Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gerbang diBawah Sungai
Sudah tiga minggu sejak aku terakhir bertemu Permaisuri Mei di tepi sungai itu.
Sejak hari itu, ia tinggal bersama penduduk desa, menanam bunga plum di depan rumah kecilnya.
Ia terlihat lebih damai, seperti beban panjang yang akhirnya ia letakkan.
Tapi malam-malamku justru mulai dipenuhi mimpi aneh.
Dalam mimpi, aku selalu berdiri di tepi sungai yang sama.
Airnya jernih tapi memantulkan langit malam seperti cermin.
Dan di dasar sungai itu, ada cahaya biru berdenyut pelan—mirip dengan simbol waktu di kuil.
Setiap malam cahayanya semakin terang, semakin dekat.
Sampai akhirnya, aku bisa mendengar suara samar dari bawah air.
“Mika… waktu belum berhenti.”
Aku terbangun dengan napas tersengal dan jantung berdetak cepat.
Bahkan ketika aku membuka mata, suara itu masih terngiang.
Aku tahu siapa yang memanggil.
Dan aku tahu di mana aku harus mencari jawabannya.
Pagi itu, aku pergi ke sungai.
Kabut masih menggantung di atas air, memantulkan cahaya lembut dari matahari yang baru naik.
Airnya tenang, tapi di tengahnya, riak kecil muncul seperti napas makhluk yang tertidur.
Aku menatapnya lama.
“Jadi ini maksudmu, Riku?” gumamku pelan. “Gerbang baru…”
Seseorang mendekat dari belakang.
“Apa kau bicara sendiri lagi, Sensei?”
Aku menoleh dan tersenyum lemah. “Ah, Taro. Kau membuatku kaget.”
Taro, anak lelaki desa berumur tujuh belas tahun, sudah seperti adik bagiku.
Dia sering membantuku di klinik kecil.
Dia menatap air dengan kening berkerut. “Sungainya kelihatan aneh, ya? Airnya kayak menyala.”
Aku mengangguk. “Jangan mendekat, Taro. Ini bukan cahaya biasa.”
Dia menatapku dengan rasa ingin tahu. “Apa ini karena sihir waktu, Sensei?”
Aku terdiam sebentar, lalu menjawab pelan, “Mungkin… tapi lebih dari itu. Ini mungkin gerbang.”
“Gerbang?”
Aku menatap air yang kini beriak lembut. “Gerbang waktu. Tapi yang ini… tidak stabil.”
Malamnya, aku kembali ke sungai sendirian.
Langit tanpa bintang, hanya bulan setengah yang menggantung di kabut.
Aku berdiri di tepi air, membawa liontin Akira di tanganku.
Cahaya kecil dari liontin itu bergetar, seperti merespons sesuatu di dalam sungai.
“Kalau ini benar-benar gerbang baru…” bisikku, “apa waktu berusaha memanggilku lagi?”
Aku jongkok, menyentuh air dengan ujung jariku.
Dingin. Tapi di balik dingin itu, aku merasakan sesuatu—denyut lembut, seperti jantung.
Lalu tiba-tiba, cahaya biru menyala terang.
Aku mundur selangkah, menutupi wajahku dari silau.
Dari dalam air, muncul bayangan seorang pria.
Aku terpaku.
Wajah itu… mirip sekali dengan Akira.
Tapi ada yang berbeda—rambutnya sedikit lebih panjang, matanya memancarkan kesedihan mendalam.
Dia berdiri di balik lapisan air, seperti di dunia lain yang terbalik.
“Akira?” suaraku bergetar.
Bayangan itu menatapku, tapi tidak menjawab.
Dia hanya mengangkat tangan, menunjuk ke arah dasar sungai.
Dan di sana, aku melihat simbol spiral yang sama—tapi kali ini warnanya merah.
“Mika…”
Suara itu terdengar samar dari balik air.
“Jangan biarkan waktu terbuka lagi.”
Aku berlutut, ingin menjangkau, tapi ombak kecil menghempas.
Cahaya meredup, dan bayangan itu menghilang seperti kabut disapu angin.
Keesokan harinya, aku menceritakan semuanya pada Permaisuri Mei.
Dia mendengarkan dengan seksama sambil menatap api perapian di rumahnya.
“Gerbang di bawah sungai…” gumamnya. “Aku pernah mendengar legenda tentang itu.”
Aku menatapnya serius. “Legenda apa?”
“Setelah Kaisar Ryou membuka pintu waktu pertama, ada sebagian arus energi yang tidak tertutup sempurna. Para tetua menyebutnya Nadi Sungai Waktu. Tempat di mana masa lalu dan masa depan masih bersentuhan.”
Aku menarik napas dalam. “Jadi waktu belum selesai menutup dirinya?”
