Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Perjodohan
“Pak, Bos. Kerjaan saya sudah selesai. Ayo kita pulang, sudah jam 10 malam,” ajak Anna sambil merapikan mejanya.
“Heum,” jawab Juna berdiri disamping meja kerjanya.
Anna menghampiri Juna dan memegang tangannya.“Pak.”Ana terkejut karena suhu tubuh Juna terasa panas.
Juna menatap Anna dengan mata menahan sakit.“Sakit, Na.” Tiba-tiba Juna tidak ambruk diri di pelukan Anna.
“Pak, Duh… jangan pingsan dong, Pak.” Anna memeriksa dahi Juna memastikan suhu tubuh Juna yang sudah terasa tidak normal.
“Aku masih sadar,” lirih Juna.
Anna sekilas melihat sofa, lalu berusaha memapah Juna ke arah sofa. Anna menidurkan Juna di sofa dengan hati-hati.
“Pak, mana yang sakit?” tanya Anna penuh perhatian sambil memegangi pipi Juna yang tampak sekali menahan rasa sakit.
Juna mengercep menahan rasa sakit kepalanya.“Kepalaku sakit, rasanya dingin sekali.”
Anna begitu khawatir, lalu mencari remot pendingin ruangan dan menurunkan suhunya. Ia juga mengambil jas milik Juna yang ada di sandaran kursi lalu menyelimuti Juna. Anna panik tetapi ia berusaha tenang, ia mengambil obat sakit kepala yang ia bawa diatasnya untuk jaga-jaga.
“Pak, Bapak gak alergi obat, kan?” tanya Anna
Juna menggeleng lemah. Wajahnya tampak pucat dan tubuhnya gemetar karena kedinginan.
“Minum obat dulu, Pak. Kebetulan saya selalu bawa persediaan obat. Minum dulu ya,” Anna membantu Juna meminum obat.
“Badan Bapak panas banget, saya harus hubungi siapa ini, Pak?”
“Tidak usah, kamu kalau mau pulang, pulang aja. Biar aku pesankan taksi.”
“Aku mana mungkin ninggalin Bapak kayak gini. Sudah, nanti aja. Tunggu kondisi Bapak mendingan.”
Juna hanya diam, memejamkan mata. Kepala seperti mau pecah. Anna menghela nafas mengusap kening juga lalu mengambil plester penurun panas, sepertinya tasnya itu sudah seperti kantong ajib. Ada saja yang ia bawa.
Ana menempelkan plester penurun panas itu ke dahi Juna, tapi sebelum itu ia mengikat rambut Juna bagian depan, karena menghalangi ia memasang plesternya. Juna pun pasrah Anna melakukan apa dengan dirinya.
Anna sedikit menahan tawa melihat rambut bagian depan bosnya itu, yang ia ikat menggunakan ikat rambut miliknya.
Waktu terus berjalan, ia tersenyum melihat bosnya sepertinya sudah tertidur lelap dan panas tubuhnya sedikit menurun. Ia pun mulai mengantuk, sesekali mengusap. Ia bingung ingin tidur dimana dan akhirnya ia memilih duduk dibawah sofa dekat Juna berbaring. Kepalanya ia sandarkan di sofa walau begitu ia sesekali bangun untuk mengecek kondisi Juna.
Keesokan harinya mereka justru didapati pak Ramdan dan Aldo tidur disofa berdua dengan posisi Juna memeluk Anna dari belakang.
“Do, Aku gak salah lihat, kan? Itu Juna yang kamu tahu sendiri alergi sama perempuan, sekarang malah tidur sama anak baru,” bisik pak Hamdan.
“Mungkin perempuan seperti Anna yang Juna cari, Om.”
“Benar juga.”
“Papa, aku cari di ruangan kamu kok gak ada, ternyata disini, ini pesanan Juna ketinggalan, sama kotak makannya,” ucap istri pak Ramdan, Yuli. Mama Juna.
“Huaaahhh!” teriak Bu Yuli melihat putranya disofa bersama wanita.
“Ada apa sih, berisik…,” lirih Anna sambil membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Juna.
Anna tidak sadar jika dirinya masih dikantor. Ia memeluk erat Juna yang sudah membuka mata setelah mendengar teriakan sang mama.
“Ini kok, tidur disini. Bangun, Juna,” ucap Bu Yuli lembut.
Juna mendorong Anna sampai Anna terjatuh dari sofa.Anna mengaduh kesakitan memegang pinggang dan kepalanya.“Aduhhhh.., sakit,” lirih Anna.
Aldo, pak Ramdan dan Bu Yuli menahan tawa melihat ekspresi putranya dan Anna. Anna membuka matanya dan terkejut melihat tiga pasang kaki tepat di hadapannya. Perlahan ia mendongak.
“Huohhh…, Pak Hamdan?Pak Aldo? Saya–” Anna melihat Juna yang sudah duduk di sofa dengan ekspresi seperti biasa. Ia khawatir dengan kondisi Juna.
“Bapak? Bapak sudah sehat? Sudah gak panas?” Anna memeriksa suhu tubuh Juna dengan memegang pipi Juna.
“Huh.. syukurlah. Bapak sudah sehat. Aku gak bisa tidur semalaman nungguin Bapak. Aku bisa tidur jam e pagi,” oceh Anna berlutut dihadapan Juna.
