Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Kedekatan Hulya & Dexter
"Supermarket, kau sendiri?"
"Klub." Hulya hanya tersenyum, dia tidak bertanya lebih banyak lagi karena tidak ingin terlalu ikut campur urusan orang lain.
Hulya hanya mengenakan pakaian rumah biasa tapi tetap terlihat elegan di tubuhnya. Mereka berdua memasuki lift dan hanya ada mereka berdua saja.
Dalam ruangan kecil itu, Dexter bisa melihat dengan jelas wajah Hulya dari dekat, terlebih Hulya tidak menggunakan make up.
Refleks tangan Dexter menyentuh lebam di rahang dan kening Hulya. Bekas luka itu belum hilang sempurna, Hulya kaget saat Dexter menyentuh wajahnya.
"Apa kau hobi berkelahi?" ledek Dexter pada Hulya.
"Tidak, aku tidak sejago itu berkelahi," jawab Hulya lalu menjaga jarak dari Dexter, dia masih berusaha untuk tersenyum.
"Kenapa Marchel tidak ikut tinggal bersama denganmu? Apa kalian bertengkar?" Hulya kaget mendengar nama suaminya disebut.
"Kamu kenal Marchel?"
"Siapa yang tidak kenal dia, dia rekan bisnisku."
"Oh jadi kau ini bukan tukang listrik?" Dexter tertawa mendengar anggapan Hulya mengenai dirinya.
"Apa tampangku ini seperti itu? Aku tampan begini kau bilang tukang listrik."
"Bukan begitu Dexter, kan tadi kau mengenakan seragam..."
"Aku mencuri seragam itu dari seseorang," potong Dexter yang dibalas anggukan oleh Hulya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa kamu tinggal sendiri di apartemen ini? Mana Marchel?"
"Aku dan dia sudah tidak bersama lagi."
"Kalian bercerai?"
"Ya begitulah."
"Apa lebam ini tersebab olehnya?"
"Hm ... aku rasa itu sudah ranah pribadiku, Dexter." Hulya sangat enggan membahas mengenai kehidupannya pada orang lain terlebih orang yang baru dia kenal.
"Berarti jawabannya, iya."
Ting!
Pintu lift terbuka, mereka berdua sama-sama keluar dan berjalan ke tempat tujuan masing-masing. Dexter menuju parkiran untuk mengambil mobilnya sedangkan Hulya memilih untuk menunggu taksi.
"Naiklah, aku akan mengantarkan mu ke supermarket, kebetulan aku ke arah yang sama," ajak Dexter saat mobilnya berhenti di depan Hulya.
Hulya setuju lalu memasuki mobil Dexter.
Di dalam mobil, mereka bercerita banyak hal. Sudah seperti saling kenal lama satu sama lain, mereka bahkan saling tertawa dan melempar lelucon.
"Bagaimana kalau kau temani aku dulu ke klub? Hanya sebentar, nanti aku akan menemanimu ke supermarket."
"Memang mau apa ke klub?"
"Aku hanya ingin bertemu klien sebentar, sebentar saja." Hulya tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.
"Tapi pakaianku sangat tidak cocok untuk ke sana," kata Hulya.
"Apa kau sering ke klub malam?"
"Aku tidak terlalu suka dengan suasana di sana."
"Ya sudah, pakaian ini lebih baik kalau begitu, kau sangat cantik, Hulya."
"Kau memujiku? Aku tergoda Dexter," canda Hulya yang membuat mereka kembali tertawa.
Mereka sampai di klub malam yang cukup mewah, klub yang hanya orang-orang kaya saja bisa ke sana. Dexter melihat keraguan di wajah Hulya saat akan memasuki klub malam tersebut. Dexter menggenggam tangan Hulya yang kini terasa dingin.
"Kau gugup, Hulya?"
"Ya sedikit, aku takut masuk ke klub begini, kalau aku dijahati dan dilecehkan orang bagaimana?"
"Aku bersamamu, kan, aku tidak akan membiarkan kau dalam bahaya, percayalah padaku." Dexter meyakinkan Hulya.
"Tapi Dexter," pria itu menangkup wajah Hulya, menatap lamat mata indah itu dan mendekatkan wajahnya.
