Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Pengkhianatan bertubi-tubi
.
“Hallo, assalamu’alaikum, Bu?”
Cahaya baru saja hendak memasukkan pakaian yang telah disetrika ke dalam lemari tuan muda kedua, ketika nada dering ponselnya terdengar. Gadis itu buru-buru membukanya dan ternyata itu panggilan dari ibunya yang ada di desa.
“Aya, kebun kita yang ada di belakang rumah disita oleh pihak bank.” Terdengar ibunya berbicara sambil menangis.
“Disita pihak bank?” Cahaya bertanya dengan nada keras karena terkejut. “Bagaimana bisa? Bukankah ibu tidak pernah memiliki hutang?”
“Maafkan Ibu, Nak. Ibu telah melakukan kesalahan besar.” Suara Bu Ningsih semakin terisak, setiap tarikan napasnya terdengar menyakitkan.
Cahaya mengambil nafas dalam. Tidak ingin menghakimi ibunya. Ia tak tahu apa yang dialami oleh wanita yang melahirkannya itu.
“Bicara pelan-pelan, Bu! Apa yang sebenarnya terjadi bagaimana kebun kita bisa dicetak oleh pihak bank. Bapak ibu mencari pinjaman di Bank tanpa sepengetahuan Aya?”
"Tidak, nak, tidak seperti itu. Waktu itu, Yuda datang ke rumah, Dia meminta sertifikat kebun kita dan ibu memberikannya.”
"Apa Bu, Yuda?" Dunia Aya seakan berhenti berputar. Ia mencengkeram gagang telepon erat-erat, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya.
"Yuda minta sertifikat kebun? Untuk apa, Bu? Apa alasannya Yuda meminta sertifikat kebun kita? Dan kenapa ibu memberikannya?"
Tangis Bu Ningsih pecah. "Nak Yuda, dia meminta tambahan uang untuk pernikahanmu. Dia mengancam akan membatalkan semuanya jika ibu tidak memberikan uang itu. Ibu,,, Ibu sangat ingin melihat kamu menikah. Ibu percaya kepada nak Yuda. Tapi ternyata…" Isak tangis Bu Ningsih tak terkendali, memekakkan telinga Aya.
Cahaya menahan air matanya, berusaha mengendalikan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Dadanya turun naik dengan cepat menahan amarah yang siap meledak.
Padahal dia sudah mencoba untuk mengikhlaskan semuanya. Ia hanya ingin hidup tenang tanpa menyimpan dendam dan kebencian. Namun, ternyata badai belum sepenuhnya berlalu. Apa yang baru saja diucapkan oleh ibunya, meruntuhkan benteng pertahanannya yang rapuh.
"Jadi, Yuda menggadaikan kebun kita?" Tangannya terkepal erat.
“Yuda mengambil pinjaman dalam jumlah besar di bank dengan menggunakan jaminan sertifikat itu. Dan sekarang katanya sudah jatuh tempo. Pihak bank menagih pembayaran sedangkan Ibu tidak memiliki uang sebanyak itu. Jadi terpaksa kebun kita disita.”
Suara Bu Ningsih terdengar lirih dan bergetar, nyaris tak terdengar. Cahaya mencoba mendengarkannya dengan sabar meski kemarahan seakan ingin meledakkan otaknya.
“ibu akan merelakan kebun itu seandainya saja Yuda benar-benar menikahimu. Tapi…” bu Ningsih menjeda ucapannya.
"Tapi ternyata Yuda menggunakan sertifikat tanah kita untuk menikahi gadis lain. Pernikahan mereka akan dilangsungkan minggu depan." Suara Bu Ningsih bagai tercekat di tenggorokan.
Aya masih hanya bisa dia menyimak. Ia juga tidak tahu harus menjawab apa. Dadanya terasa sakit, tapi ia seperti tak lagi mampu menangis. Air matanya seakan kering.
"Pernikahannya sangat mewah. Rumah mereka sudah mulai dihias. Sekarang di rumah mereka sedang masak-masak. Seluruh tetangga wanita diundang untuk membantu persiapan." Suaranya terputus oleh isakan tertahan.
Aya terdiam, membeku di tempatnya. Ingin menjawab, tetapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya, tak mampu membentuk kalimat yang utuh.
“Itulah yang ibu sesalkan.” Bu Ningsih meratap. "Yuda,,, dia,,, dia menggunakan uangnya untuk pesta pernikahannya yang mewah itu."
Keheningan menggantung di antara mereka, hanya diisi oleh suara isakan Bu Ningsih yang menyayat hati. Aya merasakan kepedihan yang luar biasa, bercampur dengan amarah yang membakar. Ia merasa dikhianati bukan hanya oleh Yudha, tetapi juga oleh ibunya sendiri.
