Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
“kamu gak apa-apa?” suara anak laki-laki yang tadi menolongnya membuat anak perempuan kecil itu menggeleng, menandakan bahwa dirinya tidak apa-apa. “kamu yakin?” tanya anak laki-laki itu lagi yang langsung dijawab dengan anggukkan cepat.
“terima kasih, ka.” Ujar anak perempuan bernama Bianca yang masih menundukkan kepalanya, enggan menatap siapapun yang berada di hadapannya. Kejadian barusan membuatnya tidak ingin melanjutkan interaksi dengan siapapun saat ini.
“sama-sama, kalau begitu aku duluan.” Ujar anak laki-laki itu lagi sambil berdiri meninggalkan gadis kecil yang ditolongnya tadi.
*
Suara isak tangis terdengar memenuhi ruangan tenang bernuansa cream pucat itu, seorang wanita sedang duduk di sebuah sofa panjang yang terasa sangat nyaman bagi siapa saja yang duduk disana, wanita itu tidak berhenti menyeka air matanya yang terus membasahi pipi.
“Engga apa-apa, pelan-pelan saja Bu.” Ujar Bianca lembut masih dengan tatapan teduh yang menenangkan. Ini merupakan klien keduanya untuk hari ini, dan ini sudah memasuki sesi ke-3 tapi setiap kali wanita itu datang ia hanya berbicara sedikit dan menangis, Bianca memahami bahwa membangun hubungan kepercayaan butuh waktu, terkadang klien yang datang kepadanya memang hanya untuk bisa duduk berhadapan dengan seseorang yang mau mendengarkan tanpa perlu menghakimi atau memperbaiki.
Bianca melirik jam yang berada di pergelangan tangan kirinya dengan fokus yang tidak beralih dari wanita yang duduk di hadapannya. 10 menit lagi sesinya dengan wanita itu akan berakhir. Dengan sabar Bianca menunggu kliennya lebih tenang.
Bianca menyodorkan kotak tisu yang terletak di meja kepada wanita itu untuk menutup sesinya hari ini ketika wanita tersebut sudah lebih tenang.
“terima kasih, Mbak Bianca.” Ucapan itu terdengar lirih dan masih ada getaran dalam suara wanita itu. Bianca menganggukkan kepala dengan senyum yang lagi-lagi mampu membuat siapa saja merasa tenang.
“sama-sama, Bu” balas Bianca lembut sambil mengantar kliennya menuju pintu. Bianca meluruhkan tubuhnya di sofa single yang biasa ia gunakan ketika berhadapan dengan kliennya. Menghembuskan nafas perlahan dan mengambil catatan kecil yang biasa ia gunakan untuk menulis hal-hal penting pada sesi yang berlangsung dan akan menjadi bekal untuknya di sesi selanjutnya.
Dering telepon di ruangannya berbunyi ketika tangan Bianca masih menari-nari menulis note di catatannya. Fokusnya terbagi, memaksanya harus berdiri dan mengangkat telepon tersebut.
“halo.” Terdengar suara dari seberang telepon, Bianca mengenali itu adalah suara Jean, asistennya. “Mba Bianca, sesi selanjutnya masih sekitar satu setengah jam lagi, kalau Mba Bianca mau keluar makan siang masih ada waktu.” Ujar Jean lagi sebelum Bianca sempat membalas sapaannya.
“Engga masalah, Jean. Terima kasih remindernya, mau makan siang bersama?” jawab Bianca sambil menawarkan untuk keluar makan bersama.
“Boleh, Mbak. Aku rapikan file klien dulu ya Mbak.” Jawab Jean menerima tawaran Bianca. Bianca Pun mengakhiri panggilan telepon dan melanjutkan mencatat hal-hal yang masih perlu ia catat sebelum akhirnya keluar dari ruangannya dan menghampiri asistennya yang sudah menunggu dirinya di depan.
“lama ya?” tanya Bianca ketika keduanya sedang berjalan menuju lobby tempat prakteknya.
“tidak juga, aku juga baru selesai merapikan file Ibu Miranda.” Jawaban Jean hanya di respon dengan senyum oleh Bianca. Keduanya tengah berjalan menuju sebuah restoran yang tidak jauh dari tempat praktek Bianca sambil berbincang mengenai sisa agenda siang ini.
Waktu makan siang dihabiskan oleh kedua wanita itu dengan mengobrol banyak hal, Jean merupakan asisten yang menjadi teman bagi Bianca. Anindya Bianca Maheswari terkenal dengan pembawaan diri yang tenang, memiliki tutur kata yang lembut dan mampu membuat siapa saja yang dekat dengannya merasa nyaman tidak terkecuali asistennya. Ketika waktu menunjukkan pukul setengah 3, Bianca segera mengajak Jean kembali karena sesi berikutnya akan di mulai setengah jam lagi, Bianca selalu berusaha tepat waktu untuk setiap hal walaupun ia tahu tidak semua kliennya akan tepat waktu.
Bianca kembali mendudukkan dirinya di sofa yang memang ia gunakan untuk dirinya, dengan seksama ia melihat profil kliennya yang tadi diberikan Jean, Profile kliennya kali ini banyak yang tidak diisi, hanya informasi umum yang diisi seperti nama, usia, pekerjaan, dan status. Bianca meletakkan file tersebut di meja yang menjadi pembatas bagi dirinya dan kliennya, dengan sabar Bianca menunggu kliennya datang meski waktu sudah menunjukkan pukul 15.35 yang menandakan bahwa waktu sesi seharusnya sudah berjalan setengah jam dari jadwal. Bianca berjalan menghampiri telepon dan menghubungkannya pada Jean.
