NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:611
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1

Kehidupan yang kita alami itu tidak akan selamanya indah. Ada alur-alur yang telah Tuhan ciptakan di dalamnya. Tercantum di sebuah 'kitab' yang dinamakan takdir. Kadang-kadang tersimpan kisah pahit dan manis yang datang silih berganti. Tetapi sayang masanya kisah pahit juga seringkali berlangsung lama dan terasa menyakitkan.

Remaja berumur enam belas tahun itu tengah terisak dalam. Meratapi nasib kedua orang tuanya yang sekarang harus berada di bawah batu nisan. Hujan yang turun seolah-olah menambah kepedihannya. Sama seperti dirinya yang tidak bisa berhenti menangis. Revan masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Baru saja kemarin mereka bersama, tapi kini Tuhan telah membawa orang tuanya pergi.

Andrea, tantenya hanya bisa mengelus punggung keponakannya lembut. Di usia mereka yang sekarang, Revan dan Devan harus hidup tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Andrea juga tidak bisa melakukan atau mengatakan apapun untuk menenangkan Revan yang masih terisak. Dia tahu walau seringkali Revan terlihat kuat di luar, nyatanya dialah yang paling rapuh.

Devan sang adik mendekati kakak dan tantenya. Hatinya sakit melihat sang kakak kembar yang masih terisak. Ini adalah pertama kalinya Devan melihat Revan menangis begini dahsyat. Devan tidak pandai merangkai kata, yang dia lakukan hanyalah membawa Revan ke dalam pelukannya. Revan terbelalak, Devan kini sedang memeluknya. Suatu hal yang terkadang susah diminta dari Devan jika Revan tidak memaksa. Devan mengusap-ngusap punggung kakaknya lembut. Hingga Devan berkata dengan pelan.

"Please Rev, gue gak mau lihat lo kayak gini. Rasanya sakit".

"Tapi mama dan papa pergi Dev, apa mereka gak bisa pikir kalau kita gak akan mampu bertahan tanpa mereka".

Devan menggeleng, Revan memang keras kepala.

"Kita bisa Rev, gue yakin kita bisa karena lo masih punya gue. Semuanya akan bisa kita lewatin asal kita selalu berdua."

Revan menatap lurus ke mata sang adik. Disana tersimpan keyakinan luar biasa dan tekad yang tidak goyah. Dia mengakuinya, Devan adalah orang yang paling tegar bukan dirinya. Di saat seharusnya dia yang menenangkannya namun Devan melakukan yang sebaliknya. Revan perlahan-lahan mulai tenang.

"Maafin gue Dev, disaat seperti ini harusnya gue kuat dan bukan malah bersikap seperti anak kecil kayak gini."

"Lo gak salah Rev, gue juga sedih mama dan papa udah pergi. Tapi memang mungkin ini udah takdir dari Tuhan dan yang terbaik buat mereka. Dan dari sini kita bisa belajar untuk mulai mandiri tanpa kehadiran mama dan juga papa."

Walau ada sedikit nada sesak disana Devan tidak ingin menunjukkannya.

"Gue janji bakal jadi pengganti mereka buat lo Dev. Gue akan lakukan hal apapun untuk melindungi lo Dev. Lo janji kan gak akan ninggalin gue kayak mama dan papa?"

"Gue bakal ninggalin lo lah." Ada nada candaan dari Devan.

Sayang Revan menganggapnya serius. "Maksud lo Rev?"

Devan menyeringai. "Ya elah, iyakali pas gue nanti punya istri gue tidur sama lo dan tinggal sama lo. Merinding juga gue ngebayanginnya. Ngeri ah".

"Gue serius Devano!" Revan mendengus sebal ke arah adiknya.

Devan tersenyum lembut, tekadang Revan bisa menjadi lebih kekanakan darinya. "Gue janji kak. Gue gak kemana-mana sampai kita punya anak cucu nanti. Gue janji Kak."

Mendengar itu, hati Revan menghangat. Meski kesedihannya belum menghilang namun Devan bisa membuatnya kembali tersenyum. Setiap kali kesedihan datang, Devan adalah orang yang mampu menghiburnya. Revan tidak akan bisa membayangkan seperti apa kehidupannya nanti jika dia harus kehilangan Devan juga.

