlahan tapi pasti perutku di elus dengan menggunakan sebuah alat. Hingga tak lama kemudian muncul gambar di layar komputer dan setelah itu terdengar suara detak jantung bayiku.
"Detak jantungnya melemah. Aku akan memberikan obat penguat untuk janinnya. Kita tunggu 1 x 24 jam kedepan. Beruntung tadi kamu segera membawanya kesini. Telat sedikit aja bisa hilang nyawa tuh bayi." ucapnya dengan ketus.
"Suster.. Bersihkan dia dan pindahkan lagi ke kamarnya. Dan minumkan obat ini 3 x 1 sehari." ucapnya sembari menyodorkan beberapa tablet obat kepada suster yang bertubuh gempal tadi.
Perlahan suster itu membersihkan perutku kemudian memapahku ke kursi roda yang ada di ruangan itu. Aku hanya terdiam tanpa kata. Bahkan pandanganku kosong. Hanya ekspresi datar yang aku munculkan.
"Kita kembali ke kamarmu sekarang. Jangan pernah mencoba untuk kabur lagi. Atau aku akan mencambukmu dengan sabukku." suster itu menunjukkan sabuknya yang cukup besar melingkari perutnya.
"Siapa sih dia Wira? Aku bisa cemburu lihat kamu menggendongnya dengan begitu mesra." kedua tangannya melingkar dengan sempurna pada leher Wira. Tubuhnya menempel dengan begitu nakal. Kedua mata mereka bertemu. Namun tatapan Wira terasa begitu dingin. Sulit untuk ditembusnya lebih jauh lagi.
Dengan cepat Wira melepas tangan Larasati dari lehernya. " Aku sudah bilang padamu, sedikitpun aku tidak pernah mempunyai perasaan kepadamu. Bagiku kamu hanya seorang teman, tidak lebih. Jadi jangan terlalu berharap lebih." ucapnya dengan nada yang datar namun sangat menusuk di hati.
Meski begitu Larasati tidak pernah menyerah untuk menarik perhatian Wira. Baginya sifat dingin dan galak Wira menjadi tantangan tersendiri untuk bisa ditaklukannya. Cinta? Entahlah. Namun satu hal yang pasti memiliki Wira menjadi tujuan hidupnya saat ini.
Perlahan tubuhnya dicondongkan ke tubuh Wira. Dengan tatapan penuh damba Laras mengelus dada tegapnya.
"Come on Wira.. Aku tau kamu sangat merindukan sentuhan itu. Terlebih istri kamu sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Pasti sangat sulit bagimu untuk bisa membendung hasratmu. Aku bersedia menjadi pelampiasan hasratmu Wira." ucap Laras dengan nada sensualnya.
Perlahan Wira mendorong tubuh Laras untuk menjauh darinya. Dicengkeramnya tangan wanita itu dengan begitu kasar.
"Pergunakan tangan berhargamu untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Jangan hanya kau gunakan untuk hal yang bisa merusak reputasimu sebagai seorang dokter. Dihempaskannya tangan Laras, dan Wira pun berlalu dari ruangan yang terasa menyesakkan dada.
* * *
Sementara itu di ruang tengah rumah Danu Subroto, Embun terisak tangis. Ia begitu kecewa dengan keputusan kakeknya yang memindahkan kakaknya tanpa memberi tahunya terlebih dahulu.
"Kenapa kakek memindahkan rumah sakit kakak tidak memberi tahuku? Kakak tidak gila kek. Kakak hanya butuh waktu. Kakak terlalu shock menerima semua kejadian kemarin secara bertubi - tubi.
Kakek menghela nafas panjangnya. Ditatapnya sang cucu dengan penuh kasih sayang.
"Maaf kakek tidak memberi tahumu terlebih dahulu. Tapi kakek lakukan ini semua demi kebaikan kakakmu. Kakek juga ingin kesembuhan untuk kakakmu. Kakek janji akan membawamu kesana untuk mengunjunginya pada liburan sekolahmu."
"Aku pegang janji kakek. Aku akan menagihnya pada waktu liburan sekolah. Aku merindukan ibu kek. Ibu meninggalkan kami begitu cepat. Terkadang aku merasa semua ini tidak adil untukku kek. Disaat aku bisa mengetahui kakek kandungku, disaat itu pula Tuhan mengambil ibuku dan kakakku. Aku merasa sendiri kek. Hiks... Hiks.. " tangis Embun pecah di malam itu.
