Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 — Bayangan dan Kesadaran
Shen Wuyan duduk bersila di puncak tebing, kabut tipis menyelimuti bebatuan, sementara angin malam membawa aroma lembab tanah dan daun basah. Malam itu begitu hening, bahkan suara gemerisik daun terdengar seperti desisan jauh dari dunia lain. Di matanya, cahaya bulan membias di permukaan kabut, membentuk pola-pola yang bergerak seperti bayangan hidup. Ia menutup mata, menarik napas panjang, mencoba memusatkan jiwa, menstabilkan energi yang mengalir di dalam dirinya.
Sejak insiden Laut Tanpa Dasar, fragmentasi jiwanya semakin terasa. Hun dan Po yang seharusnya seimbang kini saling tarik-menarik, menimbulkan ketegangan yang hampir membuatnya gemetar. Wuyan merasakan detak jantungnya seakan berirama dengan energi yang terserap dari wajah pertama — Liang Yu yang kini sebagian berada di dalam dirinya. Ada perasaan asing yang mengalir di nadinya, campuran kesedihan, rasa bersalah, dan kehangatan aneh yang tidak bisa ia jelaskan.
Bayangan itu muncul di sudut kesadarannya, samar, namun jelas. Wajahnya tak sepenuhnya milik Liang Yu, bukan sepenuhnya milik Wuyan; ia setengah nyata, setengah ilusi. Wuyan menahan napas, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia menanyakan dalam hati, seakan pada diri sendiri: Apakah kau benar-benar ada, atau ini hanyalah pecahan dari jiwaku?
Sebuah tawa halus terdengar, bukan dari mulut siapapun, tetapi dari dalam pikiran Wuyan. Bayangan itu bergerak mendekat, siluetnya memanjang mengikuti bayangan bulan. “Kau mulai sadar sekarang,” bisiknya, suara itu lembut namun berlapis ancaman. “Kau mulai melihat retakan dalam dirimu.”
Wuyan menelan ludah, matanya terbuka perlahan. Energi Po di tubuhnya bergemuruh, nalurinya menjerit, namun Hun menahan, mencoba menjaga logikanya tetap utuh. Ia tahu, jika ia kehilangan kontrol, fragmentasi itu akan menelan lebih banyak dari dirinya. Namun rasa ingin tahu mengalahkan ketakutannya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin menusuk paru-paru, lalu menutup mata lagi.
“Ajari aku,” gumam Wuyan, suaranya serak, setengah untuk dirinya sendiri, setengah untuk bayangan. “Ajari aku cara memisahkan Hun dan Po tanpa... kehilangan diriku sendiri.”
Bayangan tersenyum, tipis, namun mata itu begitu tajam sehingga Wuyan merasa tubuhnya ditelusuri sampai ke inti. “Tidak ada jalan yang benar atau aman,” katanya. “Setiap pecahan yang kau lepaskan akan mengubahmu, setiap jiwa yang kau serap akan meninggalkan bekas. Tetapi jika kau ingin bertahan, kau harus berani melihat kegelapanmu sendiri.”
Wuyan menahan napas, merasakan energi di dalamnya berputar, seperti arus sungai yang membelah bebatuan. Ia mencoba memusatkan kesadarannya, menyalurkan Hun ke permukaan, menahan Po agar tetap dalam kendali. Perlahan, ia merasakan bayangan di dalam dirinya merespons, bergerak seiring aliran energi. Ia memanggilnya dengan pikiran, mencoba berkomunikasi tanpa kata.
“Siapa kau sebenarnya?” pikir Wuyan. “Apakah kau aku, atau sesuatu yang lain?”
Bayangan mencondongkan kepala, senyumnya samar namun mengandung sesuatu yang menakutkan. “Aku adalah bagian dari apa yang kau takut lihat. Aku adalah sisa dari kehilangan, dari kematian yang kau tak bisa hindari. Aku adalah wajah yang kau serap, namun aku juga bukan sepenuhnya dia. Aku adalah dirimu juga, jika kau mau mengakuinya.”
Wuyan menutup mata lebih rapat. Tubuhnya bergetar saat ia mencoba memisahkan energi Hun dan Po. Rasanya seperti menarik dua arus kuat yang ingin saling menelan. Po mencoba menyeretnya ke kedalaman kegelapan, sementara Hun berusaha menahan dan memusatkan pikiran. Ia merasa wajah pertama — Liang Yu — bergerak di dalam dirinya, menatap, tersenyum, namun matanya penuh tuntutan dan kesedihan.
