Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Terpaksa menikah demi Anak
Dua minggu kemudian, pernikahan itu berlangsung. Tanpa pesta, tanpa undangan besar, hanya keluarga inti dan beberapa saksi. Hanum mengenakan kebaya putih sederhana, wajahnya pucat tapi cantik dengan air mata yang sesekali jatuh. Abraham mengenakan jas hitam, berdiri tegap dengan wajah dingin.
Ijab kabul berlangsung singkat. Suara Abraham tegas, tak goyah. “Saya terima nikahnya Hanum binti Roshidin dengan maskawin seperangkat alat salat dibayar tunai.”
"Sah?"
Saat penghulu mengumumkan, Hanum menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Dia resmi menjadi istri Abraham Biantara. Siska tersenyum lega, Miranti ikut menitikkan air mata. Bagi mereka, ini awal yang baik. Namun bagi Hanum, ini adalah awal bab baru yang penuh misteri.
"Sah!" semua orang tersenyum melihat hal itu.
Malam itu, Hanum duduk di ranjang kamarnya, menatap Kevin yang tertidur. Air matanya jatuh ke pipi.
“Aku sudah jadi istri ayahmu, Sayang … tapi bukan karena cinta. Aku hanya ingin kau punya nama baik, punya keluarga yang lengkap. Semoga aku sanggup menjalaninya.”
Di kamarnya sendiri, Abraham berdiri di balkon menatap langit. Bayangan Alma kembali hadir.
“Maafkan aku, Alma … aku melakukan ini demi anak kita. Demi Kevin, dan demi seorang wanita yang terlalu lama tersiksa.”
Hatinya bergejolak, tapi wajahnya tetap dingin. Abraham sudah memutuskan, dia akan menikahi Hanum, tapi pernikahan ini tak boleh melibatkan cinta.
Baik, aku lanjutkan dengan fokus ke hubungan Hanum dan Abraham, menggambarkan kontras dinginnya sikap Abraham dengan ketulusan Hanum.
Hari-hari setelah kejadian itu berjalan dengan ritme yang sama. Abraham tetap menjaga jarak, membangun dinding yang semakin kokoh di hadapan Hanum. Dia nyaris tak pernah memanggil nama wanita itu, hanya sekadar “kau” atau “pengasuh”. Bahkan ketika keduanya harus berada di satu meja makan, Abraham lebih banyak diam, hanya sesekali menanyakan kebutuhan Kevin, tanpa pernah menyinggung Hanum.
Namun, berbeda dengan sikap Abraham, Hanum justru selalu memperlakukannya dengan penuh hormat. Setiap pagi, ia memastikan sarapan yang disiapkan pelayan sesuai dengan selera Abraham. Dia tidak pernah lupa menyiapkan kemeja yang sudah disetrika rapi, meletakkannya di kursi dekat ruang kerja, bahkan sesekali menyelipkan secangkir kopi hitam tanpa gula di meja kerja pria itu.
“Terima kasih,” hanya itu yang keluar dari bibir Abraham, datar, tanpa tatapan. Hanum tersenyum kecil, menunduk, lalu pergi.
Bagi Hanum, dia tahu posisinya. Abraham bukan sekadar lelaki yang menolongnya dari gunjingan, tapi juga ayah dari bayi yang kini ia rawat penuh kasih. Dalam hatinya, Hanum meneguhkan janji, 'aku tidak boleh berharap, tugasku hanya menjaga dan memberi kasih.'
Namun terkadang, kehangatan kecil yang ia berikan menembus celah hati Abraham tanpa ia sadari. Malam-malam ketika Abraham pulang terlambat, Hanum selalu menunggu di ruang tamu dengan alasan menidurkan Kevin. Padahal, ia sengaja tidak tidur agar bisa memastikan pria itu pulang dengan keadaan baik.
Suatu malam, hujan deras mengguyur kota. Abraham pulang dengan jas yang masih basah saat Abraham turun dari mobil, wajahnya tampak lelah. Hanum berdiri menyambutnya.
“Tuan pasti kedinginan. Saya sudah menyiapkan teh hangat di meja,” ucapnya pelan.
Abraham sempat tertegun beberapa detik sebelum akhirnya menjawab singkat, “Kau tidak perlu repot.”
Namun tangannya tetap meraih gelas itu, meneguk perlahan. Kehangatan teh itu terasa berbeda, seakan ada ketulusan yang ikut masuk bersama hangatnya cairan.
Malam itu, setelah Hanum kembali ke kamarnya, Abraham duduk lebih lama di kursi ruang tamu. Ia menatap gelas kosong di tangannya, jantungnya berdegup dengan ritme yang sulit ia kendalikan.
'Kenapa aku merasa diperhatikan? Kenapa aku takut mengakui bahwa aku butuh itu?'
