Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Awal baru
“Iya, ini Nathan adek paling ganteng se-dunia, kenapa? Terpesona ya?” Anak itu menyeringai lebar, berujar penuh bangga dengan suara khas remaja 15 tahun.
Nainara mengerjap matanya berulang kali, jantungnya berdegup tak karuan. “N-Nathan?” gumamnya nyaris tak terdengar. Dia bahkan mencubit pipinya sendiri dengan keras.
“Aihhhhhh! Sakit!” serunya, terkejut tapi juga terharu. Air matanya tiba-tiba menggenang. Astaga... ini bukan mimpikan?
“Ka-kamu bisa melihat kakak? Ta-tapi kenapa wajah kamu masih seperti bocah? Dan lagi kamu–kamu bukannya di luar negeri, ka—“
“Apaan sih kakak aneh banget tau gak! Ngelantur ngomongnya, pake di tanya bisa lihat lagi, di kira Nathan buta apa?” Nathan mendengus, lalu tergelak kecil. “Dan apa tadi katanya Nathan kayak bocah? Ya.. yang benar aja sih kak, anak SMA tampan dan sepopuler juga cool gini di bilang bocah, dasar!!. Sejak kapan Nathan ke luar negeri? nanti lah saat kuliah baru ke sana,” ujar Nathan penuh semangat.
“Eh tapi kakak kenapa sebenarnya? Kenapa wajahnya kayak plonga plongo tak jelas? Ada yang salah kah? Oh atau kesadaran kakak masih belum sepenuhnya? Aku saranin ya kak, sekarang kakak pergi mandi sana! Nanti telat kan nggak lucu!” perintah Nathan sembari menarik tangan Nainara untuk segera bangun dari ranjangnya.
Plakkk!!
“Sakittttt kak... Gila bangun-bangun main pukul, KDRT itu namanya ya, aku lapor Mami sama Papi, mati nanti!” teriak Nathan lagi dan lagi menggema di telinganya. Teriakan manja yang selalu dia dengar saat masih remaja.
“I.. Ini aku benaran kan Nathan? Oh god.. Mana ponsel kakak?” gegas tangannya bergerak cepat mencari ponselnya. Ponsel jadul yang cukup trend di jamannya.
“14 februari 2014, ini serius tahun 2014 apa ya? Atau kakak aja yang belum atur tanggal, tapi ini ponselnya, iya ini ponsel aku dulu,” Naina tersenyum lebar, memeluk ponselnya erat.
“Apaan sih 'dulu-dulu'. Itu ponsel baru kakak yang di beli satu minggu lalu, lupa?”
“Haisssss,” Naina sontak bangkit, melempar selimutnya ke sembarang arah, lalu berlari ke depan meja rias.
Kedua matanya terbelalak, “I... Ini wajahku saat masih SMA? A.. Aku tidak jadi mati, aku... Aku tidak jadi mati? Akhhhhhhhhhh aku tidak jadi mati... Tapi kok aku muda lagi?”
Nathan langsung menengadah, mengangkat kedua tangannya dramatis ke atas. “Ya Tuhan, tolong bantu kakakku ini. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya pagi ini, sampai kelakuannya jadi kayak orang linglung begini.” Ia lalu mendesah sebal, tapi bibirnya tersungging geli. “Tapi Tuhan, tolong cepat sadarkan dia, karena sebentar lagi telat sekolah. Kalau mau gila, nanti aja setelah pulang.”
Dengan cekatan, Nathan meraih handuk dan menjatuhkannya ke pundak Naina. “Ayo mandi!” serunya, sebelum tanpa basa-basi menyeret kakaknya ke kamar mandi.
Brakkkk!
Pintu menutup keras.
“Mandi, Kak. Sepuluh menit nggak turun, aku tinggal duluan! Byeee!” teriak Nathan dari luar, meninggalkan Naina yang masih sibuk menjerit-jerit di balik pintu kamar mandi, tidak percaya dengan kenyataan barunya.
.
.
Dengan riang, gadis itu bersenandung menyambut pagi barunya yang terasa berbeda. Iya, kembali muda lagi. Nainara masih belum percaya sepenuhnya dengan hal ini. Gadis itu sudah rapi dengan seragam sekolah melekat di tubuhnya.
Matanya bergerak liar, hingga berhenti menatap sebuah pigura yang terpajang di dinding kamarnya.
“Setan…” desisnya pelan, kemudian melangkah pelan mendekat. Jemarinya bergetar saat menyentuh pigura itu, lalu tanpa pikir panjang—
brakkkk!
benda itu menghantam lantai, kaca pecah berhamburan.
Naina menunduk. Di antara serpihan kaca itu, ia melihat bayangan wajahnya sendiri yang muda, matanya merah menahan amarah. Senyum getir tersungging di bibirnya.
“Kamu iblisnya…” suaranya pecah, penuh kebencian. Ia meraih foto itu, merobeknya kasar hingga serpihan kertas berjatuhan. Satu sobek, dua sobek, sampai wajah pria itu lenyap, hancur di tangannya. Tidak hanya satu, semua foto yang tertempel di dinding kamar ikut dicabut, diremukkan, dirobek hingga berserakan.
Pria itu… pria yang dulu ia cintai buta, pria yang mengikat seluruh hidupnya dalam racun manis bernama cinta, namun kali ini berbeda.
Naina menarik napas panjang, tangannya terkepal kuat. “Jika benar ini kesempatan kedua… aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku lagi.”
setiap kalimat yang terlontar terdengar lirih, tapi matanya berkilat tajam, seolah sedang mengucap sumpah pada dirinya sendiri.
