Di Benua Timur Naga Langit sebuah dunia di mana sekte-sekte besar dan kultivator bersaing untuk menaklukkan langit, hidup seorang pemuda desa bernama Tian Long.
Tak diketahui asal-usulnya, ia tumbuh di Desa Longyuan, tempat yang ditakuti iblis dan dihindari dewa, sebuah desa yang konon merupakan kuburan para pahlawan zaman kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ar wahyudie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chp 4
Angin malam turun perlahan dari utara, menyusuri lembah naga seperti napas panjang bumi yang baru terbangun. Hembusannya lembap, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru tersentuh kabut. Di Desa Longyuan, keheningan terasa tidak wajar terlalu sunyi, terlalu tebal, seolah udara itu sendiri sedang menahan sesuatu agar tidak pecah.
Di tepi sungai, Tian Long berdiri tanpa suara. Bulan menggantung pucat di langit, cahayanya menetes di atas air yang berkilau keperakan. Permukaan sungai itu memantulkan bayangannya sendiri, namun di balik pantulan itu sesuatu tampak bergerak, gelombang tipis membentuk siluet naga yang melingkar perlahan di belakang tubuhnya.
Ia menatap pantulan itu tanpa berkedip. Sekejap kemudian, siluet itu memudar seperti kabut tersapu angin, meninggalkan riak kecil yang bergetar hingga ke tepi batu. Tapi udara di sekelilingnya belum tenang; ada getaran halus yang merayap di kulit, seperti dengung suara jauh dari dalam bumi.
“Kenapa malam ini terasa… aneh?” suaranya nyaris tak terdengar, hanyut bersama desir angin.
Ia berjongkok, menepuk permukaan air dengan lembut. Dari kedalaman sungai, suara berat bergema guggg… krakkk!—seperti sesuatu yang pecah dari dalam perut bumi. Riak-riak kecil menyebar, diikuti gelembung-gelembung yang naik ke permukaan, pecah satu per satu. Aroma besi dan belerang menguar dari air, menusuk hidung, membuat dada terasa sesak.
Tian Long menatap permukaan air itu, kini berwarna kelabu di bawah cahaya bulan. Dalam diam, ia tahu, sesuatu sedang bangkit dari bawah tanah, dan malam di Desa Longyuan tidak akan pernah sama lagi.
Tian Long berdiri waspada. Dari jauh, terdengar gemuruh rendah. Tanah di bawah kakinya bergetar ringan, thumm… thumm… seperti langkah raksasa dari kedalaman bumi.
Dari arah reruntuhan kuil naga tua di pinggir lembah, muncul cahaya merah gelap yang menembus kabut malam.
Ia langsung berlari, tombak kayunya menggantung di punggung.
Kabut di sekitar kuil menebal, berputar seperti pusaran. Setiap langkah yang Tian Long ambil membuat tanah di bawahnya mengelupas, memunculkan urat-urat hitam berdenyut yang menyala samar.
Reruntuhan itu tampak berbeda—batu-batunya memantulkan cahaya merah, dan dari celah-celah di antara batu terdengar desisan lirih, seperti ribuan ular berbisik.
Satu langkah lagi, lalu bumi berguncang keras. BRAAAAK!
Batu-batu kuil beterbangan. Debu memenuhi udara. Di tengah pusaran itu muncul bayangan besar—sebuah makhluk yang tubuhnya dilapisi sisik hitam berkilat, mata merah membara, dan giginya tajam berlapis dua.
Makhluk itu menatap Tian Long. Suaranya bergema berat, serak seperti guruh menembus logam.
“Darah naga… akhirnya......”
Suara itu menusuk telinga, membuat jantung Tian Long berdebar keras. Ia mundur selangkah, mengencangkan genggaman pada tombak kayu. “Siapa kau?”
Makhluk itu perlahan menunduk, memperlihatkan deretan gigi berlapis dua yang berkilat basah di bawah cahaya merah. Dari celah giginya menguar napas panas yang berbau logam terbakar.
“Ha… ha ha ha…” tawa itu rendah, namun setiap getarnya membuat udara bergetar seperti genderang perang kuno. “Darahmu… akan menjadi wadah kebangkitanku.”
Dari balik tubuhnya, kabut hitam menetes seperti darah yang menetes dari luka. Bentuknya samar, namun dari setiap pusaran kabut itu muncul bayangan wajah-wajah naga yang meraung tanpa suara tertahan, tersiksa, dan haus akan kebebasan.
Makhluk itu terlihat seperti sisa roh naga hitam, yang dahulu dibuang ke kegelapan karena menolak tunduk pada hukum langit. Ia adalah bagian dari kekuatan purba yang ditolak oleh naga-naga luhur, dikurung di antara dunia roh dan kehampaan selama seribu tahun.
Kini, sebagian jiwanya bebas… dan ia menemukan pewaris yang memiliki darah naga tertinggi yang belum sempurna—Tian Long.
Tian Long memutar tombaknya, menurunkan tubuh ke posisi bertahan.
Whuumm! Udara meledak ketika ia melompat maju. Tombaknya menembus kabut, mengarah ke dada makhluk itu, tapi ditahan satu cakar raksasa. Suara benturan logam dan tulang bergema—CLANG!—dan percikan api menari di udara.