Andrea hanya bisa tersenyum menyaksikan perbincangan diantara kakak beradik kembar tersebut. Revan sudah tidak lagi menangis dan berganti untuk tersenyum atau lebih tepatnya menjahili sang adik. Hari sudah semakin larut, Andrea memutuskan untuk pamit. Namun sebelum itu dia menawarkan kepada Revan dan Devan agar ikut untuk tinggal bersama di rumahnya. Tetapi dengan halus Revan menolak tawaran tersebut. Tantenya itu sudah memiliki keluarga, dia tidak mau harus membuat bebannya bertambah. Andrea yang tahu Revan itu tidak bisa dibantah hanya bisa pasrah. Namun dia memberi petuah kepada anak-anak itu jika terjadi sesuatu yang sulit jangan sungkan untuk menghubunginya.

.

.

.

.

~Three Month Later~

Alarm terdengar nyaring dari sebuah kamar yang bernuansa babyblue. Saking nyaringnya suara alarm tersebut sampai membuat seseorang yang tengah berkutat di dapur geleng-geleng kepala. Dia melepas apron dan melangkah cepat ke atas untuk menemui pelaku yang memasang alarm tetapi tidak kunjung bangun.

Dibukanya pintu kamar yang tidak pernah terkunci tersebut. Revan hanya bisa memutar bola matanya kala melihat kembarannya masih tertidur pulas dibalik selimutnya. Revan maju perlahan dan mematikan alarm yang suaranya memekakan telinganya dari tadi. Revan menghembuskan nafasnya kasar sebelum dengan cepat menarik selimut yang masih digunakan Devan.

Devan mengerjap perlahan karena merasakan kehangatan dari selimut kesayangannya tiba-tiba menguap. Dia menatap Revan yang berdiri sekilas dan hanya ber'oh ria. Tapi detik selanjutnya dia segera bangun dan memberikan cengirannya karena menangkap Revan yang sebentar lagi akan memulai ceramahnya.

"Gue bangun Rev, gue bangun dan mau mandi. Jadi tausiyah lo tunda aja dulu oke." Devan bergegas bangun meraih handuk dan pergi ke kamar mandi.

Revan menggeleng. "Lo itu harus berapa kali dibilangin sih kalau main game jangan sampe malem-malem."

"Abis nanggung kemaren level gue udh mau max." Devan menjawab dari arah kamar mandi.

Revan merapikan kasur Devan yang tampak berantakan. "Bodo amat max atau apalah, lo tahu kan kalau badan lo gak tahan sama angin malem."

"Kuat kok denger angin mamiri aja gue seneng." Devan masih saja menjawab.

Revan memutar bola matanya malas. "Itu lagu bego. Lo kalau dibilangin tuh gak usah bantah apa."

"Gue gak bantah Rev gue cuma jawab." Devan juga sebenarnya adalah orang yang keras kepala.

Revan kini agak meninggikan suaranya. "Jawab aja terus! Diem bisa gak sih kalau dibilangin tuh. Sekali lagi lo ketahuan main game sampai tengah malem, gue sita Hp ma PSP lo."

Devan keluar dari kamar mandi dan menuju lemari pakaiannya tanpa menjawab setiap perkataan Revan.

"Lah kok diem, jawab kek. Punya mulut kan lo?" Revan kesal karena sekarang Devan mendiamkannya.

Devan mendengus sebal, tadi kakaknya itu bilang dia harus diam sekarang giliran dirinya diam, Revan masih juga marah dan mengomel. Apa sih yang diinginkan kakak super protektifnya itu. "Oke. Kak Revan gue gak akan main game sampe tengah malem lagi. Gue akan tidur tepat pada jam 9 malem setelah sebelumnya minum susu dan gosok gigi dulu."

"Nah tinggal jawab gitu dari tadi apa susahnya. Gue tunggu di bawah ya." Revan beranjak meninggalkan Devan.