...----------------...
Naina kembali meraih ponselnya. Kali ini, hatinya benar-benar ingin mendengar suara kedua orang tuanya yang sedang berada jauh di Paris. Jemarinya bergetar menekan tombol panggil. Satu kali, dua kali, hingga di dering ketiga baru sambungan itu terangkat.
“Halo, sweetie…” suara serak penuh kasih sayang menyapa dari seberang. Seketika, air mata Nainara luruh. Ingatan tentang tabrakan yang pernah menghantam kedua orang tuanya kembali berputar di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.
“Halo, Nara? Masih di sana?” suara lembut Maminya menyusul. “Ada apa sayang menelpon Papi dan Mami jam segini? Di sini sudah jam dua belas malam, loh.”
Tangis Nainara pecah. Isak tertahan membuat suaranya tercekat. Tangannya yang gemetar nyaris menjatuhkan ponsel dari genggamannya.
“Nara… hei, are you okay, sweetie? Kamu menangis, hmm?” suara Papi semakin khawatir. “Ada apa? Boleh cerita sama Papi, ya?”
“Pi… Mi…” suara Nainara tertahan di tenggorokan. Bahunya bergetar hebat hingga akhirnya tubuhnya terjatuh lemas di atas ranjang.
“Iya, sayang. Ada apa? Nainara mimpi buruk semalam?” suara lembut itu terdengar penuh kekhawatiran.
Nainara menggeleng pelan meski orang tuanya di seberang sana tak bisa melihat. Ia mengusap air matanya dengan gemetar, lalu memaksakan senyum getir. Rasa campur aduk menyeruak di kepalanya, Bahagia karena masih bisa mendengar suara Papi dan Maminya, tapi juga ketakutan yang menusuk dari kejadian semalam… kejadian di masa depan yang membuatnya tak sanggup berhenti gemetar.
"Papi sama Mami di sana baik-baik saja kan? Papi dan Mami sehat kan? Nara kangen Papi, kangen Mami juga.." kalimat yang begitu pilu.
"Sayang, kami baik-baik saja, hmmm. Minggu depan Papi sama Mami pulang, kamu senang?" suara Papi menenangkan, lembut penuh sarat rindu. Nainara mengangguk semangat sembari mengusap matanya yang sudah sembab.
"Iya, pulang ya Pi, Nara tungguin. Kangen banget,"
"Iya sayang, Papi sama Mami juga sangat kangen. Tunggu ya, seminggu lagi.."
“Iya…” suara Nainara lirih, masih serak oleh tangis.
“Oke. Tapi ini… Nara tidak ke sekolah, kah?” tanya Mami tiba-tiba, nadanya setengah menggoda.
“Ya Tuhan!” Nainara langsung menepuk jidatnya cukup keras. Matanya melirik ke layar ponsel, jam sudah menunjuk lewat pukul tujuh.
Suara bising motor bercampur dengan teriakan Nathan yang menggema dari halaman rumah, “Kak Nainaaaaaaa! Telat ini! Lama banget sih, dibilang sepuluh menit tadi kok malah tiga puluh menit!”
“Aduh, benar juga. Pi, Mi, Nara berangkat ke sekolah dulu ya. Duh, terlambat ini! Nara tutup teleponnya ya… sayang Papi juga Mami, dadahhh!” katanya terburu-buru, jari-jarinya gemetar menekan tombol end call.
Tanpa sempat merapikan rambutnya yang masih agak berantakan, gadis itu berlari menuruni tangga. Perutnya kosong karena belum sarapan, tapi dia tak peduli. Sesampainya di halaman rumah, matanya langsung mencari-cari mobil keluarga.
“Pak… Pak Agi, Nara berangkat nih!” teriaknya sambil mengangkat tas.
“Di sini, Kak! Naik motor aja, kita telat kalau pakai mobil!” balas Nathan sembari menepuk-nepuk jok motornya dengan wajah sengit.
Nainara membelalak. “Yang benar saja, Nathan! Masa pakai motor?!”
“Dih, kalau nggak mau ya udah, aku tinggal!” sahut Nathan, pura-pura menyalakan mesin.
Nainara mendengus, kakinya sudah melangkah maju. “Iya, iya, tunggu! Dasar adik tengil!”
Dengan setengah hati, Nainara akhirnya duduk di jok belakang motor. Dia menatap Nathan dengan tatapan tajam.
“Pelan-pelan ya, jangan ngebut! Kakak nggak mau mati lagi gara-gara motor kamu.”
Nathan menoleh sekilas, alisnya bertaut, “Apa lagi sih, Kak? Baru juga naik udah ngomong mati-mati. Santai aja bro, aku jago kok!”
“Jago apanya, dasar bocah!” dengus Nainara, memeluk erat tasnya.
Mesin motor menyala, Nathan menarik gas dengan semangat, membuat tubuh Nainara terhentak ke belakang. “Nathaaaan! Aku bilang pelan! Kalau jatuh gimana?!”
"Hahahahha, dasar penakut,"
Sepanjang jalan, Nainara berkali-kali berteriak kecil tiap motor melewati polisi tidur atau belokan tajam. Orang-orang yang mereka lewati sampai menoleh heran.
“Kyaaaaa, Nathaaaan! Hati-hati!!”
“Ya ampun Kak, malu banget tau nggak?! Orang-orang pada liatin kita! Kayak aku lagi boncengin nenek-nenek aja rasanya!”
“Kurang ajar kamu yaaa!” Nainara langsung menepuk helm adiknya, sementara Nathan hanya tergelak puas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...