NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19. Percakapan Paling Dalam

"Selepas kamu menggoda saya, memang apa yang kamu dapatkan?"

Maha hanya tersenyum tipis, tak menggubris pertanyaan itu. Bagi Maha, hal ini sudah menjadi kebiasaannya—menjahili Sastra yang selalu tenang dan tanpa emosi. Ia menikmatinya.

"Kamu ini seperti perempuan yang ingin dibelai," lanjut Sastra, nadanya mulai berubah. "Kalau saya cium kamu sekarang, apa kamu akan memaki saya nanti? Kelakuanmu ini membuat saya sulit menahan diri."

Maha tersenyum kecil, lalu dengan lembut, ia mengusap dagu Sastra. Dengan jari telunjuknya, ia sedikit mengangkat dagu itu ke atas. "Aku suka lihat Mas seperti ini. Kamu kelihatan tambah berkarisma. Coba saja kalau Danisa bisa lihat mantannya yang sekarang lebih menarik ini—"

Sastra tak menunggu lama. Dalam sepersekian detik, ia membungkam bibir Maha dengan ciuman tiba-tiba. Maha terkejut, matanya membesar, namun ia tak mampu melepaskan diri. Nalurinya bergerak lebih cepat daripada pikirannya. Entah mengapa, ia justru membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu.

Egonya sementara waktu diredam, ia menikmati cecapan yang diberikan Sastra. Tangan Maha perlahan memeluk leher Sastra, sementara jari-jarinya dengan lembut memberantaki rambutnya.

Setelah keduanya kehabisan napas, barulah mereka melepaskan ciuman itu, masih saling terdiam, mencoba memahami apa yang baru

saja terjadi.

"Fuck Sastrawira! Lo cium gue duluan!"

Sudah dapat Sastra pastikan, beginilah jadinya lagi. Sastra menarik diri untuk bangun dari sofa namun perempuan itu menahannya, tangannya mendorong dada bidang Sastra hingga ia kembali terjerembab diatas sofa.

Lagi-lagi Maha naik keatas pangkuannya, ia tidak kapok selepas ciuman tadi.

"Sialan Lo Sas. Udah ngelecehin gue lo malah mau kabur!"

"Bukannya kamu yang sudah melecehkan saya hmm? Buktinya kamu naik keatas pangkuan saya, menggoda saya, dan kamu bilang saya yang melecehkan kamu? Jangan seperti ini lagi Maha, kamu tidak perlu berlagak menjadi Danisa. Kamu ya kamu, sudah sana turun dari pangkuan saya."

Maha mencecar nya lebih ganas, "tuh kan lo sendiri yang sebut-sebut nama mantan lo itu Sas! Berarti bener dong kalau lo emang masih belum move on dari mantan lo itu!"

Sastra mengusap wajahnya dengan kasar, entah akan keberapa kalinya masalah perihal mantan tunangannya itu akan segera berhenti dibahas dari drama yang Maha buat sendiri.

"Yasudah sekarang kamu maunya apa?"

"Cerai dong! Gue mau cerai sekarang juga. Udah lo tinggal sebutin kayak gini, 'mulai hari ini saya ceraikan dan talak kamu!' bereskan? Gue gak akan ganggu lo lagi, kecuali ya soal pekerjaan." Ujarnya begitu enteng dan terdengar sangat nyeleneh.

Sastra menghela napas panjang, berusaha menahan diri agar tak terpancing Maha. Ini bukan pertama kalinya perempuan itu mendorongnya sampai ke titik ini—meminta cerai, membuat keributan, hanya untuk melihat reaksinya. Semua trik ini dilakukan agar dia terlihat tak tahan, agar pernikahan mereka yang katanya seperti diatur ini berakhir dengan perceraian. Sastra tahu tujuan Maha, dan dia butuh untuk menjelaskannya secara mendalam.