Sebuah pemandangan yang menyesakkan dada. Seolah pisau yang menyayat hati sang kakek. Kakek hanya bisa meraup oksigen sebanyak mungkin guna mengurangi nafasnya yang semakin berat.
"Dewi... Apakah aku sanggup menjadi pelindung mereka. Usiaku sudah tua. Aku takut aku mereka belum bisa mandiri tapi aku sudah dipanggil oleh-Nya." monolog kakek dalam hatinya.
Di tengah malam yang dingin itu. Tubuh Naya terbaring lemah di atas ranjang. Nafasnya tersengal dan keringat dingin mengucur begitu deras.
"Devan .. Dimana kamu? Aku merindukanmu.. " ucapnya diiringi dengan tangisan pilu.
Suster yang melewati kamar Naya pun berhenti sejenak. Dibukanya pintu kamar Naya dengan perlahan.
Nampak tubuh Naya yang bergerak dengan risau di atas ranjangnya.
"Kenapa lagi pasien ini? Dari awal kedatangan selalu saja merepotkan. Udah gila menyusahkan lagi."
"Hei bangun.. Kau kenapa?" ucap sang suster seraya menyenggol tubuhku..
"Panas sekali badannya. Aku coba tanya dokter saja. Dia kan hamil. Nanti salah kasih obat malah aku yang kena maki dokter galak itu. Apalagi sekarang lagi shiftnya jaga dokter itu." Suster itu mengomel dengan sendirinya, mengingat perangai sang dokter yang galaknya diluar BMKG.
Tok.. Tok.. Tok..
Pintu terbuka dari luar. Tampak dokter Wira yang duduk di kursi kebesarannya fokus pada layar ipadnya.
"Ada apa?" tanya sang dokter dengan nadanya yang dingin.
"Pasien yang baru masuk tadi sore, saat ini sedang
demam dok. "
"Terus kenapa laporan ke aku? Apa kau tidak bisa memberinya obat sendiri. Kamu itu suster masak iya kamu nyuruh aku yang seorang dokter?" jawab dokter Wira nyerocos layaknya kereta express yang sedang melaju.
"Dasar dokter edan. Baru mau ngomong aja uda kesetanan." umpat kesal suster tersebut.
"Berhenti mengumpatiku dalam hati suster Ika. Kalau sudah bosen bekerja denganku. Aku tunggu surat pengunduran dirimu segera." ucapnya dengan nada penuh penekanan.
"Bu.. Bukannya bosen bekerja dengan dokter tapi pasiennya kan hamil. Saya tidak tahu dosis yang tepat untuk ibu hamil. Dan baru kali ini juga saya menangani pasien gila yang hamil." ucap suster Ika dengan nada yang bergetar ketakutan. Takut akan amukan dokter galak itu.
Dokter Wira melotot dengan tajam. "Memang berapa suhunya?"
"Belum tau dok." ucapnya dengan lirih. Satu kesalahan yang pastinya akan menjadi bahan bakar bom yang siap meledak tengah malam ini juga.
"Kau belum tahu suhunya tapi sudah melapor kepadaku? ini pengetahuan dasar kedokteran yang harusnya kamu tau dalam mengambil keputusan. Aku heran bagaimana bisa rumah sakit sebesar ini mempekerjakan orang sepertimu."
Dokter Wira pun bangkit dari kursinya dan bergegas menuju ke kamar Naya. Dibukanya pintu kamar yang tertutup itu. Perlahan ia duduk di tepi ranjang dan menempelkan termometer. Sembari itu ia mencoba memegang keningnya.
"Panas sekali. Huh... Merepotkan saja." ucapnya dengan suara yang lirih.
Namun sebelum tangannya dilepas dari kening Naya. Tangan Nayla menarik tangan dokter Wira. Diusapnya tangan itu ke pipinya. Senyum manis jelas tercetak di wajah ayu nan pucat itu.
"Devan.. Kaukah itu? Akhirnya kau datang kesini juga untuk menjemputku. Beritahu mereka bahwa kau benar - benar ayah dari bayi yang ku kandung." ucap Naya dengan wajah sendunya. Isakan tangis pilu terdengar begitu jelas di dalam kamar kecil itu.
"Devan... .? Siapa itu?" ucap dokter Wira seraya mengernyitkan keningnya.
mereka perawat tapi sikapnya tidak mencerminkan pekerjaannya