Devan mendumel sendiri mendengar jawaban Revan. Dia mencebikkan bibirnya ke depan dan menggembungkan pipinya. Itu adalah tanda kalau Devan sedang sebal. Sayang hal itu malah tertangkap oleh Revan. Devan yang merajuk terlihat menggemaskan baginya. Devan itu meski kembarannya dia lebih memiliki wajah yang manis dan imut. Dengan jahil sebelum benar-benar beranjak dari kamar Devan, Revan mencuri satu ciuman di pipi Devan.

CHU

"BINASA LO HOMO KAMPRET!" Devan langsung melemparkan benda apapun ke arah Revan. Tapi sayang langkah Revan itu lebih cepat untuk menyelamatkan diri.

Devan menuruni anak tangga dengan wajah yang masih saja cemberut. Pokoknya dia harus mencari tahu apakah kembarannya itu belok atau tidak. Jika sampai belok, dirinya sendiri akan bertaubat dan memohon pengampunan sebesar mungkin pada Tuhan kemudian berdoa agar Revan segera diberikan hidayah, kalau bisa sama jodohnya sekalian. Jadi yang akan diciumnya setiap hari adalah jodohnya bukan dirinya.

Revan hanya tertawa renyah menyaksikan raut wajah adiknya yang masih saja kusut. Menggoda Devan setiap pagi sudah menjadi kebiasaannya. Devan mengambil nasi goreng yang sudah dimasak oleh Revan ke atas piringnya. Dia melahapnya dengan perlahan. Rasanya cukup memuaskan. Dulu saat pertama kali Revan memasak, semua yang dimasaknya terasa begitu nano-nano bahkan rasanya waktu itu Devan hampir keracunan dan membuat Revan panik hingga menangis. Tapi makin kesini sepertinya Revan sudah terbiasa, dia tidak mau Devan mengalaminya lagi. Devan tahu, jika seorang Revan sudah berjanji dia tidak akan pernah mengingkarinya. Lalu apakah dirinya bisa menjadi seperti Revan untuk tidak mengingkari janjinya?

Revan membenarkan piring-piring bekas sarapan dirinya dan Devan. Dia masih tersenyum puas karena berhasil mengerjai Devan lagi. Dirinya tersenyum melihat wajah Devan yang masih saja merajuk. Tidak sadarkah bahwa Revan kini tengah menahan diri untuk tidak mencuri satu ciuman lagi di pipi sang adik. Dilihati seperti itu oleh Revan, membuat Devan bergidik. Dia mendorong jauh-jauh tubuh Revan darinya.

"Mikir apaaan lo sampe liatin gue kayak gituh?" Tanya Devan dengan judes.

Revan menyeringai. "Mikirin penawaran lo waktu tiga bulan lalu, yang bilang walau kita punya istri nanti kita tetep tidur bareng."

"Najis lo, sana jauh-jauh. Lagian gue gak bikin penawaran kayak gitu." Devan kembali menggembungkan pipinya sebal.

Revan gemas sendiri melihat tingkah Devan. "Gue cium lagi ya, abis lo imut kalau gembungin pipi."

Devan segera memajukan langkahnya cepat ke depan menuju parkiran motor. Revan tersenyum menang. Tapi dia langsung menyadari kalau Devan belum memakai jaketnya "Eh tunggu Dev, pake dulu jaketnya."

"Rev, cuaca terik kok gue harus pake jaket. Lo aja pake kemeja tipis." Devan menatap teriknya matahari.

Revan menggeleng. "Tetep pake. Lo dibonceng kena angin."

"Elah gak ada angin, cuaca panas kayak padang pasir gini." Devan masih saja berkeras.

Revan menyodorkan jaket ke Devan. "Pake atau gue tinggal."

Nada bicara Revan terdengar tegas. Devan tahu jika nada bicara Revan seperti itu artinya dia memang tidak mau dibantah. Mengalihkan dengan mencoba menaiki bus pun percuma karena itu hanya akan membuatnya terlambat. Tanpa sanggahan apa-apa lagi, Devan mengenakan jaketnya dan menaiki motor yang akan dikemudikan oleh Revan. Setelah memastikan Devan mengenakan jaket dan duduk dengan benar, Revan mulai melajukan sepeda motornya menuju sekolah.