Tenaganya terpental. Tubuh Tian Long terhempas ke tanah, thudd! Napasnya keluar dari paru-paru seperti disambar.
Mo Ling melangkah maju, setiap langkahnya membuat tanah retak. “Lemah. Kau tidak pantas membawa darah langit.”
Tian Long menyeka darah dari sudut bibirnya.
Ia menunduk, menekan ujung tombak ke tanah, lalu menarik napas dalam. Qi bumi mengalir dari kakinya ke lengan, membuat tato teratai di lengannya bersinar samar. Udara di sekitar tubuhnya mulai bergetar.
Ia berteriak pelan, melancarkan jurus yang baru dia kuasai:
“Cakar Dewa Naga!”
Tombaknya berputar cepat, meninggalkan jejak cahaya emas yang membelah udara. Srakkk!
Serangan itu menembus dada Mo Ling, tapi hanya meninggalkan goresan kecil di sisik hitamnya.
Makhluk itu menggeram, marah. “Berani melukai tubuhku dengan senjata sampah mu!?”
Ia mengibaskan lengannya. Braaakk! Serangan udara menghantam Tian Long, melemparkannya beberapa meter. Tubuhnya menabrak batu besar dan jatuh ke tanah.
Sakit menjalar di seluruh tubuhnya, napasnya berat. Dunia berputar di sekitarnya. Ia mendengar suara air, angin, dan desis naga yang saling bercampur.
Mo Ling berjalan mendekat. “Kau akan mati di sini, pewaris langit. Tubuhmu akan menjadi milikku.”
Tian Long berusaha berdiri, lututnya gemetar. Ia mengangkat tombaknya lagi, meski tangannya bergetar keras. “Selama aku masih bisa bernapas… tak akan kubiarkan makhluk sepertimu menyentuh tanah ini lagi.”
Makhluk itu tertawa keras—tawa yang mengguncang udara, membuat dedaunan beterbangan. “Keberanian tanpa kekuatan hanyalah kebodohan.”
Ia membuka mulut lebar, mengeluarkan semburan energi hitam yang membakar udara. Whuooooosh! Api gelap itu meluncur langsung ke arah Tian Long.
Tian Long menutup matanya dan menancapkan tombak ke tanah, mencoba membangun penghalang Qi bumi yang diajarkan Long Wei, tapi energi itu terlalu besar.
Benturan terjadi. BOOOOM!
Gelombang panas menyapu seluruh lembah. Batu-batu beterbangan, pohon tumbang, dan tanah membentuk kawah besar di tempat Tian Long berdiri.
Asap tebal naik ke langit. Di tengahnya, Tian Long berlutut, tubuhnya penuh luka bakar dan darah. Napasnya tersendat. Tombaknya patah di tengah, separuhnya masih di tangannya, separuhnya tertanam di tanah.
Matanya setengah terbuka. “Akh....…” suaranya nyaris tak terdengar.
Mo Ling melangkah mendekat, mengangkat cakarnya tinggi, siap mencabik tubuh Tian Long. “Kau hanya manusia yang mencoba menjadi naga.”
Tian Long memejamkan mata, menerima kenyataan pahit itu. Namun tepat saat cakar itu turun, tato teratai di lengannya berdenyut keras—thumm!—mengirim gelombang cahaya emas yang meledak dari tubuhnya.
Whuuuummmm!
Udara bergetar hebat. Cahaya emas itu membentuk pola naga di sekelilingnya, berputar cepat hingga seluruh lembah terisi dengan kilatan cahaya.
Mo Ling menjerit, menutupi wajahnya. “T-tidak… kekuatan ini…!”
Suara lembut bergema di dalam kepala Tian Long, dalam, tenang, namun mengguncang sampai ke tulang.
“Bangkitlah, naga dari langit. Tubuhmu ditempa oleh kehendak langit—ingatlah siapa dirimu.”
Cahaya itu semakin terang. Suara retakan terdengar di udara, crackk… crackkk!—berasal dari udara yang pecah oleh tekanan energi.
Tian Long membuka matanya. Irisnya berubah emas, memantulkan kilatan cahaya naga. Ia berdiri perlahan, langkah demi langkah, lalu mengayunkan tombak patah di tangannya dengan gerakan alami, seolah ia sudah pernah melakukannya ratusan kali di masa lalu.
Udara bergetar. Energi naga berwarna emas memancar dari tubuhnya, membentuk gelombang kejut yang menghantam Mo Ling. Braaam!
Makhluk itu menjerit ketika sisik hitamnya pecah satu per satu. Dalam hitungan detik, tubuh besar itu terbelah cahaya, lalu meledak menjadi debu hitam yang tersapu angin.
Asap perlahan hilang. Tian Long berdiri di tengah kawah yang berasap, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal, tapi matanya masih menyala. Di sekelilingnya, udara terasa hidup—seolah seluruh alam berlutut pada sesuatu yang baru saja bangkit.
Dari kejauhan, Long Wei berlari mendekat, tertegun melihat pemandangan itu. “Langit…” bisiknya pelan, “tanda itu sudah terbuka lagi.”
Di lengan Tian Long, teratai emasnya kini memiliki dua kelopak yang menyala penuh.