Anna berdiri takut, malu di hadapan pak, Hamdan. “Maaf, Pak Hamdan, kemarin saya dan Pak Juna lembur dan pak Juna juga demam, jadi tidur di kantor dan gak pulang. Maaf,” ujar Anna takut.
Bu Yuli tersenyum mendekati Anna.“Kamu, Anna?” tanya Bu Yuli tersenyum melihat Anna lalu mengusap rambut Panjang Anna yang tergerai.
Rupanya saat tengah malam, ketika Anna tertidur, Juna mengirim pesan pada sang mama dan bercerita tentang Anna dan sakitnya.
“Iya, Bu. Saya Anna. Boleh saya permisi?”
“Tidak boleh,” saut Juna datar sambil menatap Anna.
“Hah? Pak saya kan mau pulang dulu, nanti balik ke kantor lagi.”
Juna mendekati ibundanya dan mengambil apa yang ia pesan untuk Anna. “Ini, mandi disini,” ucap Juna.
“Disini?” Anna menatap kedua orang tua Juna dan Aldo.
“Kamar mandi,” saut Juna lagi, ia tahu wanita di hadapannya itu terlalu polos.
“Ouh…, iya. Terima kasih, Pak.” Anna melangkah keluar namun tangannya ditahan Juna.
“Kamar mandi disini, jangan diluar. Kamu mau semua orang tahu kamu gak pulang.”
“Hehe, iya juga. Kalau gitu aku mandi dulu,” jawab Anna dengan ciri khasnya membuat orang ingin tertawa.
Saat Anna ke kamar mandi, Bu Yuli tertawa terpingkal-pingkal melihat putranya yang rambut masih di kuncir. Ia melihat seperti anak kecil.
“Kamu, kenapa begini.” Bu Yuli masih tertawa sambil melepas kunciran rambut Juna.
Juna diam sejenak, tetapi dalam hatinya tersenyum mengingat Anna yang mengurusnya.“Tadi malam aku demam, Ma. Untung ada Anna.”
Hanya dengan sang mama Juna bisa terbuka dan nada bicaranya begitu hangat. Tetapi dengan yang lain termasuk papanya sendiri, sikapnya dingin, cuek, tidak pernah mau senyum.
“Heum… jadi dia rawat kamu. Pantas saja ditunggu-tunggu di acara teman papa kamu, kamu gak datang. Padahal orang tua dan kakek nenek calon istrimu datang,” ucap Bu Yuli sambil melihat suaminya.
“Aku gak mau di jodohkan, Ma.”
“Iya, Mama tahu. Tapi kamu lihat dulu foto calon kamu, ini Mama bawa.”
Juna menepis tangan mamanya dan tidak ingin melihat foto perempuan yang dijodohkan padanya. Baginya itu tidak penting.
Aldo melebarkan matanya saat tahu foto perempuan tersebut. Aldo merebutnya dan melihat dengan seksama.
“Ini kan?”
“Sttttt, udah.” Pak Hamdan merebut foto tersebut lalu memasukkan kedalam kantong jasnya.
“Jangan kasih tahu, biarkan saja,” bisik Pak Hamdan ke telinga Aldo.
“Iya, tapi itu kan Anna, om,” bisik Aldo.
“Iya, makanya diam saja. Jadi gak usah repot-repot jodohin mereka, aku juga baru tahu kalau yang mau dijodohin istriku sama Juna itu, anak bungsu Bu Bianca sama pak Reza” bisik pak Ramdan lagi.
“Oh… iya,iya. Biar mereka tahu sendiri. Jadi saya tidak perlu repot-repot mencari informasi tentang Anna,” bisik Aldo.
Juna melirik Aldo yang sedang berbisik pada pak Ramdan. “Kalau Aldo mau sama perempuan itu?Buatmu saja,” saut Juna dengan tatapan dinginnya.
“Beneran? Iya Om buat aku aja,” jawab Aldo . Ia juga ingin membuat rencana sendiri tentang perjodohan Juna dan Anna. Ia ingin menguji Juna.
“Sudah, perempuan itu bukan buat mainan. Kalau gak mau ya sudah. Memangnya dia mau sama kamu nantinya,” jawab bu Yuli melihat Aldo agar menjaga batasannya, bagaimanapun Anna sudah ditetapkan menjadi jodoh Juna dan itu sudah kesepakatan kedua keluarga walau baik Anna dan Juna belum mengetahui satu sama lain, siapa orang yang dijodohkan dengan mereka.
Entah kebetulan atau takdir, Juna dan Anna justru dipertemukan lebih dulu sebelum kedua keluarga mereka memperkenalkannya.
“Pak Juna , aku sudah mandi,” ucap Anna yang sudah keluar dari kamar mandi dengan dress panjang selutut, dress baru yang dibawa mama Juna.
Anna tampak anggun dan cantik menawan. Juna yang melihatnya pun tampak terpesona dan tersenyum. Tanpa sadar Juna berjalan menghampiri Anna dan meraih tangannya.
Juna menarik tangan Anna berjalan menuju sofa dan duduk.“Duduk, sarapan lah dulu.”
Pak Hamdan dan bu Yuli hanya saling pandang, melihat sikap Juna berubah drastis. Bu Yuli menarik pak Hamdan dan Aldo keluar dan membiarkan Juna dan Anna sarapan.