Mengangkat derajat seseorang, dan menjadikanya suami, tidak menjamin Bunga akan di hargai.
Rangga, suami dari Bunga, merupakan anak dari sopir, yang bekerja di rumah orang tua angkatnya.
Dan kini, setelah hubungan rumah tangga mereka memasuki tujuh tahun, Rangga memutuskan untuk menceraikan Bunga, dengan alasan rindu akan tangisan seorang anak.
Tak hanya itu, tepat satu bulan, perceraian itu terjadi. Bunga mulai di teror dengan fitnat-fitnah kejam di balik alasan kenapa dia di ceraikan ...
Bagi kalian yang penasaran, yuk, ikuti kisah Bunga dan Rangga ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemeriksaan
Sejak Rangga menyebutkan kata hamil tempo hari. Diam-diam, Bunga datang ke dokter kandungan untuk konsultasi tentang promil.
Tak hanya itu, dia juga ikut cek kesuburan dan juga lainnya.
Setelah nomor antriannya di sebut, dengan hati berdebar, Bunga masuk ke ruangan tersebut.
Seorang dokter obgyn menatap Bunga dengan tatapan teduh.
"Mau cek kesuburan ya? Suaminya mana?" tanya Dokter, seraya menyuruh Bunga untuk berbaring.
"Suami, lagi keluar kota," ujar Bunga berbohong.
"Kalo boleh tahu, udah nikah berapa lama?"
"Empat tahun dok,"
"Sehat, semuanya baik. Terakhir haid kapan?" tanya dokter, melihat komputer yang menampilkan hasil usg.
Bunga tersenyum manis, "Minggu lalu," balas Bunga lagi.
Kembali dokter melakukan rentetan pemeriksaan pada Bunga.
"Tinggalkan nomornya ya, mungkin besok hasilnya akan keluar," ungkap dokter, karena sebelumnya Bunga juga diambil darah, serta pemeriksaan lainnya.
Keluar dari sana, Bunga bernapas lega. Setidaknya, rahimnya sehat. Itulah, yang dokter katakan tadi.
Dan mulai sekarang, Bunga akan melakukan promil, dengan memakan makanan yang sehat.
Besoknya, kembali Bunga ke rumah sakit tempat ia konsultasi, setelah di hubungi oleh pihak rumah sakit.
"Baik, Bunga," katanya lembut, "hasil pemeriksaan hormon kamu sudah keluar." ujar Dokter, kala Bunga berada di depannya
Dokter menunjuk lembar hasil di tangannya. "Kadar FSH dan LH kamu normal, artinya indung telur masih bekerja dengan baik. Hormon estrogen juga seimbang, dan kadar progesteronmu menunjukkan bahwa kamu sempat berovulasi bulan ini — itu pertanda bagus."
Bunga mengangguk pelan, tapi matanya tetap gugup menunggu penjelasan selanjutnya.
"Dari hasil USG transvaginal," lanjut dokter menatap Bunga, "rahim kamu bentuknya normal, tidak ada miom atau kista. Di ovarium kanan terlihat folikel yang hampir matang, ukuran sekitar delapan belas milimeter. Itu artinya tubuhmu sedang bersiap untuk masa subur."
Bunga menarik napas lega. "Jadi… saya masih bisa punya anak, Dok?"
"Tentu saja bisa," jawab dokter dengan senyum hangat. "Secara medis, tidak ada hambatan berarti. Cadangan sel telurmu juga masih bagus. Waktu terbaik untuk mencobanya adalah sekitar hari ke tiga belas sampai ke enam belas siklus menstruasi."
Sekilas, mata Bunga berkaca. Ia menggenggam erat kertas hasil pemeriksaan itu — bukan hanya selembar data, tapi secercah harapan yang selama ini ia tunggu.
"Tapi, kenapa sampai sekarang saya belum hamil?" tanya Bunga penasaran.
Dokter menarik napas, menatap sendu ke arah Bunga. "Bisa jadi, suami anda lah, yang bermasalah. Maka dari itu, aku rekomendasikan, agar dia juga melakukan pemeriksaan," balas dokter.
Dengan hati yang berbunga-bunga. Bunga keluar dari rumah sakit. Dia juga menebus beberapa vitamin sebagai pendukung promil.
Di perjalanan, saat melewati sebuah kafe. Mata Bunga menatap mobil sport hadiah yang di belikan untuk suaminya.
Tanpa pikir panjang, Bunga menepi. Ia berencana akan ke kafe juga. Karena dia udah tak sabar, menunjukkan hasil tes kesuburannya.
Begitu masuk ke kafe, mata Bunga menatap keliling, guna mencari sosok Rangga. Namun, betapa terkejutnya Bunga, kala melihat Rangga sedang menggenggam tangan seorang gadis, yang terlihat begitu asing di matanya.
