Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Pagi itu, begitu orang tua Gavin meninggalkan apartemen, suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara AC dan napas berat Rada yang berusaha menenangkan dirinya. Ia berdiri di depan pintu, menatap lantai marmer dingin, sementara Gavin yang berdiri di seberangnya hanya bisa mengembuskan napas panjang.
“Aku... minta maaf soal tadi,” ujar Gavin pelan, nada suaranya tenang tapi terdengar canggung. “Aku nggak nyangka Mama dan Papa bakal datang pagi-pagi gitu.”
Rada tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan wajah yang masih lelah dan sedikit pucat. Di dalam dirinya campur aduk, malu, kesal, dan cemas. Setelah beberapa detik, ia hanya berkata pelan,
“Aku pulang dulu.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dari apartemen Gavin dan menutup pintu di belakangnya. Begitu masuk ke unitnya sendiri yang hanya dipisahkan oleh satu dinding, Rada langsung bersandar di pintu dan menutup matanya. Kepalanya masih terasa berat, tapi yang jauh lebih berat adalah pikirannya.
"Kenapa aku bisa sebodoh itu… kenapa harus mabuk sampai begini? Dan kenapa pria itu harus ada di sana?"
Rada berjalan ke dapur, menuangkan segelas air, dan meminumnya sampai habis. Tapi bukan haus yang ia rasakan melainkan kegelisahan yang mulai tumbuh di dadanya. Ia tahu bagaimana dunia bisnis orang tuanya bekerja; reputasi adalah segalanya. Bila Ayah Gavin benar-benar menemui ayahnya, ayahnya pasti marah dan langsung menyetujui ide gila tentang pernikahan.
Rada meletakkan gelasnya di meja dengan sedikit keras, menatap bayangannya di kaca jendela.
"Tidak lagi…” gumamnya pelan, hampir seperti janji untuk dirinya sendiri. “Aku seharusnya nggak melibatkan diri lagi dengan pria.”
Namun di balik kata-katanya yang tegas, matanya mulai berkaca-kaca. Bayangan masa lalunya datang seperti badai, tunangannya yang berselingkuh dengan kakaknya sendiri, kehidupan impiannya ada di New York, dan dirinya harus meninggalkan segalanya hanya untuk kembali ke tanah air setelah kehancuran.
Teleponnya bergetar di meja. Nomor baru muncul di layar. Rada menatapnya lama, lalu menolak panggilan itu. Ia memblokir nomor tersebut karena ia tahu pasti El.
Di sisi lain dinding, Gavin berdiri di balkon, memegang secangkir kopi yang mulai mendingin. Ia menatap ke arah jendela apartemen Rada yang tertutup tirai.
“Aku cuma pengin bantu… tapi malah bikin dia makin susah.”
Matanya menyipit sedikit, menatap langit Jakarta yang mendung. Ia sudah menghubungi Alex, mengabarkan asistennya bahwa ia tidak akan datang ke kantor hari ini.
...☆...
Rada duduk di tepi ranjang, rambutnya masih berantakan, mata sedikit sembab karena kurang tidur. Di meja rias, masih ada segelas air putih dan beberapa bungkus vitamin yang belum sempat diminumnya. Ia baru saja selesai mandi, mencoba menenangkan diri sejak pagi, tapi perasaan di dadanya tetap bergejolak.
Suara dering telepon memecah keheningan kamar. Rada menatap layar ponsel di meja nama Ayah terpampang jelas.
Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau.
“Halo, Yah…” ucapnya, suaranya terdengar hati-hati.
“Rada,” suara berat itu terdengar di seberang, tegas dan berwibawa seperti biasa. “Kamu di apartemen, kan?”
“Iya, Yah. Kenapa?”
“Ayah dan Bunda akan ke Jakarta. Nanti kami langsung ke rumah sebentar, lalu ke tempatmu.”
Jantung Rada berdegup keras. Ia menggigit bibir bawah, mencoba tetap terdengar tenang.
"Ada… ada apa, Yah? Kenapa tiba-tiba pulang dari New York?”
Hening sejenak. Lalu suara Ayahnya terdengar lagi, kali ini dengan nada yang tidak bisa disembunyikan keseriusannya.
"Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Tentang kamu dan anak kedua dari keluarga Agler."
Tangan Rada langsung mengepal di atas paha. Ia menutup matanya, menahan napas agar nada suaranya tidak bergetar.
