"Heh, anak sialan! Pergi kamu dari
rumah ini. Keluar!! Gak sudi aku
nampungmu lagi!!" usir Bu Elanor.
membuat Alvin yang sedang melamun
segera terperanjat.
"Berhenti bicara yang tidak-tidak
Ela!!" hardik pak Rohman.
"Kamu pilih aku dan anak anak yang
keluar apa anak sialanmu ini yang keluar
pak!?" teriak Bu Elanor membuat pak Rohman terkejut.
Beliau tak pernah berfikir akan
dihadapkan pada situasi se rumit ini.
"Alvin yang akan keluar pak buk"
ucap Alvin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fantastic World Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1 Masuk Ruang BK
"Khususnya bagi siswa penerima
beasiswa, sebagai penerima beasiswa di
sekolah ini, saya harap kalian bisa
memanfaatkannya dengan baik, belajar
dengan sungguh-sungguh, mendapatkan
nilai yang tinggi, bersedia untuk
mengikuti lomba dan wajib menjadi juara
demi mengharumkan nama sekolah, agar
sekolah tidak sia-sia memberikan
pendidikan gratis untuk kalian" sepenggal
kalimat pidato penyambutan siswa baru
yang di lontarkan oleh kepala sekolah.
"Cuk, gendeng" umpat Alvin, yang
saat ini berada di barisan tengah para
siswa baru.
Beberapa Temannya pun hanya menoleh dan mencibirnya, sedikit umpatan yang keluar dari mulut Alvin nyatanya membuat beberapa teman seangkatannya merasa tak nyaman.
"Kenapa bro, gak suka? Kalo emang
pinter dapet beasiswa sih pantes, gak bakal
protes. Tapi kalau dapet beasiswa cuma
karena miskin dan bodoh yah cuma jadi
beban" sahut Alex, siswa yang berdiri
selisih satu siswa dengan Alvin.
Mendengar hal itu, Alvin pun
menoleh dan menatap tajam pada Alex.
"Kenapa? Gak suka aku ngomongin
fakta?" ucap Alex dengan senyum
mengejek, memancing emosi Alvin.
Alvin masih bergeming, ia terus
meyakinkan dirinya untuk tak membuat
masalah di hari pertamanya. Sebagai siswa
penerima beasiswa, tentu ia harus
menjaga sikap, mengingat banyaknya
peraturan yang harus ia patuhi sebelum
masuk ke sekolah ini.
" Yah cemen... gerutu sendiri aja bisanya. Dasar beban Sekolah!" Pancing Alex Lagi.
Tanpa bicara Alvin pun segera
mendekati Alex dan melayangkan sebuah
pukulan ke wajah Alex. Membuat para
SiSwa perempuan refleks berteriak karena
terkejut.
Alex pun tak tinggal diam, ia yang
memang menyukai perkelahian tentu
menyambut bogem yang di layangkan oleh
Alvin dengan senang hati. Dengan
senyum mengejek Alex terus menangkis
pukulan Alvin yang terasa semakin
membabi buta.
Sedikit kekaguman timbul di benak
Alex, sejauh ini belum ada yang berani
memukul dirinya terlebih dahulu, terlebih
saat ini dirinya hampir babak belur,
sedangkan Alvin hanya terlihat acak-
acakan.
" Aku Memang Miskin beasiswa memang membiayaiku bersekolah disini, tapi tahukah kamu apa yang sedang ku
usahakan? Jika tak tahu apapun sebaiknya
kamu diam. Anak sepertimu tak ubahnya
seperti pengemis, yang hanya bisa
meminta uang saku pada orang tua!" ujar
Alvin setelah puas memukuli Alex, yang
masih mengusap ujung bibirnya yang
berdarah.
"Hei kalian, berhenti!! Ikut saya ke
ruang BK!!" perintah seorang guru, seraya
meraih Alvin dan menyeretnya untuk
dibawa ke ruang BK. Dengan diikuti oleh
Alex yang hanya bisa tersenyum masam di
belakangnya.
la tak menyangka jika hari
pertamanya sekolah akan se seru ini.
Wajah teman-temannya yang lain yang
seperti komputer itu, hanya memberikan
ekspresi datar saat awal mereka bertemu.
Berbeda dengan Alvin, yang meski
tampak acuh tapi terlihat lebih kritis.
Hal yang membuat Alex tertarik
hingga membuat dirinya dan Alvin kini
berada di sebuah ruang BK, ruangan yang
pertama kali mereka masuki di hari
pertama masuk sekolah. Bukan kelas
untuk belajar, melainkan ruang BK.
"Apa yang membuat kalian bisa-
bisanya saling pukul di tengah upacara
yang sedang berlangsung?!" tanya Bu Yuli
dengan tegas.