Satu percikan energi melintas di benaknya, dan ia merasakan arus asing masuk, emosi yang bukan miliknya. Marah, takut, putus asa — campuran yang asing namun familiar. Ia menundukkan kepala, berusaha menenangkan diri. Perlahan, ia mulai memisahkan Hun dan Po secara sadar, mengalirkan energi Po ke dalam bayangan internal yang ia ciptakan, menahan Hun agar tetap berpusat di tubuhnya.
Bayangan itu mengangguk, seakan puas. “Bagus. Kau belajar mengendalikannya sedikit demi sedikit. Tapi ingat, setiap jiwa yang kau sentuh akan meninggalkan bayangan. Kau tidak akan pernah kembali seperti sebelumnya.”
Wuyan menghela napas panjang. Tangan dan kakinya lelah, otot-ototnya menegang, namun ada rasa lega yang aneh. Ia menatap bayangan itu dalam kesadaran penuh. “Apa yang harus kulakukan dengan semua wajah yang mulai hidup di dalamku?”
Bayangan tersenyum tipis, namun matanya berkilat. “Kau akan belajar. Setiap wajah adalah cermin, setiap cermin adalah pelajaran. Dan pelajaran itu akan menyakitimu, atau menguatkanmu, tergantung bagaimana kau memilih untuk berdiri di depan mereka.”
Wuyan menelan ludah. Ia tahu ketegangan ini bukan sekadar latihan. Ia sudah merasakan potensi dan kutukan dari jiwa retaknya. Rasa bersalah yang ia bawa atas kematian Liang Yu, fragmentasi yang muncul setelah menyerapnya, semua terjalin menjadi satu. Bayangan itu, wajah pertama, dan dirinya sendiri menjadi satu sistem yang rumit, rapuh, dan menakutkan.
Seketika, sebuah bisikan lain terdengar, jauh lebih halus, nyaris seperti angin malam yang menembus kabut. “Kau tahu sekarang, kehilangan tidak pernah berakhir,” suara itu menembus kesadaran Wuyan hingga membuat tubuhnya menggigil. Ia merasakan ketegangan meningkat, bayangan di dalam jiwanya bergerak lebih dekat, mendesak untuk diuji.
Wuyan menutup mata, mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas perlahan, memusatkan Hun, menenangkan Po, berusaha mengembalikan keseimbangan. Namun ketakutan itu tidak hilang; ia tahu fragmentasi ini akan menjadi bagian dari hidupnya, teman sekaligus musuh yang selalu mengintai di dalam dirinya.
Di kejauhan, angin gunung membawa suara gemerisik daun, namun bagi Wuyan, suara itu bercampur dengan bisikan batin bayangan dan wajah pertama. Ia merasakan dunia menjadi lebih sunyi, namun penuh energi yang gelap dan menegangkan. Tubuhnya kaku, tetapi pikirannya mulai membuka diri untuk memahami. Ia sadar, ini adalah titik balik — bukan sekadar latihan, melainkan awal dari perjalanan di mana ia harus belajar menavigasi dirinya sendiri, menghadapi semua wajah yang akan muncul dari jiwa retaknya.
Bayangan itu memiringkan kepala, menatap Wuyan dalam hening. “Ingat, sekali kau memanggil mereka, sekali kau membiarkan mereka masuk, jalanmu tidak akan sama lagi. Kau akan menemukan kekuatan, tapi juga kutukan yang tidak bisa dihapus.”
Wuyan menelan ludah, merasakan getaran energi di dalamnya. Ia tahu bayangan itu benar. Ia mengangguk perlahan, suara batinnya hampir tak terdengar: “Aku mengerti.”
Dan malam itu, di atas tebing yang sunyi, Shen Wuyan mulai memanggil bayangan dengan kesadaran penuh. Ia menyadari bahwa kehilangan bukan hanya tentang kematian, tapi tentang bagaimana setiap fragmen jiwa yang ia serap akan menjadi bagian dari dirinya, menghadirkan kekuatan sekaligus rasa sakit yang tak pernah hilang. Bayangan itu tertawa sinis, lembut namun menakutkan, mengalir melalui pikirannya:
“Sekarang kau tahu… kehilangan tidak pernah berakhir.”
