Long Zhu, Kaisar Dewa Semesta, adalah entitas absolut yang duduk di puncak segala eksistensi. Setelah miliaran tahun mengawasi kosmos yang tunduk padanya, ia terjangkit kebosanan abadi. Jenuh dengan kesempurnaan dan keheningan takhtanya, ia mengambil keputusan impulsif: turun ke Alam Fana untuk mencari "hiburan".
Dengan menyamar sebagai pengelana tua pemalas bernama Zhu Lao, Long Zhu menikmati sensasi duniawi—rasa pedas, kehangatan teh murah, dan kegigihan manusia yang rapuh. Perjalanannya mempertemukannya dengan lima individu unik: Li Xian yang berhati teguh, Mu Qing yang mendambakan kebebasan, Tao Lin si jenius pedang pemabuk, Shen Hu si raksasa berhati lembut, dan Yue Lian yang menyimpan darah naga misterius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Batu Kura-kura dan Paku Semesta
Zhu Lao meletakkan sumpitnya. Mangkuk di depannya bersih bukan hanya dari ayam, tapi dari setiap tetes terakhir minyak cabai yang membara.
Dia bersendawa pelan. Sebuah sendawa yang, jika dilepaskan di Alam Dewa, akan menciptakan aurora baru. Di sini, itu hanya membuat pelayan yang lewat mengangkat alis.
Wajah tuanya masih sedikit memerah, dan keringat membasahi dahinya. Dia merasakan sensasi hidup. Rasa sakit yang diikuti oleh kelegaan. Itu adalah urutan yang rumit dan sama sekali tidak efisien. Itu sempurna.
"Luar biasa," gumamnya. "Sepuluh dari sepuluh. Akan makan di sini lagi."
Dia merogoh jubahnya. Sebelum turun, dia telah menciptakan "kantong koin biasa" yang berisi "mata uang fana biasa." Dia meletakkan beberapa koin tembaga di atas meja jumlah yang sedikit lebih banyak dari yang seharusnya, tapi tidak cukup untuk menimbulkan kecurigaan.
"Kakek, kau menghabiskannya!" seru pelayan itu, matanya terbelalak tak percaya saat mengambil mangkuk itu. "Banyak kultivator Ranah Perunggu mencoba pamer dengan memakan itu dan berakhir pingsan!"
"Mungkin perutku sudah tua dan mati rasa," kata Zhu Lao sambil terkekeh. Dia berdiri, meregangkan punggungnya yang (sekarang tampak) kaku.
Dia berjalan keluar dari kedai, kembali ke udara yang basah dan berlumpur.
Di seberang jalan, anak laki-laki itu, Li Xian, masih di sana. Kuda-kudanya goyah hebat. Dia terengah-engah, dan jelas dia sudah mencapai batas kemampuannya. Lumpur menutupi dia dari pinggang ke bawah.
Para pemabuk yang tadi menggodanya kini tertawa terbahak-bahak. "Sudah menyerah, Li Xian?" "Kau terlihat seperti ubi jalar yang baru dicabut!"
Zhu Lao berjalan perlahan melintasi jalan, langkahnya mantap di atas lumpur yang licin. Dia berhenti beberapa langkah dari anak itu, aroma pedas dari napasnya berbaur dengan bau hujan.
Para pemabuk terdiam, penasaran dengan apa yang akan dilakukan kakek aneh ini.
"Nak," kata Zhu Lao dengan suara tenang.
Li Xian tersentak, konsentrasinya buyar. Kakinya yang gemetaran akhirnya menyerah, dan dia jatuh terduduk di lumpur dengan bunyi ceplok yang menyedihkan.
Dia memelototi Zhu Lao, wajahnya memerah karena malu dan marah. "Apa?" geramnya.
"Latihanmu salah," kata Zhu Lao sederhana.
"Apa yang kau tahu, Pak Tua?" balas Li Xian, mencoba bangkit berdiri, tapi kakinya terlalu lelah.
"Aku tahu kau sedang mencoba merasakan Qi Langit dan Bumi," kata Zhu Lao. "Tapi kau hanya berdiri di lumpur, membuat kakimu pegal. Kau membuang-buang waktu."
Mata Li Xian melebar. "Bagaimana kau tahu...?" Tetua desa telah memberitahunya bahwa itu adalah langkah pertama.
"Kuda-kuda itu untuk menstabilkan tubuh," kata Zhu Lao, "tapi tubuhmu lemah. Niatmu kuat, tapi fondasimu hanyalah pasir."
Para pemabuk terkekeh. "Dengar itu, Nak? Kakek ini bilang kau lemah!"
Li Xian mengepalkan tinjunya yang berlumpur. "Aku tidak lemah! Aku akan menjadi kuat!"
