NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Pagi itu, langit di atas Mansion Dragunov tampak kelabu, seolah ikut menyerap kegelisahan yang menyelimuti penghuninya. Kabut dingin menutupi halaman depan, sementara suara burung gagak terdengar serak di kejauhan.

Apollo berdiri di depan jendela ruang kerja nya, mengenakan kemeja hitam tanpa dasi, rambutnya sedikit acak-acakan.

Matanya menatap kosong ke luar, namun pikirannya berputar ke banyak arah , ke malam sebelumnya, ke wajah Lyora yang tidur terlalu tenang, ke senyum samar yang terus menghantui ingatannya.

Ketukan pintu terdengar pelan. Eliot masuk, membawa tablet dan beberapa berkas. Wajahnya tampak tegang. “Bos kita punya masalah besar,” katanya dengan nada rendah.

Apollo menoleh perlahan. “Masalah apa lagi pagi-pagi begini?”

Eliot menelan ludah. “Strategi ekspansi Dragunov Holdings ke Eropa Timur, dibajak. Seluruh rancangan proyek dan file rahasia sudah tersebar ke media pasar. Dan yang lebih buruk—”

Ia berhenti sejenak, menatap Apollo dengan ragu.“ file itu menggunakan tanda tangan enkripsi pribadi Anda.”

Ruangan langsung terasa membeku. Apollo menatapnya tajam. “Apa kau baru saja mengatakan tanda tanganku?”

“Ya, Bos.” Eliot meletakkan tablet di meja. Tampilan layar menunjukkan dokumen- dokumen yang identik dengan arsip milik mereka, lengkap dengan tanda tangan digital Apollo dan stempel internal yang seharusnya tidak mungkin diakses siapa pun di luar lingkaran inti.

“Ini sabotase,” kata Johan yang baru masuk, menutup pintu di belakangnya. “Dan waktu nya terlalu kebetulan. Tepat setelah insiden dengan Lyora.”

Nama itu membuat rahang Apollo menegang. Ia menatap layar, lalu menoleh ke jendela, menarik napas panjang seolah mencoba menahan amarah yang mulai menggelegak.

“Siapa pun yang melakukannya tahu semua pola gerakanku,” ucapnya datar. “Bahkan kode pribadi yang hanya kubagikan pada satu orang…”

Eliot menunduk, seolah tahu arah pikirannya.

“Bos, kau tidak berpikir—”

“Tutup mulutmu,” potong Apollo dingin.

Ia berjalan menuju meja, menekan tombol interkom.“Periksa setiap server. Siapa pun yang mengakses sistem pukul dua dini hari, aku ingin namanya sebelum siang ini.”

Suasana ruangan menjadi tegang. Di luar, angin bertiup kencang, membuat tirai berayun pelan. Apollo berdiri diam, matanya memantul pada kaca jendela, dan untuk sesaat, ia merasa seperti melihat bayangan seseorang berdiri di belakangnya.

Namun saat ia menoleh, ruangan itu kosong.

Hanya aroma samar parfum Lyora yang masih tertinggal di udara.Tanpa menunggu lagi, Apollo bergegas melangkah keluar ruangan. Suara sepatu Apollo bergema cepat di koridor panjang lantai dua mansion.

“Di mana Dia ?” suaranya datar namun menekan.

“Di ujung koridor, Bos. Kami lihat bayangan lewat, mirip—” ujar salah satu staf.

“Tunjukkan.”

Begitu sampai di tikungan, Apollo melihat ujung kain biru laut. Sekilas saja cukup baginya untuk mengenali siapa pemiliknya.

Lyora.

Tanpa pikir panjang, Apollo mempercepat langkah dan menarik pergelangan tangan wanita itu. “Apa yang kau dengar barusan?” suaranya rendah, namun cukup untuk membuat siapa pun gemetar.

Lyora menatapnya dengan mata membulat, hidungnya memerah, bibir bergetar menahan… bersin.

“Ah… a- apaa ?”

“Apa yang kau dengar, Lyora?” Apollo menatap lurus ke matanya.

Namun sebelum ia bisa lanjut, wanita itu tiba-tiba mengeluarkan suara lirih dan …“Hh-HAACIIIIIHH!!”

Seketika Apollo refleks mundur setengah langkah.