“Ayah… sudah bicara dengan Tuan Agler, ya?”
“Ya,” jawab ayahnya tanpa ragu. “Beliau orang yang sangat menghargai kehormatan keluarga. Dan Ayah rasa… Kita bisa bicarakan semuanya baik-baik.”
“Yah, tunggu—”
Tapi panggilan itu sudah berakhir sebelum Rada sempat menjelaskan. Layar ponselnya kembali gelap. Ia menatapnya lama, kemudian melempar ponsel itu ke atas kasur dan menunduk, memegangi kepala yang kembali pusing.
“Ya Tuhan…” gumamnya pelan, suaranya serak. “Ini benar-benar terjadi…”
Ia bangkit, berjalan mondar-mandir di kamar. Setiap langkahnya seperti menambah kepanikan. Bayangan pernikahan gagal kembali menghantui. Ia tidak ingin mengulang semuanya, apalagi terjebak dalam hubungan tanpa cinta, hanya demi menjaga nama keluarga.
"Aku nggak mau menikah,” ucapnya pelan pada dirinya sendiri, nadanya mulai bergetar. “Aku nggak mau, apa pun alasannya…”
Ia membuka tirai jendela lebar-lebar, membiarkan cahaya matahari masuk, tapi sinar siang itu justru terasa menyesakkan. Dari jendela, ia bisa melihat balkon unit sebelah. Apartemen Gavin.
"Duh...mana dua hari lagi harus kerja, aku seharusnya mengurus perpindahan kantor, bukan malah memikirkan pernikahan." Gumam Rada bertambah gelisah
Ia berdiri di depan jendela besar apartemennya, menatap langit Jakarta yang mulai dipenuhi awan kelabu. Udara siang terasa menekan, membuat dadanya sesak. Pikirannya berputar cepat, penuh kecemasan, amarah, dan ketakutan yang bercampur jadi satu.
Ia tahu ayahnya. Sekali sang ayah memutuskan sesuatu, tak ada ruang untuk penolakan. Dan jika benar Juan Agler sudah menyampaikan niat untuk menikahkan mereka demi menjaga kehormatan, maka segalanya bisa terjadi secepatnya.
“Tidak… aku nggak bisa biarkan itu terjadi begitu aja,” gumamnya pelan.
Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar, rambutnya sedikit berantakan, jemarinya memainkan ponsel di tangan. Dalam hatinya, ia masih menolak gagasan pernikahan itu. Tapi semakin ia berpikir keras, satu nama tiba-tiba muncul di kepalanya. El.
El, pria yang dulu pernah membuatnya percaya bahwa cinta bisa sederhana. Tapi kenyataannya, El-lah penyebab luka paling dalam dalam hidupnya. Setelah perselingkuhan itu, ia memblokir semua kontaknya, namun El terus mencoba menghubungi lewat nomor-nomor baru, mengirim pesan panjang.
Rada menghela napas berat. Tapi kemudian, sebuah ide berbahaya terlintas.
"Kalau dia masih mencoba menghubungiku sampai sejauh ini…” bisiknya pelan, “…mungkin dia juga akan marah kalau tahu aku menikah.”
Matanya menatap kosong ke arah balkon Gavin. Ide itu tumbuh semakin kuat. Jika ia menerima pernikahan ini, setidaknya secara formal, El pasti tahu. Dan itu akan menghancurkan egonya. Ia tahu El, pria itu tidak tahan kalah, apalagi bila ‘mantan tunangannya’ kini menjadi milik pria lain.
Tapi bukan hanya itu. Ada bagian kecil dalam diri Rada yang sadar, mungkin dengan cara ini, ia bisa menutup masa lalunya sepenuhnya. Membalas luka dengan luka. Membuat El benar-benar pergi dari hidupnya.
Ia memejamkan mata, menatap ponselnya, lalu bergumam,
"Mungkin… aku memang harus menerimanya.” Sebuah senyum getir muncul di wajahnya.
"Lihat saja, El. Aku akan menikah dengan pria yang lebih hebat darimu, yang keluarganya berada diatas Vanouven." Ujar Rada, senyum tipis mulai menghiasi wajah cantiknya.
Namun di dalam hatinya, suara lain berbisik: apakah ia siap menjalani permainan ini? Gavin bukan pria sembarangan, ia pendiam, misterius, dan terlihat seperti seseorang yang tidak mudah dibohongi.
...✯✯✯...