Hening malam itu semakin tebal. Wuyan tetap duduk bersila, tubuhnya diam, namun pikirannya seperti badai yang tak terlihat. Bayangan bergerak di dalam kesadarannya, samar, tetapi penuh intensitas. Setiap gerakan bayangan menimbulkan gelombang kecil di dalam energi Hun dan Po yang ia kendalikan. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang, di mana satu langkah salah bisa membuatnya terjerumus ke dalam kegelapan tak terkendali.
Ia menutup mata lebih rapat, menarik napas panjang. Perlahan, ia mulai merasakan setiap lapisan energi dalam dirinya, membedakan mana yang Hun, mana yang Po, dan mana yang merupakan pecahan jiwa Liang Yu yang kini hidup di dalamnya. Sensasinya asing, penuh tekanan namun juga menggairahkan — kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap detik yang ia habiskan di meditasi ini, bayangan di dalam dirinya bergerak lebih bebas, seolah menunggu untuk diuji.
“Wuyan,” suara itu memanggil dari dalam pikirannya, lembut namun berlapis ancaman. “Kau takut kehilangan dirimu sendiri, bukan? Tapi inilah yang harus kau lakukan jika ingin bertahan.”
Wuyan menghela napas, mencoba menenangkan kegelisahan di dada. “Aku… aku tidak takut,” jawabnya dalam hati, namun getaran kecil di tangannya mengkhianati kebohongan itu. Ia tahu ketakutannya nyata, tapi rasa ingin tahu lebih kuat daripada rasa takutnya.
Bayangan itu tersenyum, samar namun tajam, menembus kesadaran Wuyan. “Tidak, kau takut. Tetapi ketakutan itu akan membimbingmu. Jika kau bisa menghadapi bayanganmu sendiri, kau akan menemukan jalan untuk memisahkan Hun dan Po dengan aman. Dan lebih dari itu… kau akan belajar memanggil wajah-wajah lain tanpa kehilangan jiwamu.”
Wuyan menelan ludah, merasakan energi Po di tubuhnya berdesir liar. Ia mulai menggerakkan kesadarannya, mencoba memisahkan energi itu dengan hati-hati. Perlahan, ia merasakan lapisan demi lapisan energi dalam dirinya bergerak. Hun mengalir ke inti kesadaran, sementara Po menari di pinggiran, penuh naluri dan dorongan yang liar. Di antara keduanya, wajah pertama — Liang Yu — bergerak, menatap, tersenyum samar namun mengandung tuntutan.
“Apakah aku harus menyerahkannya?” pikir Wuyan, kebingungan. Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan aliran energi. Po berontak, ingin melarikan diri dan bercampur dengan energi Hun, tetapi Hun menahan. Ia memusatkan kesadaran, membiarkan bayangan menuntunnya, tetapi tetap mengendalikan arus.
Bayangan itu berbicara lagi, lebih keras kali ini: “Jangan takut pada mereka. Mereka bukan musuhmu. Mereka adalah bagian dari dirimu, dari semua kehilangan yang pernah kau alami. Setiap wajah yang masuk akan menambah kekuatanmu, tetapi kau harus bisa menahan ego dan kesadaranmu tetap utuh.”
Wuyan mengangguk perlahan. Perlahan, ia mulai merasakan ritme baru dalam tubuhnya — satu keseimbangan halus antara Hun dan Po, meskipun fragmen Liang Yu tetap berputar di tengah energi. Rasanya seperti memegang bola energi yang hidup, setiap putaran menimbulkan percikan, panas dan dingin bersamaan, rasa sakit dan kesenangan bercampur menjadi satu sensasi yang sulit dijelaskan.
Suara bayangan tiba-tiba berubah, menjadi lebih lembut, hampir seperti bisikan di telinga. “Sekarang kau mengerti, Wuyan. Ini bukan sekadar latihan. Ini adalah jalanmu. Setiap langkah yang kau ambil akan membentuk siapa dirimu kelak. Jangan takut untuk memanggil mereka, tetapi ingat… kau harus siap menerima semua wajah yang kau serap.”
Wuyan menelan ludah, tubuhnya gemetar. Ia tahu bayangan itu benar. Setiap fragmen yang ia tarik ke dalam dirinya adalah ujian, sekaligus hadiah dan kutukan. Ia menutup mata, menarik napas panjang, dan mulai memanggil satu fragmen lagi dengan kesadaran penuh. Kali ini wajah lain muncul, samar, namun jelas. Ia menatap Wuyan dengan tatapan kosong, namun di balik itu ada permintaan untuk diakui, untuk diterima.