"Begitukah?" Zhu Lao melihat sekeliling alun-alun desa. Tatapannya tertuju pada sebuah batu besar berwarna abu-abu lumut di dekat sumur tua. Batu itu datar di atasnya, sering digunakan oleh para wanita desa untuk meletakkan keranjang cucian mereka. Batu itu sebesar sapi dewasa, dan dikenal oleh semua orang sebagai "Batu Kura-kura" karena bentuknya.
"Kau ingin jadi kuat?" tanya Zhu Lao, suaranya terdengar geli. "Baiklah. Lupakan kuda-kuda bodohmu itu."
Dia menunjuk ke batu itu. "Pergi angkat batu kecil itu."
Keheningan menyelimuti alun-alun kecil itu.
Lalu, para pemabuk meledak dalam tawa yang paling keras. "Batu kecil?!" "Kakek, kau gila! Itu Batu Kura-kura!" "Bahkan Shen Hu, si beruang besar itu, tidak bisa menggesernya seinci pun! Mereka mencobanya saat festival musim semi!"
Li Xian menatap Zhu Lao, lalu ke batu itu. Penghinaan membara di pipinya. "Kau... kau sama saja dengan mereka! Kau mengejekku!"
"Aku?" Zhu Lao mengangkat alis. "Aku hanya seorang kakek tua yang memberikan saran. Kau bilang kau ingin kuat. Aku menunjuk ke sebuah batu. Apa yang kau lakukan selanjutnya adalah urusanmu."
Zhu Lao berbalik, tampak bosan dengan percakapan itu. "Jika kau bisa mengangkatnya satu inci saja dari tanah, latihanmu yang sebenarnya bisa dimulai. Jika tidak," dia melambaikan tangan, "pulanglah dan belajar cara menanam ubi. Itu pekerjaan yang lebih jujur."
Kaisar Dewa Semesta berjalan santai ke bawah pohon willow besar di tepi alun-alun, duduk bersandar di batangnya, dan memejamkan mata, tampak seolah-olah dia akan tidur siang.
Li Xian ditinggalkan sendirian di tengah lapangan, menjadi pusat perhatian. Tawa telah mereda, digantikan oleh tatapan kasihan dan ejekan.
Dia mengepalkan tinjunya. Orang tua gila.
Dia memandang Batu Kura-kura. Itu hanyalah batu. Berat, ya, tapi hanya batu. Shen Hu mungkin kuat, tapi dia tidak punya Qi. Li Xian, setidaknya, bisa merasakan sesuatu di dantian-nya.
Didorong oleh amarah dan sisa-sisa harga diri, Li Xian bangkit. Dia berjalan terseok-seok ke Batu Kura-kura, mengabaikan tatapan semua orang.
Dia menyeka tangannya yang berdarah dan berlumpur di celananya yang compang-camping. Dia berjongkok. Posisinya salah, tapi dia tidak peduli. Dia menyelipkan jari-jarinya yang kurus di bawah tepi batu yang basah dan berlumut.
"H... NNRRGGGHH!"
Dia menarik dengan sekuat tenaga. Wajahnya berubah menjadi ungu. Urat-urat menonjol di lehernya yang kurus.
Batu itu tidak bergeming.
Rasanya... aneh. Itu bukan hanya berat. Rasanya seolah-olah dia sedang mencoba mengangkat gunung itu sendiri. Seolah-olah batu itu terhubung dengan inti planet.
"Hah... hah..." Dia melepaskannya, terengah-engah.
Tawa kecil terdengar lagi dari kedai.
Li Xian menatap tangannya yang lecet. Dia menatap lelaki tua yang tidur di bawah pohon.
"Satu inci..." gumamnya.
Dia menarik napas dalam-dalam. Dia mengabaikan para pemabuk. Dia mengabaikan rasa sakit. Dia mengabaikan rasa laparnya.
Dia memposisikan ulang cengkeramannya.
"HAAAAAA!"
Dia menarik lagi. Otot-ototnya menjerit. Tulangnya terasa seperti akan patah.
Batu Kura-kura tetap diam, tak tergoyahkan, seolah menertawakan usahanya yang menyedihkan.
Di bawah pohon willow, Zhu Lao membuka satu matanya sedikit. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.
Tentu saja tidak bergerak, Nak, pikirnya dalam hati. Batu itu adalah paku. Aku melemparkannya ke sini sembilan juta tahun yang lalu untuk menyegel retakan ruang kecil yang mengganggu Alam Fana. Aku benar-benar lupa aku meninggalkannya di sini.
Dia mengamati Li Xian, yang alih-alih menyerah, kini duduk di depan batu itu, mengatur napasnya, matanya menatap batu itu dengan kebencian murni. Anak itu tidak pergi.
Zhu Lao menutup matanya lagi, benar-benar nyaman.
Bagus. Mari kita lihat berapa lama tekadmu bertahan melawan paku semesta.
😍💪
💪