Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KIMCHI DAN TATAPAN HANGAT
Jae Hyun merasa sedikit bersalah karena Seo Han benar-benar ketakutan sekali. Setelah beberapa menit, akhirnya wahana berhenti.
"Sudah, aku tidak mau lagi naik," ucap Seo Han, langsung terduduk diam di depan pintu masuk wahana, napasnya masih terengah-engah dan kakinya terasa lemas.
"Hehehe, maaf ya. Aku tidak tahu kalau kamu benar-benar takut banget," kata Jae Hyun, nada suaranya menunjukkan penyesalan palsu.
"Kalian lapar tidak? Yuk, aku traktir makan di tempat ibu aku jualan, yuk!" tawar Seo Ryeon dengan mata berbinar.
"Bentar, aku mau napas dulu," ucap Seo Han yang mulai berdiri, perasaan gugupnya karena sentuhan tangan Seo Ryeon masih terasa aneh di kulitnya.
Mereka bertiga berjalan perlahan ke arah gerai ibu Seo Ryeon. Meskipun sudah agak jauh dari keramaian utama, telinga Seo Han masih menangkap sisa dentuman musik festival.
"Serahkan kamera itu ke aku! Kamu tadi merekam aku, kan? Jujur!" kata Seo Han berusaha mengambil kameranya, matanya menyipit penuh kecurigaan.
"Tidak, aku tidak merekam tadi," jawab Jae Hyun sambil berjalan agak cepat, lalu berlari.
"Tidak! Pasti kamu bohong! Aku lihat kilatnya!" ucap Seo Han mengejar Jae Hyun.
"Yaaa! Jangan lari! Serahkan kameranya!"
"Tidak mau! Kejar aku kalau bisa!" ucap Jae Hyun sambil mengeluarkan lidahnya, berusaha mengejek Seo Han.
Seo Ryeon di belakang tertawa dengan suara renyah sambil berjalan. "Yaa! Tunggu aku!" ucapnya, lalu berlari.
Mereka bertiga tiba di depan gerai. Bau kimchi jjigae yang asam pedas dan kuah kaldu odeng langsung menyergap hidung Seo Han, memicu rasa lapar yang tertunda.
"Ibu, aku datang!" ucap Seo Ryeon sambil memeluk ibunya.
"Hmm, katanya mau bantu ibu malah keluyuran. Siapa dia?" ucap ibu Seo Ryeon sambil tersenyum geli melihat kegaduhan mereka.
"Aahh! Mereka teman-temanku, Bu."
"Annyeonghaseyo, Lee Seo Han," katanya memperkenalkan diri.
"Annyeonghaseyo, Kim Jae Hyun," sapa Jae Hyun.
"Kalian sudah makan? Ayo duduk, Ibu akan kasih gratis buat kalian," kata ibunya ramah. Tangannya yang keriput dan hangat menunjuk bangku plastik kecil.
"Wah, terima kasih banyak, Bu!" seru Jae Hyun dengan semangat, langsung duduk. Seo Han, dengan hati-hati, mendudukkan boneka kelinci besar di kursi sebelahnya agar tidak kotor, lalu mengangguk sopan.
Ibu Seo Ryeon tersenyum hangat melihat mereka. "Kalian teman baik Seo Ryeon, ya? Senang sekali dia punya teman baik seperti kalian."
Sambil menyiapkan makanan, ibu itu melirik Seo Han yang sedang menatap putrinya dengan tatapan lembut dan hati-hati. Seo Ryeon yang sedang membantu ibunya menata piring, tanpa sengaja menangkap pandangan itu dan langsung menunduk, pipinya memerah, seperti terkejut oleh sengatan listrik kecil.
"Bu, boleh minta kimchi tambah?" pinta Jae Hyun yang sudah lapar, suaranya penuh harapan.
"Boleh saja, Nak. Seo Ryeon, ambilkan kimchi untuk temanmu."
Saat Seo Ryeon berbalik untuk mengambil kimchi, tanpa sengaja sikutnya menyenggol gelas berisi air. Gelas itu oleng, bergerak lambat ke tepi meja. Seo Han dengan refleks cepat menangkap gelas itu sebelum tumpah.
"Maaf!" kata Seo Ryeon.
"Tidak apa-apa," jawab Seo Han sambil tersenyum meyakinkan. "Refleks dari kerja paruh waktu di warung makan."
Mata ibu Seo Ryeon berbinar melihat interaksi mereka. "Kamu kerja paruh waktu di warung makan?"
"Iya, Bu, di warungnya ibu Jae Hyun. Sejak SMA," jawab Seo Han sambil menerima nasi panas yang diberikan Seo Ryeon. Uap nasi yang mengepul hangat menyentuh wajah Seo Han. Boneka kelinci itu kini berdiri tegak, seolah ikut mengawasi Seo Han yang makan.
"Anak yang rajin," puji ibu itu, nada suaranya berubah menjadi penuh simpati. "Orang tuamu pasti bangga."
"Aku tinggal sendiri, Bu," jawab Seo Han, berusaha bersikap biasa saja, meski ada sedikit getaran dalam suaranya.
"Dia sangat rajin, Bu. Tidak pernah absen kerja," sambung Jae Hyun sambil mengunyah makanan.
"Kamu tidak apa-apa, kan?" ucap Seo Ryeon pelan ke Seo Han yang sedang makan, matanya memancarkan rasa khawatir yang tulus.
"Tidak apa-apa. Lagian itu sudah lama. Aku sudah terbiasa, jadi jangan khawatir."
Ibu Seo Ryeon menghampirinya membawa dua gelas air. "Ibu minta maaf ya, Ibu tidak tahu. Dilanjutkan makannya. Kasih kenyang-kenyang. Kalau kurang, bisa tambah."
"Ah, tidak apa-apa. Terima kasih atas makanan gratis hari ini," ucap Seo Han.
Mereka berdua melanjutkan makan.
Meskipun nasi panas dan tteokbokki yang pedas itu terasa akrab di lidahnya, bagi Seo Han, sensasi yang paling hangat datang dari boneka kelinci di sebelahnya. Di tengah suara kunyahan Jae Hyun dan obrolan Seo Ryeon dengan ibunya, ia diam-diam memegang telapak tangannya yang tadi disentuh Seo Ryeon. Boneka itu, gerai itu, dan senyum Seo Ryeon adalah pengingat baru yang kuat:
Ia mungkin sudah hidup sendiri, tetapi ia tidak lagi sendirian. Ia punya Jae Hyun yang selalu membuatnya tertawa, dan kini, ia punya alasan baru yang hangat untuk benar-benar menikmati hidupnya sebagai Lee Seo Han.