Alex dan Alvin terdiam, keduanya
tak ada yang menjawab, membuat Bu Yuli
geram dan mengulang pertanyaannya
hingga beberapa kali.
"Alvin hanya membela diri Bu, saya
yang memancingnya" ucap Alex
kemudian, meski ia nakal, tapi pantang
baginya untuk lari dari tanggung jawab.
"Kami hanya bercanda Bu" sahut
Alvin yang tak ingin masalah berlanjut.
Sejujurnya ia sedikit terkejut dengan kejujuran Alex.
"Jadi mana yang benar ini, kalian itu
siswa baru, bisa-bisanya sudah berulah di
hari pertama! Apalagi kamu anak
beasiswa, ada point yang harus kamu jaga
agar beasiswamu tak dicabut!" ujar Bu Yuli
dengan tegas, seraya menatap Alvin
lebih dalam.
"Kami memang hanya bercanda Bu,
maaf jika kelewatan" ujar Alvin. Meski
dalam hati ia ingin memaki diri karena
harus berbohong.
"Benar begitu Alex?" tanya Bu Yuli kini
beralih menatap Alex.
"Hehe iya Bu" jawab Alex seraya
menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Tentu saja ia lebih memilih mendukung
Alvin, biar bagaimanapun Alex juga tak
ingin masalah ini berlanjut.
"Kamu ini, kalau sampai papamu sampai tau, kamu pasti lebih tau kan apa yang bakal terjadi!" ujar Bu Yuli memberi sedikit
penekanan agar Alex sedikit takut. Namun
bukannya takut Alex malah cengengesan.
"Yah jangan sampai papa tahu dong
Bu" jawab Alex masih bisa tersenyum.
Bu Yuli memang mengenal Alex,
lagian siapa juga yang tak mengenali putra
pemilik sekolah itu, hmmm kecuali
Alvin sepertinya. Karena hanya dialah
yang berani mencari gara-gara dengan
Alex.
"Ya sudah kalau kalian sepakat jika
yang tadi itu hanya sebuah candaan, saya
harap hal itu tak akan terjadi lagi, saya
juga tak akan mengurangi point kalian
untuk kali ini, jadi saya minta kalian harus
saling memaafkan dan berjanji tidak
mengulanginya lagi, mengerti!" perintah
Bu Yuli membuat Alex dan Alvin mau
tidak mau akhirnya bersalaman. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Membuat
Bu Yuli hanya bisa menggelengkan kepalanya heran.
"Sudah kalian langsung kembali ke
kelas masing-masing aja, inget jangan buat
onar!" pesan Bu Yuli.
"Baik Bu" jawab Alvin dan Alex
hampir berbarengan.
SMA SANG JUARA sekolah dengan
image pencetak lulusan terbaik, lulusan
dengan presentase tertinggi yang masuk ke
universitas terbaik di Indonesia maupun
di luar negeri.
Sekolah yang di inginkan oleh banyak
siswa kaya dan pintar untuk dapat
berkesempatan bersekolah disana, bagi
siswa yang benar-benar pintar memang
menjadi hal yang benar, namun bagi
mereka yang hanya mengandalkan
kekayaan orang tuanya, masuk ke SMA
SANG JUARA adalah tuntutan agar bisa di banggakan oleh orangtuanya.
Alvin, salah satu penerima
beasiswa berprestasi, yang berasal dari
kampung yang berjarak sekitar satu
setengah jam dari rumahnya, jika
ditempuh dengan jalan kaki.
Ya, ditengah elitnya para siswa di SMA
SANG JUARA, Alvin adalah salah satu
siswa kere dengan dasi yang memiliki
tanda garis 3, tanda yang menunjukkan
bahwa dirinya adalah siswa penerima
beasiswa.
Hal yang membuat siswa lain yang
melihatnya akan tahu jika dirinya adalah
penerima beasiswa. Sedikit lucu, namun
itulah faktanya.
"Hei, siswa beasiswa! Masuk kelas
mana kamu?" sapa Alex yang masih dengan
wajah songongnya, ketika keluar dari
ruang BK.
Tanpa menjawab, Alvin pun hanya
menunjukkan tanda pengenalnya, X-C.
"Wah kelas kita sebelahan, sayang
banget kita gak sekelas. Kalau sekelas kan
bisa punya temen bolos aku, eh tapi siswa
beasiswa kayak kamu mana mungkin bisa
bolos ya" cibir Alex yang segera berjalan
mendahului Alvin dengan menyenggol
bahunya sedikit keras.
Membuat Alvin mengusap lengan
dan hanya menggelengkan kepalanya.
Tanpa berniat membalas dan
meredam emosinya sendiri, Alvin pun
segera berjalan mnelewati koridor untuk
segera menuju kelasnya.
