Aruna Elise Claire, aktris muda yang tengah naik daun, tiba-tiba dihantam skandal sebagai selingkuhan aktor lawan mainnya. Kariernya hancur, kontrak diputus, dan publik membencinya.
Putus asa, Aruna memanfaatkan situasi dan mengancam Ervan Zefrano—pria yang ia kira bisa dikendalikan. Ia menawarinya pernikahan kontrak dengan iming-iming uang dan janji merahasiakan sebuah video. Tanpa ia tahu, jika Ervan adalah seorang penerus keluarga Zefrano.
“Kamu mau uang, kan? Menikah saja denganku dan aku akan memberimu uang setiap bulannya. Juga, foto ini akan menjadi rahasia kita. Tugasmu, cukup menjadi suami rahasiaku.”
“Dia pikir aku butuh uang? Aku bahkan bisa membeli harga dirinya.”
Pernikahan mereka dimulai dengan ancaman, di tambah hadir seorang bocah menggemaskan yang menyatukan keduanya.
“Liaaan dititip cebental di cini. Om dititip juga?"
Akankah pernikahan penuh kepura-puraan ini berakhir dengan luka atau justru membawa keduanya menemukan makna cinta yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Keluarga Suami
Elara tak sabar menyambut wanita yang putranya bicarakan kemarin. Bahkan mertuanya, sampai menginap karena tak ingin terlambat melihat kedatangan yang katanya sangat istimewa. Waktu terasa berjalan lambat, membuat Elara semakin cemas. Ia keluar dari rumah, berdiri di teras sambil menatap jalanan. Tepat saat itu, sebuah mobil memasuki gerbang rumah.
“Mereka datang! Mereka datang!” seru Elara penuh semangat, membuat anggota keluarga lainnya keluar dari rumah untuk menyambut kedatangan Ervan.
Mobil merah itu berhenti tepat di depan teras. Tak lama, Ervan turun dari mobilnya dengan langkah santai. Ia berjalan menuju pintu samping, lalu membukanya. Dari dalam, ia mengulurkan tangan dan menggendong Alian. Setelah itu, seorang wanita turun dari mobil, sosok yang wajahnya langsung membuat semua orang tertegun.
“Eh, kekasihnya janda atau gimana? Kok bawa anak?” bisik Nyonya Damara penuh kebingungan.
Elara tersenyum, mencoba tetap positif. “Bukan, Ma. Anak itu keponakan temannya,” jawabnya ringan.
Namun Arion dan Amara langsung mematung. Wajah mereka tegang. Mereka mengenali wanita yang datang bersama Ervan—dia adalah Aruna, aktris yang belakangan dikabarkan sudah menikah diam-diam. Dan yang mengejutkan, suaminya ternyata adalah Ervan sendiri.
Ervan menggenggam tangan Aruna lembut, menarik wanita itu mendekat ke arah keluarga mereka. Aruna terlihat gugup, bahkan cemas. Elara, yang melihat Aruna untuk pertama kalinya, langsung meraih kedua tangan sang wanita dan menggenggamnya hangat.
“Ya ampun, Mama nggak tahu kalau Ervan sudah punya kekasih,” seru Elara antusias, tak menyadari ketegangan yang menggantung di udara.
Arion menyipitkan mata, mengalihkan pandangan ke arah putranya. "Dia bukan hanya kekasihmu, tapi ... dia istrimu, kan?"
Suasana langsung berubah tegang. Senyum Elara menghilang. Ia memandang Ervan, bingung.
"Apa maksudmu, Mas? Ervan baru datang dan ingin mengenalkan kekasihnya. Soal pernikahan, pasti nanti dibicarakan,” kata Elara pada suaminya, mencoba meredakan.
Tapi Arion malah melangkah maju, menatap Ervan dengan sorot mata penuh tanya. Aruna menggigit bibirnya, wajahnya pucat. Ia merasa tak punya tempat di ruangan ini. Ketakutannya menyeruak—takut jika keluarga Zefrano menyalahkannya. Apalagi, pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena paksaan dan ancamannya.
“Anak ini sudah menikah. Benar begitu, Menantu?” tanya Arion, kini menatap lurus ke arah Aruna.
Elara menoleh, matanya membulat. “Kamu dan Ervan?”
Aruna hanya diam, matanya mulai berkaca-kaca. Ervan cepat bertindak, ia menyerahkan Alian pada Amara.
“Bawa ke kamar Abang,” perintahnya pelan tapi tegas.
Amara segera menurut, meninggalkan suasana yang kini terasa seperti sedang di interogasi.
.
.
.
Mereka semua kemudian berkumpul di ruang keluarga. Aruna duduk di samping Ervan, menunduk, tak sekalipun mengangkat wajahnya. Suasana terasa menekan, semua memasang wajah serius. Hanya Dara yang duduk santai sambil memangku toples makanan, menatap ekspresi keluarganya satu per satu.
"Wah wah wah ... Abang, kamu kena masalah besar," batin Dara sambil tersenyum tipis.
“Jelaskan, Ervan. Jangan buat kami menunggu,” ucap Kyler, suara kakeknya yang dalam membuat suasana makin menegangkan.