Wuyan merasakan energi baru itu masuk ke tubuhnya. Hun dan Po berputar lebih cepat, membentuk pusaran kecil di tengah kesadarannya. Sensasinya menggetarkan seluruh tubuh, seolah menuntut keseimbangan sempurna. Ia merasakan bayangan tersenyum, puas, tetapi juga memperingatkan: “Jangan biarkan satu wajah pun menguasaimu. Ingat, ini tentang keseimbangan, bukan kepemilikan.”
Ia merasakan rasa sakit yang tajam di dadanya saat wajah pertama, Liang Yu, menuntut perhatian. Emosi asing itu menyerbu, kesedihan dan rasa bersalah bercampur dengan kekuatan baru yang masuk. Wuyan menahan napas, mencoba menenangkan diri, memusatkan Hun ke inti, sementara Po mengalir di sekitar, menahan kekacauan energi.
“Bagaimana aku bisa menahan semuanya?” pikirnya dalam hati, hampir putus asa. “Apakah aku akan hancur jika salah langkah?”
Bayangan itu tertawa tipis, namun menegaskan ketegangan: “Kau tidak akan hancur, Wuyan. Kau hanya akan berubah. Kau akan menemukan kekuatan baru, tetapi juga akan merasakan sakit yang tak pernah hilang. Itulah harga dari fragmentasi jiwa.”
Wuyan menutup mata lebih erat, merasakan semua wajah yang hidup di dalamnya. Ia bisa merasakan setiap emosi, setiap ingatan, setiap kesedihan yang pernah mereka alami. Sensasi itu membingungkan, namun perlahan ia mulai belajar menyesuaikan diri, menemukan ritme yang stabil, seolah menari di antara bayangan dan energi.
Ia menarik napas panjang, perlahan mengembalikan fokusnya. Hun tetap di inti kesadaran, Po menari di pinggiran, dan semua wajah yang ia serap kini menjadi bagian dari aliran energi yang terkontrol. Ia tersenyum tipis, meski tubuhnya lelah, namun ada kepuasan dalam rasa penguasaan baru ini.
Bayangan mengangguk, seakan memberi restu. “Bagus. Kau mulai memahami. Tapi ingat, perjalananmu baru dimulai. Setiap jiwa yang kau serap, setiap wajah yang kau panggil, akan menguji batasmu. Kau akan belajar, Wuyan… atau kau akan tersesat di dalam diri sendiri.”
Wuyan menatap kabut malam, merasakan suara angin dan gemerisik daun bercampur dengan bisikan batin. Ia tahu, ini bukan sekadar latihan. Ini adalah awal dari perjalanan panjang, di mana setiap langkahnya akan menentukan kekuatan dan kehancurannya. Bayangan itu tertawa lagi, sinis dan lembut sekaligus, melekat di dalam pikirannya:
“Sekarang kau tahu… kehilangan tidak pernah berakhir.”
Wuyan menutup mata, merasakan getaran energi di seluruh tubuh. Ia menyadari bahwa setiap fragmen yang ia panggil, setiap wajah yang ia serap, bukan hanya tentang kekuatan, tapi juga tentang penerimaan, pengendalian, dan pengorbanan. Fragmentasi jiwanya adalah pedang bermata dua — memberikan kekuatan, namun juga menuntut harga yang tak pernah hilang.
Di atas tebing yang sunyi, Shen Wuyan tetap duduk bersila, menatap malam dengan mata tertutup. Ia tidak lagi takut sepenuhnya, tetapi rasa penasaran dan kewaspadaan menyatu menjadi satu. Bayangan di dalam jiwanya bergerak, wajah pertama tersenyum samar, dan bisikan itu terus membayangi pikirannya:
“Kau tahu sekarang… kehilangan tidak pernah berakhir.”
Dan dengan itu, malam itu menjadi saksi dari peralihan Wuyan. Ia bukan lagi hanya murid sekte Langit Tenang. Ia adalah seseorang yang hidup di antara fragmentasi jiwa, menyerap wajah-wajah lain, belajar menavigasi Hun dan Po, dan bersiap menghadapi konsekuensi dari setiap kehilangan, setiap penyerapan, dan setiap keputusan yang akan membentuk nasibnya sendiri.