Sementara Hanum, di kamar kecil bersama Kevin, menatap bayi itu sambil tersenyum getir. “Ayahmu dingin sekali, Nak. Tapi ibu percaya … dalam hatinya, ia tetap baik.”
Hari-hari berikutnya, ketulusan Hanum semakin terlihat. Dia selalu menyambut Abraham ketika pulang, menyiapkan segala kebutuhannya, bahkan mendoakan diam-diam di setiap malam agar lelaki itu diberi kekuatan.
Beberapa hari kemudian, suasana rumah besar keluarga Biantara agak berbeda. Siska, duduk di ruang keluarga dengan wajah penuh pertimbangan sambil memegang sebuah amplop putih elegan. Hanum yang baru selesai menidurkan Kevin, datang menghampiri untuk menanyakan kabar.
“Ada apa, Ibu?” tanya Hanum pelan.
Siska menghela napas, lalu menunjukkan undangan itu. “Ini undangan pernikahan Galih dan Lilis. Dia masih keluarga jauh kita … entah bagaimana, mereka tetap mengirimkan undangan.”
Nama itu membuat Hanum tercekat. Galih, laki-laki yang pernah mengisi hatinya, sekaligus meninggalkannya dengan luka yang tak kunjung sembuh. Sesaat, wajahnya memucat, namun ia berusaha tegar. “Kalau begitu, Ibu datang saja."
Siska semula memang berniat datang sendiri, tapi ia melirik Hanum penuh arti. “Hanum, kamu istrinya Abraham sekarang. Mau bagaimana pun, kehadiranmu akan membuat orang berhenti bergosip. Tidak baik kalau kamu menghindar. Apalagi … Lilis itu jelas ingin orang-orang tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah.”
Hanum menunduk, hatinya terasa perih. Ia sudah cukup sering merasakan pahitnya cibiran orang, dan kini ia harus berhadapan langsung dengan masa lalunya.
“Ibu … saya rasa, lebih baik saya di rumah saja. Saya tidak mungkin datang ... apalagi papanya Kevin tidak akan setuju,”
Percakapan itu terdengar oleh Abraham yang baru turun dari lantai atas. Dengan nada dingin bercampur sinis, ia menyela, “Atau … sebenarnya kau memang belum bisa move on dari mantanmu itu?”
Hanum sontak mendongak, matanya membelalak. “Bukan begitu, Tuan! Saya hanya tidak ingin mempermalukan keluarga dengan kehadiran saya.”
Abraham mengangkat sebelah alisnya, menyilangkan tangan di dada. “Kalau memang sudah tidak ada perasaan, seharusnya kau bisa datang dengan kepala tegak. Atau jangan-jangan … masih ada sesuatu yang kau simpan?”
Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk hati Hanum. Dadanya sesak, wajahnya panas menahan marah dan malu sekaligus. Dia menelan ludah, lalu berkata pelan namun tegas, “Baiklah. Saya ikut ... saya tidak takut siapa pun.”
Siska yang sejak tadi menyimak percakapan itu, tersenyum samar. Ia tahu betul Hanum sebenarnya terluka, tapi keputusan untuk datang adalah langkah tepat. “Kalau begitu, biar Ibu yang menyiapkan semuanya. Hanum, kamu harus tampil cantik. Jangan biarkan mereka menganggapmu kalah.”
Esoknya, Siska membawa Hanum ke salon. Dari awal, Hanum enggan dan merasa canggung.
“Ibu, saya tidak perlu dirias berlebihan, cukup sederhana saja.”
Namun Siska menggeleng, lalu menggenggam tangan Hanum erat. “Nak, dengarkan Ibu. Kau sekarang istri Abraham Biantara. Orang lain mungkin masih memandangmu sebelah mata, tapi hari ini … kau harus berdiri sejajar. Tidak boleh ada yang meremehkanmu lagi. Ingat, ini juga untuk pernikahanmu, biarkan Abraham jatuh cinta perlahan," bisik Siska diujung kalimatnya.
Hanum menatap Siska dengan mata berkaca-kaca. Ia tak pernah merasakan ada seorang mertua yang begitu peduli dengannya.
Di salon, rambut Hanum ditata anggun, wajahnya dirias natural dengan sentuhan lembut. Ia sendiri terkejut saat bercermin, bayangan yang kembali menatapnya adalah sosok wanita yang lebih kuat, lebih berwibawa, bukan lagi Hanum yang selalu pasrah dan terluka.
Ketika keluar dari salon, Abraham yang sudah menunggu di mobil menoleh sekilas. Tatapannya terhenti beberapa detik, meski cepat-cepat ia alihkan kembali. Ada debar aneh di dadanya, meski bibirnya tetap dingin. “Cepat masuk, nanti kita terlambat.”
Hanum menghela napas, lalu masuk ke dalam mobil.
"Terima kasih, Tuan." Ucap Hanum, saat Abraham dengan sengaja membuka pintu untuknya.
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