Devan bernafas lega ketika sudah sampai di kelasnya. Dia merasa beruntung karena dirinya berada di kelas IPS bukan di kelas IPA seperti Revan. Tidak bisa dibayangkan jika mereka satu kelas, Devan yakin Revan akan mencegah ini itu untuk dirinya. Dari dulu sebelum kedua orang tua mereka meninggal, Revan memang sudah protektif padanya dan sekarang kadar ke protektifnya Revan terhadap Devan tambah berkali-kali lipat. Tidak heran juga karena memang kondisi tubuhnya lebih rentan diserang sakit dibandingkan Revan.

Devan melepaskan jaketnya dan menyampirkannya di kursi. Sungguh dari tadi dia sudah kepanasan sendiri. Terima kasih kepada Revan karena kembarannya itu harus memastikan bahwa Devan mengenakan jaketnya hingga ke dalam kelas. Devan mendelik kesal pada teman sebangkunya Ardli. Teman seper-TK-annya itu puas menyaksikan Devan yang mendumel sendiri karena harus memakai jaket di tengah cuaca yang panas.

Devan melotot ke arah Ardli tanda bahwa dia sedang marah. Namun bukannya takut tawa Ardli malah semakin pecah. Pelototan Devan itu seperti pelototan balita berumur tiga tahun di matanya. Merasa tidak berhasil membuat Ardli takut, Devan memberikan usapan sayang padanya menggunakan buku ekonomi yang tebalnya tiga ratus halaman. Ardli menarik ucapannya kembali, karena menurutnya balita berumur tiga tahun tidak akan melakukan kekerasan seperti yang dilakukan Devan.

Sementara itu Revan sudah tiba di kelasnya. Semua wanita di kelas memandang Revan takjub. Bagaimana tidak, Revan adalah pujaan semua siswi di satu sekolah. Revan duduk dan mengeluarkan bukunya. Hal yang dilakukannya adalah membaca. Para siswi disana tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari sang 'Prince of High School'.

Namun tontonan asyik mereka dipotong oleh kehadiran Kian dan Raka, teman-teman Revan. Kian dan Raka membuat para siswi disana mendengus, karena pasti Revan malah akan sibuk dengan mereka berdua atau lebih tepatnya Revan dipaksa untuk dibuat sibuk.

"Rev, gue liat PR matematika dong, gue lupa ngerjain." Raka hanya memberikan cengirannya.

Revan hanya membalas singkat. "Nggak bisa."

"Idih pelit amat sih lo, ini kan baru pertama kalinya gue liat." Raka tetap memohon.

"Kerjain sendiri." Jawab Revan acuh.

"Nah kan si Raka tuh permintaannya mustahil, gue aja nih. Gue lupa bawa buku catetan, gue pinjem punya lo yah biar gue gak dimarahin Bu Sheila." Kali ini Kian yang bicara.

Revan mendengus. "Lo itu bukan lupa tapi kebiasaan. Artinya gak bisa."

"Gue bakal beliin lo makan siang deh kalau lo pinjemin PR lo." Raka membujuk.

Kian tidak mau kalah. "Gue juga bakal beliin minumannya, kan makanannya udah dari Raka."

"Lah kok lo lebih murah dari gue Yan? Gak adil." Raka tidak menerima tawaran Kian.

Tidak mau mendengarkan perdebatan konyol diantara dua sahabat anehnya itu, Revan kembali memfokuskan diri pada bacaannya. Tetapi fokusnya hanya bertahan beberapa saat karena dia melihat seseorang yang sangat dikenalinya berlari dengan terengah menghampirinya, jangan lupakan wajahnya yang pucat. Revan segera menutup buku bacaannya, menyingkirkan Kian dan Raka agar Devan bisa duduk.

"Lo kenapa Dev, sampe lari kayak gitu? Ntar kalau lo kecapekan gimana?" Tanya Revan dengan sangat lembut.

Devan menetralkan nafasnya sejenak. "Buku catetan gue ketinggalan Rev, Bu Sheila pasti ngehukum gue."

"Tenang lo gak akan kena hukum, lo ambil buku catetan gue aja oke. Tenang gue yang akan mastiin lo gak kena hukumannya." Revan menenangkan kembarannya tersebut.

Devan menatap Revan khawatir. "Tapi lo gimana?"