Dia mengangguk pelan. “Mungkin tidak akan pernah. Waktu bukan pintu, Mika. Ia adalah sungai yang mencari jalannya sendiri.”
Aku terdiam lama. “Kalau sungai ini terbuka lagi, apa yang akan terjadi?”
“Dunia akan mulai menelan dirinya sendiri,” jawabnya tenang. “Dan kali ini, tak ada penjaga yang cukup kuat untuk menahan arusnya.”
Aku menatap ke arah jendela, di mana hujan mulai turun perlahan.
“Aku harus menutupnya.”
Permaisuri menatapku tajam. “Kau akan pergi ke sana sendirian?”
Aku mengangguk. “Ya. Kalau waktu memanggilku, maka aku harus menjawabnya.”
Malam itu, aku berjalan menuju sungai dengan membawa liontin Akira dan buku catatanku.
Langit gelap total, hanya cahaya kilat sesekali yang menerangi langkahku.
Setiap kali petir menyambar, air di sungai tampak berkilau biru dan merah, bergantian seperti dua hati yang berdebar tidak seirama.
Aku berdiri di tepi air dan membuka liontin itu.
Cahaya biru kecil keluar, menari di udara seperti nyala lilin.
Aku menatapnya dalam-dalam. “Kalau kau bisa mendengarku, Akira… bantu aku sekali lagi.”
Angin berhembus kencang.
Air mulai berputar membentuk pusaran kecil.
Aku menutup mata, membiarkan cahaya dari liontin menyatu dengan simbol merah di air.
Seketika, dunia di sekelilingku bergetar.
Aku merasakan tanah di bawah kakiku hilang.
Tubuhku seperti ditarik ke bawah air—dingin, tapi tidak menyakitkan.
Dan tiba-tiba aku berada di tempat lain.
Di bawah sungai itu ada ruang luas seperti gua bercahaya.
Air melayang di udara, mengalir seperti tirai biru yang hidup.
Di tengah ruang itu berdiri sebuah gerbang melingkar, terbuat dari batu hitam dengan retakan bercahaya merah.
Aku berjalan mendekat, langkahku bergema pelan di antara suara arus air.
Di depan gerbang, seseorang berdiri membelakangiku.
Rambutnya hitam panjang, tubuhnya tegak.
Aku menahan napas. “Riku?”
Dia menoleh perlahan.
Wajahnya pucat, tapi matanya tenang.
“Waktu belum berhenti, Mika.”
Aku hampir menangis. “Kau… masih hidup?”
Dia tersenyum samar. “Aku tidak mati. Aku hanya menjadi bagian dari waktu itu sendiri.”
Aku melangkah maju. “Kenapa gerbang ini terbuka lagi?”
“Karena dunia baru butuh arah,” jawabnya. “Kau menutup waktu, tapi tidak menyeimbangkannya. Sekarang waktu mencarimu untuk menulis ulang takdir.”
Aku menggeleng. “Tidak. Dunia ini sudah damai.”
“Damai, tapi rapuh. Setiap kali cinta manusia berubah jadi penyesalan, waktu kembali bergetar.”
Aku menatapnya dalam. “Lalu apa yang harus kulakukan?”
Riku menatap gerbang merah itu. “Masuklah ke dalamnya. Temukan asal dari semua garis waktu — inti waktu itu sendiri. Setelah itu, pilih satu kenyataan untuk diselamatkan.”
Aku terdiam. “Dan kalau aku memilih salah?”
“Waktu akan berhenti. Semua akan hilang.”
Aku menatapnya, takut. “Kenapa selalu aku?”
Dia tersenyum tipis. “Karena waktu selalu memilih orang yang paling mencintai dunia yang hendak diselamatkannya.”
Aku menggenggam liontin Akira. Cahaya biru keluar, menyatu dengan merah di sekitar gerbang.
Gerbang itu mulai berdenyut cepat, seperti siap terbuka.
Riku menatapku untuk terakhir kali. “Kalau kau masuk, mungkin kau tak akan kembali. Tapi kalau kau bertahan, dunia ini akan hancur.”
Aku menatap cahaya yang menyilaukan itu.
Jantungku berdetak keras.
“Kalau cinta yang menulis waktu,” bisikku, “maka biarkan aku menulisnya sekali lagi.”
Aku melangkah maju.
Cahaya menyelimuti tubuhku.
Riku menutup mata, membisikkan sesuatu yang hampir tak terdengar.
“Semoga kali ini, waktu benar-benar berhenti untukmu.”
Dan begitu aku melewati gerbang itu, semua menjadi putih.
Tidak ada suara, tidak ada rasa sakit—hanya keheningan yang dalam, seolah waktu menahan napas menunggu keputusan terakhirku.