NovelToon NovelToon
Duda Dan Anak Pungutnya

Duda Dan Anak Pungutnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Duda
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 30

Carol mencoba menyapa papanya di pagi hari, tetapi sepertinya papanya sedang tidak fokus padanya.

Tanpa sadar, Carol menepuk bahu papanya. Papanya langsung kaget seolah bingung siapa yang menepuk dirinya.

“Sayang, kamu gangguin papa aja. Kenapa sih tiba-tiba menepuk begitu? Harusnya kamu panggil lah.”

“Aku udah panggil, tapi papa nggak dengar. Makanya aku tepuk aja deh.”

“Masa sih papa nggak sadar? Maaf ya, harusnya papa sadar kalau kamu nyapa papa.”

Carol langsung duduk di bangku yang berada di dekat papanya tanpa berpikir panjang.

“Papa kenapa? Kok pagi-pagi udah bengong aja. Lagi ada yang dipikirin, pah?”

“Biasalah, namanya juga kerjaan. Pasti dipikirin terus. Makanya jadi orang dewasa itu nggak enak, tapi mau gimana lagi. Kalau nggak kerja, ya nggak punya uang.”

Carol berpikir, apakah kehidupan orang dewasa akan selalu seperti itu—monoton dan tidak pernah berubah. Dirinya jadi takut untuk tumbuh dewasa.

“Tapi kan kamu masih kecil, jadi nggak usah berpikiran dewasa dulu. Nanti kalau udah mau kuliah, baru pikirin hal-hal yang dewasa.”

“Aku males tau, pah, dewasa. Boleh nggak sih aku jadi anak kecil papa terus? Aku nggak suka banget yang namanya dewasa.”

“Maunya papa sih kayak gitu juga, tapi kan nggak bisa. Kamu nanti pasti akan dewasa dan bertemu dengan pria yang kamu suka.”

“Sejauh ini belum ada sih pria yang aku suka. Malah semua pria itu cuma ganggu aku doang. Aku nggak suka lihatnya.”

Anton yang mendengar itu hanya tersenyum. Ia tidak menyangka bila anaknya berkata seperti itu.

“Emangnya kamu nggak pernah kepikiran kalau suatu saat nanti bakal punya pacar?”

“Enggak. Emangnya harus ya punya pacar? Aku nggak suka punya pacar. Lagian, punya pacar itu cuma ganggu kehidupan pribadi aku.”

“Kamu jangan bicara kayak gitu dong. Belum tentu semua hal selalu begitu. Belum tentu juga apa yang kamu pikirkan akan sejauh itu.”

Carol merasa apa yang papanya katakan memang benar, tapi untuk saat ini dirinya tidak mau memikirkan soal percintaan dulu.

“Emangnya papa mau aku punya pacar?”

“Papa nggak maksa kamu punya pacar. Cuma maksud papa, kalau ada pria yang baik, kenapa tidak?”

Carol hanya diam dan tidak berbicara apa-apa, seolah merasa papanya tidak menginginkan dirinya lagi.

“Papa udah capek ya ngurus aku, makanya papa bicara kayak gitu. Padahal aku nggak pernah ngomong begitu loh ke papa.”

“Bukan maksud papa jahat, sayang. Maksud papa baik, tapi kalau kamu berpikir seperti itu, papa jadi bingung mau jawab apa.”

“Lagian papa ngomongnya aneh-aneh aja sih. Masih pagi loh, kenapa bicaranya kayak gitu? Udah ah, aku pergi ke sekolah aja. Papa nggak usah anterin aku. Aku besok pergi sendiri. Aku kecewa sama papa.”

Anaknya pun pergi tanpa menunggu papanya. Anton merasa bersalah—mungkin pembicaraan tadi terlalu berat sampai membuat anaknya marah.

Anton sebenarnya sudah mencoba berbicara dengan lembut dan baik, tapi Carol malah menganggapnya beban. Ia harus mencari cara untuk memperbaiki hubungan mereka agar tidak terjadi permusuhan, karena Anton tidak mau bermasalah dengan anaknya sendiri.

Ia berharap anaknya bisa memahami bahwa apa yang ia lakukan adalah demi kebaikan Carol, bukan untuk mengekangnya.

Sekarang Carol sudah beranjak dewasa dan seharusnya tahu mana langkah yang benar dan mana yang tidak.

Carol merasa kesal kepada papanya. Ia tidak menyangka papanya bisa berkata seperti itu. Padahal ia tidak pernah berharap mendengar kalimat seperti itu dari sang ayah.

Sopirnya yang melihat Carol hanya menatapnya, lalu mencoba berbicara.