Lyora mengusap hidungnya yang basah dengan tisu sambil meringis malu.“Aku cuma mau mengadu, aku pilek,” ujarnya polos, suara sengau. “Tadi mau bilang ke Eliot biar kasih aku teh jahe… tapi malah dikira mata-mata.”

Johan yang baru datang membawa map hampir menjatuhkannya karena menahan tawa. Eliot menunduk, pura-pura serius, tapi bahunya sedikit bergetar.Apollo menatap mereka satu per satu lalu kembali ke Lyora.

Diam. Sunyi.

Lalu dengan suara datar penuh tekanan, ia hanya berkata pelan,“Pergilah minum teh jahemu, sebelum aku benar-benar memutus kan untuk menaruhmu di ruang interogasi.”

Lyora mengangguk cepat, hidungnya masih merah. “Boleh tambah madu dua sendok?”

“Keluar.”

Wanita itu buru-buru lari kecil ke arah dapur, sementara Eliot akhirnya tak tahan lagi dan menunduk menahan tawa.

Apollo memijat pelipisnya. “Tuhan, aku kehilangan strategi perusahaan, dan satu-satunya saksi yang kutemui justru—pilek.”

Apollo lalu melangkah pergi, kembali menuju ruang kerjanya . Ruang kerja itu sunyi, hanya terdengar detik jam di dinding dan suara klik-klik cepat dari jari Apollo di atas keyboard.

Di layar, grafik keuangan dan peta rantai strategi terpampang, sebagian besar berwarna merah, tanda kebobolan sistem.

Laporan di meja menunjukkan angka yang membuat urat di pelipisnya menegang: kerugian sementara mencapai 3,8 miliar dollar.

Eliot berdiri di dekat pintu, Johan di belakang nya. Tak satu pun berani berbicara.Apollo menarik napas berat. “Mereka membobol jalur perdagangan dari cabang Zurich. Ini bukan pekerjaan amatir.”

“Tim digital sedang menelusuri, tapi mereka pakai enkripsi militer. Hampir mustahil ditelusuri dengan cepat,” ujar Eliot hati-hati.

“Hampir, bukan mustahil,” sahut Apollo pelan, suaranya mengandung ancaman dingin yang membuat udara di ruangan terasa menekan.

Ia beranjak ke meja kaca di tengah ruangan, menatap deretan berkas yang sudah diacak.

Di antara laporan dan blueprint jaringan keamanan, tergeletak satu hal yang membuatnya terdiam , gantungan kunci berbentuk kapal.

Ia memungutnya perlahan. “Siapa yang meletakkan ini di sini?”Eliot saling pandang dengan Johan. “Kami tidak tahu, Bos. Itu tidak ada tadi malam.”

Apollo hendak menanggapi, namun pintu tiba-tiba terbuka.

"Tok, tok!” suara ceria itu masuk duluan sebelum sosoknya. Lyora melangkah masuk tanpa permisi, membawa nampan kecil berisi teh jahe panas.

Rambutnya sedikit berantakan, hidungnya masih merah, dan wajahnya tampak segar meski baru saja pilek.

“Teh jahe, seperti yang kau minta~” katanya riang, meletakkan cangkir porselen di meja, tepat di antara tumpukan berkas kerugian miliaran dollar.

Eliot langsung menegakkan tubuh, Johan berpura-pura sibuk melihat plafon.Apollo hanya menatapnya lama. Tatapannya tajam, nyaris mematikan.Namun Lyora sama sekali tidak menyadarinya.

“Lihat, kukasih dua sendok madu! Biar cepat sembuh, kau kan kelihatan pucat,” lanjutnya polos.

“Pucat?” Apollo mengulang, nadanya datar.

“Iya. Dari tadi bibirmu dingin, matamu juga kayak... tersengat pajak tahunan.”

Apollo menutup laptopnya pelan. “Lyora,” katanya tenang, tapi matanya menatap tajam.

“Ya?”

“Apakah kau yang masuk ruangan ini semalam?”

“Hmm? Tidak, aku di kamar. Kenapa?”

“Karena seseorang meninggalkan sesuatu di mejaku.”

Lyora menatap benda di tangan Apollo gantungan kunci berbentuk kapal. Ia memiringkan kepala. “Oh, itu punyaku! Waktu aku diculik kemarin, kayaknya jatuh, aku nemu di taman belakang barusan.”

“Dan kau... taruh di mejaku?”

“Iya, kupikir kau yang nemu duluan.”