"Gue gak apa-apa asal lo gak apa-apa oke." Revan kembali menenangkannya.

Devan memainkan jemarinya. "Sama Kak Rev, gue lupa ngerjain matematika. Soalnya kan kebetulan sama."

"Nih ambil, tapi lain kali lo harus bilang sama gue oke kalau lo belum ngerjain." Revan menyodorkan buku matematikanya juga.

Devan segera mengambil bukunya dan memeluk Revan sayang. "Gue sayang lo Kak Revan."

Hati Revan kembali menghangat dengan perlakuan Devan kepadanya. Jarang sekali Devan terang-terangan kepadanya. Kian dan Raka hanya saling bertukar pandang satu sama lain. Mereka harus membujuk dengan penawaran makan siang plus minuman sementara Devan tanpa penawaran apapun langsung diberi tanpa banyak pertanyaan. Dan sekarang mereka melihat Revan tengah tersenyum. Seorang Revano tersenyum dan tentu siswi disana kembali histeris melihatnya.

Revan yang sadar dipandangi seperti itu langsung mengembalikan ekspresinya pada yang biasa. Dia juga tidak mempedulikan Kian dan Raka yang masih sibuk mengamatinya, walaupun ekspresinya sudah berubah dingin kembali. Tidak perlu menghitung sampai satu, dua, tiga kedua makhluk itu langsung memprotes perlakuan Revan kepada mereka. Tetapi Revan hanya menjawab seadanya saja. Jawabannya adalah jika yang meminta adalah Devan maka Revan tidak akan segan untuk memberikannya.

Tidak terasa bel tanda istirahat sudah berbunyi. Kian, Raka dan Revan mereka berjalan menuju kantin sekolah. Revan duduk di meja kosong, meja yang biasa ditempati oleh mereka. Dia hanya duduk menunggu selagi Kian dan Raka sedang memesan. Dia melihat sang adik Devan juga tengah menikmati istirahat makan siangnya. Seperti biasa Devan ditemani oleh Ardli.

Revan diam-diam tersenyum mengamati gerak-gerik dari adiknya. Semuanya yang ada pada diri Devan adalah cerminan dirinya, hanya saja Devan memang terlihat lebih manis dibandingkan tampan sepertinya. Sementara itu Raka dan Kian yang sudah selesai memesan sudah duduk bersama dengan Revan. Mereka aneh sendiri melihat Revan senyum-senyum sendiri.

Kian mencoba mengikuti arah pandang Revan. Ternyata dugaannya benar, yang sedang dipandangi Revan sambil tersenyum itu adalah Devan. Raka yang melihat gerakan dari Kian mulai mengerti hal apa yang membuat temannya itu tersenyum seperti orang gila.

"Lo sayang banget ya sama adek lo Devan." Kian membuka suaranya.

Pandangan Revan langsung teralihkan. "Itu gak perlu ditanya, Devan segalanya buat gue. Terlebih dia adalah satu-satunya yang gue punya sekarang."

"Oh sweet banget, gue ngiri tuh. Kakak gue aja cueknya kebangetan sama gue." Raka mendramatisir.

Kian mencibir. "Iya lo nya sih susah dibilangin, dan bikin kakak lo capek."

"Eh biji ketumbar diem aja lah. Tapi gue emang salut sama kalian. Gue baru pertama liat ikatan kayak gini, tanpa alesan kalian adalah kembar ya." Raka ikut memuji persaudaraan di antara Revan dan Devan.

Revan tersenyum tipis. "Bagi gue Devan adalah oksigen. Kalau oksigen itu hilang maka gue gak bisa bernafas."

"Romantisnya kayak Romeo dan Juliet. Eh lo kagak belok kan Rev? Disini lo populer tapi masih jomblo." Kian bergidik membayangkannya.

Revan mendengus ke arah Kian tapi sedetik kemudian dia menyeringai. "Emang kenapa? Gue suka kok sama Devan suka banget, sayang dan cinta sama Devan gue yang manis dan imut. Kenapa emang, lo suka sama gue?"

"Raka gue saranin bawa sahabat lo ini ke poli kejiwaaan! Najis tujuh turunan, gue masih suka cewek bohay!" Kian membayangkannya saja sudah kesulitan.