“Kenapa, non? Kok marah aja. Lagi ada masalah sama bapak?”

“Nggak ada, cuma lagi bete aja, Pak. Makasih ya udah nanya. Saya lagi bingung mau makan apa, tapi laper banget.”

“Tumben banget, non, nggak sarapan.”

Carol hanya menanggapi singkat dan tidak banyak bicara. Ia memang sedang malas berbicara kalau sedang marah atau kesal.

Akhirnya, ia memutuskan membeli makanan apa saja yang lewat di depannya tanpa berpikir panjang. Tapi setelah ditunggu lama, tidak ada satu pun makanan lewat, hingga akhirnya ia merasa sangat lapar.

Sesampainya di sekolah, Carol buru-buru menuju kantin dan tanpa sengaja menabrak Mario.

“Lu lagi, lu lagi! Dunia ini sempit banget apa, sih? Selalu aja ketemu sama lu. Lu nggak bisa gitu ya, sehari aja nggak kelihatan di depan muka gue. Gue sumpah, sumpek banget tahu lihat muka lu.”

“Pujaan hatiku, kenapa baru kelihatan sekarang? Padahal aku udah rindu dari seminggu yang lalu.”

“Alay! Seminggu yang lalu juga kita ketemu kali! Udah gue bilang jangan ketemu gue lagi, gue udah nggak mau ketemu sama lu, paham nggak sih!”

“Tahu nggak, seminggu itu rasanya kayak berpuluh-puluh tahun kalau nggak ketemu kamu. Makanya aku salah ini, maafin aku kalau aku alay.”

Carol hanya menggeleng dan tidak bisa menghentikan kelakuan pria itu. Ia benar-benar jenuh.

“Udah, lu sono kumpulin tugas Bu Fitri. Daripada nanti dimarahin lagi. Lu kayaknya seneng banget deh dimarahin sama guru.”

“Kok kamu perhatian sih sama aku? Kan aku jadi pengen sering dihukum biar kamu perhatian gini. Jadi sayang deh sama kamu.”

“Suka nggak tahu diri emang. Dihukum malah seneng. Gue bukan perhatian, gue kasihan sama lu. Gimana sih.”

“Nggak apa-apa, aku seneng diperhatiin sama kamu. Mau kamu bilang kasihan kek, apa kek, aku tetap seneng. Makasih ya, sayang.”

Carol hanya mendecak dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia sudah capek menghadapi pria itu.

“Gue males banget kalau lu ada di depan mata gue.”

“Makasih, sayang. Jahat banget sih kamu sama aku. Padahal aku tuh sayang loh sama kamu. Kenapa sih kamu nggak bisa sayang sama aku juga?”

“Tuh lihat aja perlakuan lu ke gue. Apa iya bisa bikin gue sayang sama lu? Mikir sayang aja nggak pernah, apalagi sampai sejauh itu. Gila aja.”

“Sayang, pernah denger pepatah nggak? Semakin kamu menjauh, semakin terasa dekat sama orang yang kamu nggak suka.”

Carol mencoba tetap tenang dan tidak mau terpancing omongan Mario yang aneh.

“Terserah lu mau ngomong apa. Gue nggak bisa ngelarang juga. Jadi ya udah, terserah lu. Gue pergi duluan. Bye-bye.”

Mario hanya tertawa kecil. Entah kenapa, ia selalu senang menggoda Carol, meski gadis itu jelas-jelas tidak suka.

Setelah selesai makan, Carol langsung masuk ke kelas. Namun, tanpa sengaja ia berpapasan lagi dengan Bu Fitri.

Hari itu benar-benar terasa sial—sudah ketemu Mario, sekarang harus berhadapan dengan Bu Fitri.

Carol menunduk dan memberi salam, tapi Bu Fitri langsung menahan tangannya.

“Carol, Ibu mau bicara sama kamu, boleh?”

Carol langsung merasa takut. Ia yakin pembicaraan ini pasti tentang papanya.

Setelah sampai di ruang guru, suasana terasa canggung. Carol hanya diam, menunggu Bu Fitri bicara.

“Ada apa, Bu? Ibu mau suruh saya ke ruangan?”

“Ibu mau bicara soal guru-guru yang dulu pernah merundung kamu. Apakah mereka masih melakukan itu sampai sekarang?”

“Sejauh ini sih sudah nggak, Bu. Terima kasih ya, Bu. Berkat Ibu, saya jadi merasa terlindungi di sekolah ini. Awalnya saya merasa benar-benar nggak tahu harus gimana, apalagi dulu saya sempat dimusuhi banyak guru.”

1
partini
papa mu bukan papa kandungmu
lah
partini
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!