Ervan menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia melirik Aruna yang masih menunduk, lalu menggenggam tangan wanita itu. Aruna terkejut, matanya membelalak, bertemu pandang dengan Ervan. Dalam genggaman itu, ia seperti menemukan kembali kekuatannya.
“Papa benar. Aku sudah menikah,” ucapnya, suara tegas tapi lirih.
Elara terhuyung. Ia memegang d4danya, tanda bahwa dirinya syok. “Ervan … kamu menikah tanpa memberitahu kami?” tanya Elara, kecewa terpancar jelas dari tatapannya.
Ervan menatap ibunya dengan pandangan bersalah. “Maaf, Ma. Ada banyak pertimbangan. Tapi kami menikah bukan karena insiden. Mama tenang saja.”
“Sudah berapa lama?” tanya Elara lagi, kali ini matanya lurus menatap Ervan.
“Hampir sebulan,” jawab Ervan pelan.
Arion merangkul Elara, mengelus punggung istrinya. Ia tahu, Elara sangat menantikan pernikahan anaknya. Tapi kini, semua terjadi diam-diam. Elara bukan hanya kecewa—ia terluka.
“Mama nggak pernah menuntut kamu bawa menantu sempurna, Van. Siapapun wanitanya, Mama akan terima. Tapi kenapa kamu sembunyikan?” tanya Elara, suaranya bergetar.
“Ma, waktu itu semuanya rumit. Aku sudah dewasa. Aku berhak menentukan masa depanku,” jawab Ervan dengan nada lebih mantap.
“Tapi setidaknya kamu hargai Mamamu, Ervan!” bentak Arion. Emosinya meledak. “Jika bukan karena Papa, lihatlah Mama! Dia yang paling menanti pernikahanmu. Dia yang paling ingin melihat kebahagiaanmu. Tapi kamu justru menikah tanpa sepatah kata pun. Ini bukan sekadar hak. Ini tentang menghargai!”
“Pa!” seru Ervan, bangkit berdiri.
Arion pun berdiri. Kedua pria itu saling menatap dengan sorot mata tajam, ego yang bertabrakan di antara darah yang sama.
“Kenapa aku harus terus memahami semua orang? Kenapa nggak ada yang mencoba memahami aku sekali saja? Aku sudah terlalu banyak menahan. Tolong … kali ini, pahami aku.”
“Kamu—”
Arion terdiam karena Elara menggenggam tangannya. Ia berdiri, menatap putra mereka dengan senyum getir.
“Kami hargai keputusanmu, Sayang,” ucap Elara, menatap Ervan dalam-dalam.
Emosi Ervan perlahan surut. Tatapan ibunya, penuh luka tapi tetap tersenyum—menvsuk hati. Perlahan, Elara melangkah mendekat dan memeluk putranya erat.
“Selamat atas pernikahanmu, Sayang. Jagoan Mama sudah dewasa,” bisiknya sambil menangkup pipi Ervan.
“Aku minta maaf,” balas Ervan, suara seraknya menggantung di udara.
Elara mengangguk dan mengusap kepala anak lelakinya dengan penuh kasih. Lalu, ia menoleh ke arah Aruna yang masih duduk terpaku.
“Apa kamu nggak ingin menyapa ibu mertuamu ini, hm? Kemarilah, tunjukkan wajah cantikmu,” ujar Elara lembut.
Pelan-pelan, Aruna mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan sorot penuh cinta dari Elara. Senyum lembut wanita paruh baya itu membuat d4danya hangat, rasa takutnya perlahan menghilang.
“Cantik sekali,” puji Elara, lalu menariknya ke dalam pelukan.
Aruna membatu, lalu membalas pelukan itu. Hangat. Hangat sekali. Ia bahkan memejamkan mata sejenak, membiarkan dirinya larut dalam pelukan seorang ibu.
“Pelukan ini … terasa familiar,” batinnya.
Setelah pelukan terlepas, Elara tersenyum kembali, lalu meraih kedua tangan Aruna. Namun, matanya langsung tertuju pada jari manis Aruna yang kosong.
“Eh? Kamu nggak pakai cincin pernikahan?”
“Itu …,” Aruna menatap Ervan dengan ragu, diikuti Elara.
“Ervan, Mama tahu kamu menikahinya mendadak. Tapi sekadar kasih cincin, masa kamu nggak mampu?” desis Elara, kecewa tapi masih bisa bercanda.
Damara yang sejak tadi memperhatikan, mendekat dan duduk di sebelah Aruna. Ia melepaskan cincin emas di jarinya, lalu memakaikannya ke jari manis Aruna.
“Pakai ini dulu ya,” ucapnya dengan senyum lembut.
Aruna terharu. Ketakutan di benaknya mulai luntur. “Ternyata, keluarga Ervan tak seseram yang kubayangkan,” batinnya.
Namun ketika ia menoleh pada Arion, pria itu masih menatap tajam padanya. Tidak seperti yang lain, pandangannya dingin dan penuh prasangka.
“Mungkin … di kisahku ini, Ayah mertua adalah cobaan terbesarku,” gumam Aruna dalam hati.
_______________________________
Alian: "Ooo Aliooon, cabaaaaal,"
baik amat hari ini