“apa orangnya sudah datang?” tanya Bianca begitu panggilan telepon tersebut tersambung.
“Belum, mbak.”
“apa ada kabar dari yang bersangkutan?” tanya Bianca lagi, Bianca merasa sangat di sayangkan kalau ada kliennya yang terlambat lebih dari setengah jam.
“belum ada, mbak. Apa mau saya hubungi saja mbak?” tawar Jean.
“tidak perlu, kita tunggu saja sampai jadwal sesinya berakhir. Terima kasih, Jean.” Ucapan Bianca menjadi akhir dari sambungan telepon itu. Bianca menyadari bahwa tidak semua kliennya bisa tepat waktu, terkadang meskipun mereka yang mengajukan diri untuk terapi atau konsultasi biasanya para kliennya akan merasa dilema untuk tetap datang atau mengundurkan niat mereka.
Pintu yang terbuka setelah ketukan singkat terdengar memunculkan Jean bersama seorang pria, Jean mengantar pria tersebut duduk di sofa panjang dan kemudian menganggukkan kepala sebelum akhirnya meninggalkan ruang konsultasi itu. Bianca tersenyum lembut menyambut kliennya meski kedatangan kliennya kali ini terlambat hampir satu jam dan sesinya hanya tersisa 15 menit.
“Selamat sore, Bapak Marvin. Perkenalkan saya Bianca yang akan menemani sesi Bapak hari ini, terima kasih sudah menyempatkan untuk tetap datang.” Sapaan dan perkenalan diri diberikan oleh Bianca memecah keheningan sesaat tadi. Pria yang dipanggil Marvin itu memerhatikan Bianca sesaat dan menganggukkan kepala sebagai jawaban dari sapaan Bianca barusan. Masih dengan senyum lembutnya Bianca melanjutkan, “apakah sulit menemukan tempat ini, Pak?” tanyanya mulai membangun obrolan untuk sedikit mencairkan suasana yang terasa tidak ramah bagi Bianca. Gelengan didapatkan Bianca sebagai jawaban. Bianca sudah menebak sejak membaca profil pria ini kalau kliennya kali ini mungkin sangat tertutup dan sulit untuk mengutarakan perasaannya.
Bianca memerhatikan pria dihadapannya untuk sesaat, raut wajah pria itu tegas dan penuh wibawa, tidak ada keramahan disana, namun matanya tidak bisa berbohong, sesekali tatapan ria itu seolah menerawang dan Bianca menangkap suatu kerapuhan di dalamnya. Sambil sesekali kembali membaca profil pria tersebut, Bianca melanjutkan obrolan ringan dengan pria dihadapannya untuk membangun bonding dengan kliennya supaya kedepannya kliennya bisa lebih nyaman bercerita dan mengutarakan isi hati dan perasaannya.
“Bagaimana perasaan bapak hari ini?” tanya Bianca setelah ia merasa basa-basi yang ia berikan sudah cukup untuk dilanjutkan dengan perbincangan yang lebih dalam.
Menurut anda, apakah saya disini karena saya baik-baik saja?” bukan mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, pria bernama Marvin itu menatap Bianca dan membalas ucapannya dengan tidak ramah bagi pendengaran Bianca. Mendapat respon seperti itu Bianca hanya menatap kliennya dengan lembut dan tersenyum.
“Apakah boleh gambarkan ke saya bagaimana perasaan Bapak saat ini?” masih dengan suara yang lembut dan pembawaan yang tenang Bianca kembali melontarkan pertanyaannya.
“saya tidak tahu.” Jawaban singkat diberikan oleh Marvin. Bianca menyadari ini cukup sulit, tidak ada catatan apapun yang dapat memberikan ia clue untuk menggali dan sikap tertutup pria ini membuat Bianca harus sedikit berpikir dan menguasai dirinya.
“Jadi saat ini Bapa sendiri bingung dengan perasaan Bapak ya. Boleh saya tahu apa yang membawa Bapa untuk akhirnya memilih melakukan konsultasi hari ini?” tanya Bianca lagi dengan tidak merubah suara maupun wajahnya yang teduh.
“saya juga tidak tahu.” Jawaban Marvin kali ini terdengar frustasi, ia juga tidak tahu perasaan apa yang terus mengganggunya, dan kenapa ia akhirnya memutuskan untuk membawa dirinya kesini. Bianca berdiri meninggalkan tempat duduknya mengambil sebotol kecil air mineral dan menyerahkan kepada pria dihadapannya.
“Minum dulu, Pak.” Tawar Bianca sambil menyodorkan air mineral itu yang disambut ragu oleh kliennya. “engga apa-apa kalau Bapak belum bisa menceritakan bagaimana perasaan Bapak, pelan-pelan saja, Pak.” Lanjut Bianca dengan sabar.
“terima kasih.” balas Marvin sambil kemudian meneguk air mineral yang tadi diberikan oleh Bianca. “tapi perlu anda ketahui saya kesini bukan untuk disembuhkan, saya hanya ingin tahu kenapa saya seperti ini.” Lanjut Marvin yang membuat Bianca sedikit melongo mendengar pernyataan tersebut, tapi dengan cepat Bianca kembali memberikan senyumnya.
“terima kasih untuk pengakuan Bapak, tidak apa Pak kita bisa berjalan perlahan untuk mendapatkan jawaban yang Bapak cari.” Jawaban itu menjadi perkataan Bianca sebelum akhirnya mengakhiri sesi dengan pria bernama Marvin tersebut. Belum sempat Bianca mengantarkan kliennya ke pintu, Marvin sudah beranjak dan menghilang di balik ruang konsultasi.