Revan tertawa beberapa saat. "Sekalipun gue udah menikah dan punya anak nanti, Devan tetaplah hal yang paling utama buat gue. Karena bagi gue bisa bertahan sampai saat ini di tengah berbagai badai yang datang adalah Devan. Dialah yang ngebuat gue selalu menjadi kuat dalam keadaan apapun."

Raka termenung. Revan memang sekarang menjadi kepala keluarga menggantikan sosok ayah dan ibu untuk Devan. Dia merangkul bahu sahabatnya itu kemudian. "Lo juga jangan lupa kalau punya gue Rev, sahabat lo. Kalau sekiranya ada sesuatu yang gak bisa lo tanganin sendiri lo bisa dateng ke gue."

"Iyakali, gue emang gak dianggep ya disini." Kian mencibir.

Revan mengangguk dan menatap kedua sahabatnya. "Makasih Ka, gue juga makasih kok sama lo Yan. Terlebih sama kekonyolan lo yang sering bikin mood baik."

"Asem lo!" Kian membalas dengan nada candaan.

Devan tampak berbinar ketika pesanan baksonya sudah sampai di mejanya dan Ardli. Beda dengan Devan yang berbinar, Ardli malah was-was. Dia bisa melihat ada Revan duduk dari dua meja di belakangnya dan Devan. Revan itu tidak pernah mengizinkan Devan makan pedas juga minum dingin. Tapi karena Devan itu pemberontak dia berhasil beberapa kali mengelabui Revan. Namun sekarang Ardli merasa kalau Devan sedang dalam keadaan sial.

Ardli memakan baksonya dengan ragu-ragu. Rasanya dia kenyang seketika karena kini mata Revan menatap tajam ke arah mejanya dan Devan. Ardli sudah ingin berlari kencang meninggalkan meja, tapi dia tidak tega meninggalkan sahabatnya sendiri. Terlebih Revan akan sangat menyeramkan kalau sudah marah.

Di tengah acara makannya Revan tidak bisa fokus. Devan memakan makanan yang sangat dilarang oleh dirinya. Pedas dan juga minuman dingin. Devan juga terlihat lahap memakannya. Geram karena makanan tidak sehat itu sudah banyak masuk ke dalam tubuh adiknya, Revan beranjak menuju meja Devan.

Sekarang apa yang ditakutkan Ardli benar-benar terjadi. Revan sudah berdiri tegap di hadapan dirinya dan Devan yang masih saja sibuk memakan makanannya tanpa menyadari keadaaan.

"Kapan gue bolehin lo makan pedes sama minum es?" Nada biacara Revan terdengar tajam.

Devan menghentikan acara makannya. "Rev, gue bukan bayi yang gak boleh makan ini itu."

"Tapi lo tau akibatnya nanti ke kondisi tubuh lo." Kalimat tegas lagi-lagi diberikan Revan.

Ardli mencoba menengahi perdebatan itu. "I...ini di kantin, jangan ribut napa."

"Diem lo!" Bentakan terdengar jelas keluar dari mulut Revan. "Jangan dimakan lagi, pesen yang lain gue yang bayar." Revan memberikan penawaran pada Devan.

Devan meghembuskan nafasnya kasar. "Apaan sih lo Rev, gue mau lanjutin makan ini. Cuaca juga panas lagian."

'PRANG'

"Gue bilang pesen yang lain Devano!" Suara pecahan mangkok dan bentakan terdengar dengan sangat jelas.

Bahu Devan bergetar, seumur hidupnya dia baru melihat kemarahan asli Revan. Pertengkaran itu menjadi tontonan semua yang ada di kantin. Dia segera beranjak dan berdiri dari duduknya. "Lo itu Lebay Kak! Gue benci sama lo Kak Revan!"

Ardli hanya bisa menghela nafasnya. "Rev gue tahu lo emang sayang banget sama Devan, tapi bukan gini caranya. Gue kali ini setuju sama Devan kalau lo berlebihan."