Begitu masuk kedalam kelasnya,
Alvin pun baru menyadari jika di kelas
itu hanya dirinyalah yang memakai dasi
dengan tanda 3 garis, la pun segera
memilih bangku paling pojok belakang.
Tak lama kemudian seorang siswa
laki-laki juga duduk disebelahnya.
" Gila, cuma kita berdua memakai dasi dengan tanda 3 garis yah, yang lain hanya
satu garis, itu berarti hanya kita berdua
yang dapat beasiswa di kelas ini. Pantas
saja mereka tak menghiraukan saat ku
sapa tadi, dasar orang kaya!" gurutu siswa
tersebut, membuat Alvin
mengernyitkan dahi.
Alvin berfikir dirinya sudah siswa
terakhir yang masuk ke kelas, nyatanya
ada yang lebih terlambat lagi. Siapa lagi
kalau teman baru yang baru saja
meletakkan bokongnya di bangku sebelah
Alvin.
"Eh kita belum kenalan ya, aku
Mingyu bukan Minggu, panggil aja Ming
biar gampang" ujar Mingyu yang ditatap
dengan heran oleh Alvin.
"Alvin" jawab Alvin acuh, meski
ia sedikit heran dengan nama laki-laki
bermata sipit di sebelahnya.
"Gak usah heran, aku memang keturunan cina, dan gak usah heran juga
kalau aku juga murid beasiswa, karena gak
semua keturunan cina itu kaya. Ya seperti
aku ini, usaha papa sedang merosot
padahal sebelumnya sukses, makanya
masuk sini ngajuin beasiswa, untungnya
aku cukup pintar jadi masuk deh" ujar
Mingyu nmemberi penjelasan dengan
cukup berisik. (Tidak bermaksud SARA
ya)
Sementara Alvin hanya
menanggapinya dengan anggukan kepala.
la tak ingin tahu, tapi mau tak mau ia pun
mendengar dengan seksama sebab Mingyu
berbicara dengan suara yang cukup keras.
"Ah gak asik kamu Vin" ucap Mingyu
yang tak mendapat respon apapun dari
Alvin.
"Hey, sttt jangan berisik ada guru tuh"
ucap seorang gadis yang duduk di dekat
mereka, seraya meletakkan jari telunjuk ke
ujung bibirnya, sambil menoleh ke arah
Alvin dan Mingyu.
"Oke" ucap Mingyu tanpa bersuara.
Sementara Alvin tampak tersenyum
sebagai respon pada gadis yang saat itu
langsung menyita perhatiannya.
Sekolah elit memang sedikit berbeda,
MOS yang mereka jalani hanya 3 hari
sebelumnya, para guru bilang jika MOS
yang terlalu kurang penting, tidaklah baik
untuk waktu belajar mereka.
Guru yang masuk pun hanya memberi
sambutan seadanya, mengabsen satu
persatu nama siswa untuk berkenalan,
serta mulai membuat struktur organisasi
kelas.
"Itu yang duduk paling pojok
belakang, murid beasiswa siapa tadi
namanya? Alvin?" ujar Bu Desi dengan
suara sedikit lebih keras. Membuat
Alvin membuyarkan fokusnya yang
sedang menatap gadis di depannya itu.
"Iya bu, ada apa ya?" tanya Alvin dengan wajah polosnya.
"Maju sini kamu!" perintah Bu Desi
membuat Alvin segera maju ke depan
kelas.
"Kamu yang tadi berantem waktu
upacara ya?" tanya Bu Desi dengan tatapan
tajam.
"Iya Bu" jawab Alvin datar.
"Baik mulai hari ini kamu jadi ketua
kelas. Kalian setuju anak-anak?" tanya Bu
Desi pada seisi kelas, keputusan dan
pertanyaan yang membuat Alvin
terkejut.
Seisi kelas pun menatap pada Alvin
sambil mengangguk setuju.
"Wah bisa beneran kayak robot gini
mereka"batin Alvin.
Entah apa yang membuat seisi kelas
tersebut setuju dengan ide Bu Desi, namun
mau takmau Alvin harus menerima jabatan itu.
"Baiklah, Untuk selanjutnya bisa
kamu bentuk sendiri, susunan struktur
jabatan di kelas ini bersama teman-
temanmu yang lain. Saya pasrahkan
mereka padamu!" ujar Bu Desi.
"Boleh saya meminta siswa
perempuan yang duduk di depan saya itu
untuk menjadi sekretaris saya Bu?" tanya
Alvin membuat Bu Desi menoleh pada
tempat duduk Bintang tadi, dan
memperhatikan siapa gerangan yang
duduk di depan Bintang.