Walaupun tubuh Rangga membelakanginya, tidak sulit bagi Bunga untuk mengenali lelakinya.
"Mas Rangga," lirih Bunga.
Tanpa pikir panjang, Bunga berjalan mendekati meja Rangga. Namun, bukan untuk menyapa ataupun melabrak. Melainkan untuk menguping pembicaraan suaminya.
Bunga memilih duduk di meja belakang Rangga. Karena disana, satu-satunya tempat yang aman untuk mendengar percakapan suaminya.
"Papa terus-menerus mendesakku untuk menikah, dia bahkan bertekad akan menjodohkan aku," lirih Risa dengan sendu. "Kamu mau kan? Menemui papa, dan mengatakan jika kamu pacarku?" bujuk Risa penuh permohonan.
"Baiklah, atur aja," sahut Rangga, tak tega.
"Apa maksudmu mas?" tanya Bunga tanpa menoleh ke belakang.
Rangga terkejut, dia berdiri dan menoleh ke belakang.
"Kamu bermaksud menjadi pacar bohongan orang lain?" sambung Bunga, memutar lehernya, melihat Rangga.
"Bu-bunga, kenapa ada disini?" tanya Rangga terkejut.
"Kenapa? Aku gak boleh kesini?" Bunga bertanya dengan sinis.
"Bukan begitu," Rangga menggaruk tekuknya.
"Maksud pembicaraan kalian tadi apa?" kembali Bunga bertanya seraya menatap Rangga dan cewek di sebelahnya secara bergantian.
"Kenalkan kak, aku Marissa, dan aku salah satu kliennya pak Rangga," Marissa mengulurkan tangannya.
"Klien? Apakah pantas klien meminta suami orang untuk menjadi pacar pura-puranya?" tanya Bunga tajam, tanpa menyambut uluran tangan Marissa.
"Sayang, kamu salah paham," Rangga memegangi kedua tangan Bunga.
"Sayang? Sejak kapan panggilan mu berubah? Bukannya kamu lebih nyaman memanggilku dengan Bunga?" Bunga memicingkan matanya, membuat Rangga salah tingkah.
"Jawab!" kembali Bunga menatap Marissa.
"Aku hanya ingin minta bantuannya," lirih Marissa menunduk.
"Kenapa harus sama lelaki yang jelas-jelas udah punya istri? Atau jangan-jangan, kamu malah gak tahu, jika ia sudah menikah?"
"Tahu, aku tahu ... Bahkan, bang Rangga sudah,"
"Bang?" potong Bunga cepat. "Terdengar akrab, untuk seorang klien,"
"Maksud ku, pak Rangga," ralat Marissa.
"Kamu apa-apa sih, ayo kita pulang," Rangga menarik tangan Bunga.
Dia gak mau, Bunga mempermalukan Rissa. Apalagi, seluruh pelanggan kafe menatap Rissa dengan tatapan mencemooh.
Setengah jam kemudian, Rangga dan Bunga tiba di kediaman mereka. Tanpa menunggu lebih lama, Rangga langsung menarik tangan Bunga agar segera masuk ke dalam.
"Kenapa kamu mempermalukan aku hah?" hardik Rangga dengan muka yang merah.
"Aku mempermalukan kamu? Apa aku salah, melindungi hak ku, dari bibit-bibit pelakor seperti wanita tadi?" beruntun Bunga tanpa takut sedikitpun.
"Risa bukan wanita seperti itu, dia hanya meminta bantuan dari ku, hanya itu," bela Rangga.
"Cih," desis Bunga memutar mata malas. "Terus, kenapa tadi kalian saling menggenggam?" tanya Bunga.
Rangga mengerjap, karena dia gak tahu harus bagaimana.
"Kenapa diam?" tanya Bunga menantang.
"Ka-kamu salah paham, tadi aku hanya menenangkannya," ungkap Rangga.
"Dah lah, kamu ini curigaan. Dan itu membuatku jengah, aku pergi aja," cetus Rangga, karena tak tahan dengan tatapan dari Bunga.
"Berani keluar, maka sekalian aku hubungi papa untuk mengeluarkanmu dari perusahaan," ancam Bunga.
Rangga menghentikan langkahnya. Mau tak mau, dia berbalik arah dan menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Sedangkan Bunga, dia melupakan niatnya untuk memberitahukan, tentang hasil tes kesuburannya.
pasti papa andrian udh menilai dari sikap dan tutur bahasanya si rangga kurang
semoga bahagia buat Arlan sama bunga,,,
semoga Cpet² dikasih momongan ya, biar PD mingkem tuh para org² julidnya,,, 🙏🙏🙏🤭
𝑺𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒌𝒂𝒓 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎, 𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒋𝒆𝒋𝒂𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒌𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒑𝒖𝒏𝒄𝒂𝒌 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒋𝒂𝒕𝒊.✿⚈‿‿⚈✿