Sunyi. Eliot dan Johan menatap Apollo dengan ekspresi kami-tidak-mau-mati-hari-ini.

Apollo menatap Lyora lama, mencoba membaca ekspresinya. Tidak ada tanda bersalah, tidak ada rasa takut. Hanya ketulusan polos yang membuat semua kemarahannya terasa percuma.Ia menghela napas berat dan bersandar di kursi, menekan pelipis.

“Letakkan tehnya, lalu keluar.”

Lyora menatapnya bingung. “Tapi ini masih panas—”

“Sekarang.”

Wanita itu menurut, meletakkan cangkir itu perlahan. Sebelum keluar, ia sempat menatap nya lagi dan berkata lembut,

“Kalau kau terus marah, nanti tehmu keburu dingin. Dan teh jahe kalau dingin, rasanya kayak minum air logam.”

Pintu tertutup. Hening lagi. Eliot berdehem pelan. “Bos, kau masih ingin kami periksa CCTV—”

“Tidak perlu,” potong Apollo pelan. “Cari siapa pun yang berani pakai jalur Dragunov, dan pastikan mereka menyesal.”

Namun di balik kata-katanya yang dingin, tatapannya sempat jatuh ke arah cangkir teh di meja. Uapnya mengepul lembut, meninggal kan aroma jahe dan madu. Dan di dasar cangkir itu , samar ada bekas sidik jari mungil yang tertinggal.

Apollo menatapnya sekilas, lalu berbisik lirih,

“Lyora... apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku?”

...****************...

Lyora berjalan di lorong panjang mansion dengan langkah ringan, seolah pagi tadi tidak terjadi apa-apa. Hidungnya masih merah, tapi wajahnya cerah. Di tangan, ia membawa nampan kosong bekas teh jahe yang tadi diberikan untuk Apollo.

Namun begitu melewati taman dalam mansion, langkahnya melambat. Tatapannya berhenti pada singa batu besar di sisi kolam patung Balthor. Ia menatapnya lama, senyumnya perlahan memudar.

“Aku hampir saja tertangkap,” gumamnya pelan, suara nyaris tak terdengar di antara desir angin.

Dari balik gaunnya, Lyora mengeluarkan keping logam kecil seukuran kuku, hampir mirip chip data. Permukaannya berkilau tipis di bawah cahaya matahari.Ia menatap benda itu lama, lalu menutupnya kembali dalam genggaman.

“Maaf, tapi aku tidak punya pilihan lain,” bisiknya.

Ia melangkah ke arah paviliun belakang, tempat biasanya para pelayan jarang lewat. Di sana ada ruangan kecil berisi rak bunga kering dan peralatan kebun. Lyora menunduk, membuka salah satu pot bunga besar, dan menyelipkan chip itu di bawah lapisan tanah lembab.

Setelah itu ia menepuk tanahnya ringan, meniup debu dari ujung jarinya, lalu berkata pelan sambil tersenyum getir, “Tidak semua rahasia harus disimpan di kepala. Kadang bunga lebih tahu bagaimana caranya menjaga rahasia.”

Angin menerpa rambutnya lembut. Sekilas, bayangan seseorang melintas di jendela kaca di belakangnya. Tapi Lyora tidak menoleh. Ia hanya berdiri diam, seolah tahu bahwa ada mata yang sedang memperhatikannya.

Beberapa saat kemudian, langkah berat terdengar mendekat itu Eliot.“Nona Lyora?” panggilnya.

Lyora cepat menoleh, wajahnya kembali cerah seolah tidak terjadi apa-apa.

“Oh, Eliot! Aku baru saja menanam bunga thyme. Katanya bagus buat tenggorokan yang sakit.”

Eliot mengamati pot bunga itu sekilas. Tidak ada yang mencurigakan.Ia mengangguk kecil. “Tuan Apollo sedang memeriksa ulang laporan. Beliau ingin kau istirahat.”

Lyora tersenyum lembut. “Apollo terlalu khawatir. Aku baik-baik saja.”

Ia berjalan melewati Eliot dengan tenang, langkahnya ringan seperti biasa. Tapi begitu menjauh, ekspresinya kembali berubah dingin, serius, dan penuh pikiran. Ia menyentuh dada kirinya pelan.

“Kalau mereka tahu siapa aku sebenarnya… segalanya akan berakhir.”

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!