"Aku menjamin keselamatan dirimu, tidak akan ada yang menyakiti kamu Hulya. Tetaplah pegang tanganku dan tetaplah di sampingku, kau akan aman." Hulya semakin yakin ketika melihat sorot mata Dexter yang meyakinkan.
"Oke." Untuk beberapa saat, Dexter tidak melepaskan tangannya di wajah Hulya, dia seakan tersihir dengan kecantikan dan sorot mata wanita di hadapannya.
"Sampai kapan kau akan memegang wajahku seperti ini?" protes Hulya yang membuat Dexter tersadar dari lamunannya.
"Sorry, ayo masuk!"
Hulya memegang dengan kuat tangan Dexter, tangannya basah karena keringat dingin, Dexter tersenyum melihat Hulya yang begitu berlindung di balik tubuh kekarnya seperti seorang anak kecil.
Dexter ternyata telah ditunggu oleh seorang pria paruh baya yang bisa ditebak kalau dia orang Asia, karena wajahnya begitu khas. Dexter duduk di sofa tepat di hadapan pria itu lalu Hulya di sampingnya, tatapan pria tersebut membuat Hulya takut, dia seakan ditatap intens.
"Berhenti menatap kekasihku seperti itu jika kau masih ingin kedua bola matamu tetap berada di tempatnya," tegas Dexter pada pria paruh baya tersebut dengan penuh penekanan.
Dexter semakin memegang tangan Hulya dengan posesif, ia merasa terlindungi oleh pria di sampingnya. Mereka mulai membicarakan bisnis gelap yang berkaitan dengan minuman keras serta obat-obatan terlarang.
Dari sini Hulya tahu kalau Dexter merupakan seorang mafia, sama seperti Marchel, bahkan bisa dilihat, Dexter adalah orang yang sangat disegani.
Setelah 10 menit berbincang, mereka akhirnya menyepakati transaksi lalu Dexter pergi dari sana membawa Hulya. Ketika berada di dalam mobil, Hulya bernafas lega, Dexter tersenyum.
"Lihatlah, tanganku sampai basah karena genggamanmu Hulya," kata Dexter sembari menunjukkan telapak tangannya, Hulya mengambil tissue di dashboard mobil lalu mengelap telapak tangan Dexter dan dirinya sendiri.
"Maaf ya Dexter, aku kalau gugup memang begitu. Jujur saja, aku sangat takut melihat banyak orang-orang memegang senjata tadi. Kalian seperti mau berperang saja," sahut Hulya yang diikuti gelak tawa Dexter.
"Marchel itu bos mafia, apa dia tidak pernah membawamu untuk hal bisnisnya?"
"Tidak, aku juga tidak mau ikut, lagian buat apa?"
"Oke. Sekarang kita mau ke mana?" tanya Dexter.
"Ke supermarket, aku harus membeli beberapa bahan makanan untuk masak besok pagi dan malam ini, kebetulan aku sangat lapar."
"Kita cari restoran saja dulu, nanti baru ke supermarket, bagaimana?"
"Boleh."
Dexter membuka jas yang dia kenakan lalu membuka kancing atas kemeja dan menyingsingkan lengan bajunya hingga siku.
"Mau aku bantu?" tawar Hulya.
"Boleh."
Dexter memberikan lengannya pada Hulya, pria itu terus menatap Hulya dengan penuh rasa kagum, dalam hatinya terus bergumam kata 'sangat cantik'.
Mereka meluncur mencari restoran di dekat sana, Dexter membawa Hulya ke restoran mewah dan begitu berkelas lalu memesan makanan.
"Boleh aku bertanya?" Dexter mengangguk, dia melipat tangan di atas meja dan menatap Hulya.
"Kamu itu mafia dan pastinya kamu memiliki banyak uang, kenapa malah tinggal di apartemen yang bisa dibilang tidak terlalu mewah untuk sekelas dirimu?"
"Aku di sini hanya sebulan saja, aku pindah ke sana dua hari sebelum kamu pindah."
"Ooh jadi selama ini kamu di mana?"
"Sisilia, aku ke sini untuk urusan bisnis saja."
"Oh begitu, kamu sudah menikah?" tanya Hulya untuk kesekian kalinya.
"Sudah, ya sama seperti dirimu, aku bercerai dengan istriku karena dia sangat tergila-gila pada Marchel Grayson, mantan suamimu." Hulya membulatkan matanya.