"Ibu,,, " Suara Aya terdengar lirih, masih berusaha menahan emosi. "Bagaimana bisa Ibu begitu mudah percaya kepada dia? Tanah itu warisan Nenek?"
"Ibu yang bodoh, Aya" Bu Ningsih meratap. "Ibu terlalu percaya. Ibu,,, ibu bahkan tidak tahu kalau ternyata Yuda juga selalu minta uang padamu."
Aya menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Bukan hanya ibunya yang bodoh, dirinya sendiri juga bodoh. Mereka sama-sama bodoh karena terlalu mudah percaya dengan mulut manis Yuda.
"Sudah Bu. Jangan menangis lagi. Sekarang ibu tenang dulu ya. Aku akan mencoba mengurus masalah ini. Mungkin aku bisa meminjam uang pada Nyonya untuk mengangsur hutang itu. Aku tidak rela kebun kita terlepas.”
Aya menutup telepon dengan tangan gemetar. Air mata akhirnya membasahi pipinya, mengalir deras tanpa bisa dicegah. Rasa sakit, kemarahan, dan kebencian memenuhi hatinya.
Tanpa ia sadari, seseorang di balik pintu mendengarkan percakapannya. Marcel baru saja pulang dari perusahaan. Ia urung masuk ke dalam kamar ketika mendengar suara Cahaya yang sedang berbicara di telepon. Memilih mendengarkannya sampai selesai, baru kemudian pergi dari depan pintu saat melihat Aya menghapus air matanya dan bersiap untuk keluar setelah menyelesaikan pekerjaan.
.
.
Malam itu, Aya tak bisa tidur. Pikirannya begitu kalut. Ia tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan kembali sertifikat tanah itu, atau setidaknya meringankan beban hutang ibunya.
Ini bukan sesuatu yang mudah. Yuda dan keluarganya adalah orang-orang licik dan tak bermoral. Apakah kali ini dia juga harus mengalah lagi.
*
*
*
Sementara itu di tempat lain…
Seorang pria dengan wajah culas berbaring sambil tersenyum di atas tempat tidurnya yang mewah. Mewah untuk ukuran orang desa.
Yuda tersenyum sambil menatap ponselnya. “Ah, sial. Sekarang Aku sudah tidak bisa meminta uang lagi padanya,” umpatnya kesal.
“Untungnya aku pintar. Kalau tidak, mungkin aku sudah masuk penjara.”
Yuda kembali menatap ke arah ponsel. Riwayat chat yang belum dihapus hingga sekarang. Ponsel lain, ponsel cadangan yang hanya ia gunakan untuk mengirim pesan pada Cahaya. Ponsel berbeda dengan nomor berbeda dari nomor yang biasa ia gunakan untuk umum.
“Dasar gadis bodoh!” umpatnya lagi sambil membayangkan wajah Cahaya yang menangis pilu. “Huh, sangat disayangkan. Sebenarnya dia cantik. Tapi sayang, kakinya panjang sebelah.” berbicara sambil mencibir.
“Gadis bodoh, ibunya juga bodoh!” berbicara lagi dengan nada ejekan. “Tapi aku beruntung karena mereka bodoh. Dengan begitu aku bisa memanfaatkan kebodohan mereka untuk menikahi gadis yang cantik dan dari keluarga yang kaya raya.”
Membalikkan badannya yang semula terlentang kemudian tengkurap memeluk guling. “Bunga,,, Aku penasaran bagaimana rasanya perawan.”
Yudha bukanlah seorang pria yang lurus. Bahkan bisa dibilang dia termasuk golongan red flag, hanya saja tak seorangpun mengetahuinya bahkan termasuk keluarganya. Biaya kuliah yang selalu ia minta dari Cahaya, sebenarnya hanya dia gunakan untuk bersenang-senang di kota. Keluar masuk klub malam adalah hobinya.
“Hah, seharusnya aku juga mencicipi Cahaya dulu sebelum aku hempaskan. Sudah bisa dipastikan kalau Cahaya masih perawan. Dasar sial, aku benar-benar sial.”
Masih sambil tengkurap memeluk guling, memejamkan mata erat. Tiba-tiba bayangan wajah Cahaya melintas di depan matanya. Pipi yang kemerahan, bibir yang ranum. Sungguh menggoda untuk digigit.
Memejamkan mata, mengungkung guling di bawahnya dengan gerakan pinggul naik turun. Memegang miliknya sendiri,,,
“Ahhh… Aya…”
. cuit cuit