Revan mendudukkan dirinya dengan keras. Dia mengusap wajahnya kasar. Sebelum itu dia meminta maaf kepada Ibu penjaga kantin karena sudah membuat keributan. Kian dan Raka langsung menghampiri sahabatnya itu. Mereka berdua mengerti memang tadi Revan berlebihan tetapi Revan juga tidak bisa disalahkan. Terlebih setelah mendengarkan penuturan bahwa Devan adalah segalanya untuk Revan.

Revan merutuki dirinya sendiri. Hari ini dia membentak Devan dan memperlakukannya dengan kasar. Padahal dia berjanji tidak akan pernah membiarkan seorang pun menyakiti Devan namun sekarang justru dirinya orang yang menyakiti Devan. Kalimat Devan yang mengatakan kalau dia membencinya masih terngiang di benak Revan. Bagaimana dirinya akan hidup jika Devan harus pergi meninggalkannya? Raka dan Kian hanya bisa menghela nafasnya karena Revan masih tidak mau bicara.

Revan menunggu Devan keluar dari kelasnya setelah bel pulang sekolah berbunyi. Devan masih enggan menatap wajah Revan. Akhirnya Ardli yang mengatakan pada Revan bahwa Devan akan ikut pulang bersamanya. Dia juga berjanji akan menjaga Devan sampai selamat ke rumah. Revan tidak membantah dan menaiki motornya tanpa membonceng Devan seperti biasa.

Rupanya Revanlah yang sampai terlebih dahulu ke rumah. Selang beberapa menit Ardli dan Devan sudah tiba. Setelah mengantar Devan, Ardli langsung pamit undur diri. Devan langsung mengganti baju seragamnya dan membersihkan diri tanpa harus disuruh terlebih dulu oleh Revan. Sampai makan malam tiba pun tidak ada satu orang pun diantara mereka yang membuka suara. Mereka menyantap makan malam di dalam keheningan.

Sekarang sudah menunjukkan jam sembilan malam. Revan mengecek kamar adiknya, memastikan bahwa Devan sudah tertidur tidak bermain game lagi seperti kemarin malam. Revan melihat wajah yang serupa dengannya itu sudah tertidur lelap. Ada bekas air mata di pipi Devan. Sakit rasanya melihat hal tersebut. Revan memutuskan untuk duduk di sisi ranjang Devan dulu sembari mengelus rambutnya sayang.

"Maafin gue Dev. Gue gak pernah bermaksud ngebentak lo kayak tadi. Maafin gue yang lebay Dev. Gue ngelakuin semua itu karena gue sayang sama lo Dev. Gue gak pernah mau lo sakit. Gue pengen selalu memastikan kalau keadaan lo baik-baik aja. Terlebih lo emang gampang kena sakit dari kecil Dev. Gue semata-mata ngelakuin ini karena gue gak mau kehilangan lo juga sama seperti gue kehilangan mama dan papa. Cuma lo satu-satunya yang gue punya sekarang Dev. Lo adalah alasan gue untuk tetap bertahan. Lo adalah oksigen yang harus selalu gue hirup biar gue bisa bernafas. Tapi apa yang gue lakuin bener kata Ardli tadi, gue terlalu berlebihan. Lo pasti benci banget sama gue kan? Gue emang kakak yang gak berguna, gue gak bisa gantiin peran mama sama papa buat lo. Tapi yang harus lo tahu sayangnya gue sama kayak mereka, tapi sayang lo udah benci sama gue. Dengan lo diem kayak tadi, sama aja gue udah kehilangan lo Dev. Rasanya sesak Dev, karena oksigen gue gak bisa lagi gue hirup. Apa yang harus gue lakuin Dev..." Revan tidak bisa lagi melanjutkan kalimatnya, tangisnya sudah pecah bahkan sekarang dia terisak.

Tanpa dirinya sadari, sedari tadi Devan hanya berpura-pura tertidur. Mendengar penuturan itu membuat hatinya ikut merasakan sakit. Harusnya dia juga mengerti perasaan kakaknya tersebut. Devan bangun dari tidurnya dan memeluk Revan dari belakang.

"Maafin gue Rev, gue harusnya ngerti perasaan lo." Devan ikut menangis di pundak Revan.

Revan tersentak, ternyata adiknya belum tertidur. Dia berbalik dan menatap Devan yang wajahnya sudah berderai air mata. "Lo gak perlu minta maaf. Lo gak salah Dev, gue aja yang terlalu ngekang lo. Gue emang lebay."

"Gak lo gak lebay. Lo ngelakuin itu demi kebaikan gue." Devan menghapus kasar air matanya.

Revan menunduk sedih. "Tapi itu malah nyakitin lo."

"Mungkin agak dikurangin sedikit bisa ngebantu kok. Kalau bisa lo tunjukin aja kadar pedes yang harus gue makan itu berapa sendok." Jawab Devan dengan candaan sambil menghapus-hapus air matanya lucu.

Revan membantu sang adik menghapus air matanya. "Oke deal. Sekali lagi maafin gue ya Dev."

"Gimana kalau gue maafin lo asalkan malem ini lo tidur bareng gue disini?" Devan memberikan penawarannya.

Revan langsung menempatkan tubuhnya berbaring di atas ranjang Devan. "Sini bobo cepet gue kangen pengen meluk lo."

"Nah kan mulai lagi ke-nggak warasannya lo Rev, cari jodoh sana." Devan mencibir namun mulai berbaring dan mendekatkan tubuhnya pada Revan. Pelukan dari Revan tidak ditolak olehnya.

Revan tersenyum kecil. "Tar aja gue masih asyik sama lo, jodoh mah nanti juga dateng. Karena saat ini keutamaan gue adalah lo Dev."

Devan rupanya sudah terlarut dalam mimpinya. Akhirnya Revan juga memutuskan untuk menyusul ke alam mimpi.

.

.

.

.

.

~Time Skip~

Sudah dua hari ini Devan mengalami demam dan panasnya tidak kunjung turun. Hal itu tentu saja membuat Revan sangat khawatir. Untung saja sekolah sedang libur, jadi Revan bisa fokus untuk mengurus Devan yang sedang sakit. Pergantian cuaca dari panas menjadi hujan memang membuat kesehatan Devan menjadi rentan.

Revan membangunkan Devan yang nampak terlelap dengan pelan. Ini sudah siang dan sekarang waktunya Devan makan dan minum obat. Meski enggan Devan akhirnya membuka matanya. Disana Revan sudah duduk dengan semangkuk bubur yang sudah siap untuk Revan suapi kepadanya.

Sejujurnya Devan merasa sangat mual dan tidak bisa memakan apapun. Namun karena melihat perjuangan Revan, dia menjadi tidak tega. Dilawannya rasa mual itu oleh Devan dan mulai memakan suapan-suapan bubur yang diberikan oleh Revan kepadanya. Rasa mualnya rupanya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Devan menutup mulutnya menahan agar dirinya jangan dulu memuntahkan isi perutnya.

Revan yang melihat itu langsung menyimpan buburnya dan membantu memapah Devan berdiri untuk berjalan menuju toilet. Namun baru saja dirinya berdiri, Devan merasakan kepalanya sangat pusing. Sesuatu yang hangat terasa mengalir dari hidungnya. Cairan, cairan itu berwarna merah keluar dari hidungnya. Revan semakin cemas, tanpa rasa jijik dia mengelap hidung Devan. Namun kepanikannya semakin bertambah karena Devan sudah jatuh tidak sadarkan diri.

Revan terduduk di ruangan tunggu dengan tangannya yang masih bergetar hebat. Kejadian siang ini membuatnya kalang kabut. Devan memang sering sakit tapi tidak pernah sampai seperti ini. Di lengan bajunya masih tersisa darah yang tadi dirinya bersihkan dari hidung Devan.

Setelah setengah jam akhirnya pintu itu terbuka. Sosok dokter muda berumur 27 tahun itu keluar dari sana. Revan langsung berdiri untuk menanyakan mengenai keadaan sang adik. Tapi kenapa saat sang dokter akan mengatakannya dunia Revan seakan runtuh.

"Ini hanya sebuah perkiraan, semoga saja hasilnya besok negatif."

Devan tidak akan pergi bukan? Dia sudah berjanji pada waktu itu?

.

.

.

.

.

To Be Continue.....................

Gimana ceritanya? Mohon maaf kalau masih banyak kekurangan yah.

Jangan lupa tinggalin jejak ya

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!