"Maha," katanya pelan, suaranya tetap tenang, "kamu adalah bagian dari keluarga Hardjo, saya berbicara seperti ini karena saya suami kamu. Saya tidak apa-apa kamu maki ataupun layangkan segala kebencian kamu pada saya tapi, perceraian itu tidak semudah yang kamu pikirkan."

"Saya masih memegang tanggung jawab. Tidak hanya terhadap kamu, tapi juga terhadap keluarga dan janji yang sudah saya buat bersama Papamu berserta leluarga besar saya. Bisa kamu mengerti sedikit? Saya...saya tidak bermaksud mengikat kamu seperti ini. Saya tahu pernikahan ini berat bagi kamu tapi cobalah berpikir luas. Tidak semua ego harus kamu telan, tidak semua ingin mu harus dituruti. Saya tegaskan sekali lagi, pernikahan ini bukan hanya tentang kamu tapi juga menyangkut dua keluarga kita."

Maha mendengus, sorot matanya tajam penuh perlawanan. “Lo yang bicara soal berpikir luas, Sas? Lo tau apa soal hidup gue? Lo gak akan pernah ngerti gimana rasanya jadi gue yang dengan masih pakai baju seragam dengar Papanya sendiri bicara kalau selama ini putrinya sudah ia nikahkan dengan seorang pria dari kalangan atas, gak gue histeris gimana coba, gue serasa dijual sama bokap gue sendiri!” Maha berujar lantang, tangannya gemetar menahan emosi.

Sastra menghela napas panjang, menatap Maha dengan sorot mata yang penuh pemahaman, meski di baliknya ada rasa bersalah yang sulit ia pendam. Dia tahu apa yang Maha rasakan, setidaknya sebagian dari itu.

"Kamu ingin tahu tidak kenapa kamu baru diberitahu setelah lima bulan pernikahan?" Pertanyaan itu justru membuat Maha lebih sensitif, seharusnya sejak awal ia dijelaskan.

"Gak salah tuh? Sejak awal gue minta penjelasan Lo gak kasih, dan sekarang Lo baru mau kasih setelah gue berupaya gila-gilaan untuk cerai. Lo takut ya karena gue seingin ini buat pisah dari Lo?" Justru Sastra tersentak oleh pertanyaan yang kembali dilayangkan Maha.

Sastra mengangguk pelan, "benar, saya takut kamu berpisah dari saya. Untuk itu, saya perlu menjelaskan mengapa saya baru datang dan mengaku setelah lima bulan itu." Sastra tetap dalam posisi memangku Maha, mereka berbicara seperti itu, namun tampak terlihat dalam posisi intim jika dilihat oleh orang.

"Yang pasti, keluarga dan saya sepakat untuk merahasiakan pernikahan ini sementara waktu setidaknya sampai kamu berkuliah. Saya tidak ingin merusak citra nama kamu didepan publik apalagi karena banyaknya orang yang tahu tentang keluarga saya. Mudah bagi publik membuat segala macam berita apapun yang terkait, entah itu tentang bisnis, isu pernikahan maupun bisa dalam masalah skandal apapun, dan saya menjaga kamu dari semua itu."

Maha terdiam sejenak, menatap Sastra dalam-dalam. Amarahnya belum padam, tapi ada sesuatu dalam kata-kata Sastra yang menyentuh hatinya, meski hanya sedikit.

"Terlebih lagi, saya ini anak pertama dan cucu pertama di keluarga Hardjosoemarto. Saya punya tanggung jawab yang lebih besar selain kamu, dan kepentingan saya tidak melulu tentang kamu, tapi saya berusaha tetap fokus juga pada istri saya, bukan karena saya memiliki akses untuk mengendalikan kamu tapi saya miliki tanggungjawab untuk menjaga kamu, terlebih pada Papamu. Jadi... perceraian itu tidak pernah ada dalam keluarga saya tapi kalau sampai nanti kamu memang semakin tidak mau dengan pernikahan ini, saya akan lepaskan kamu baik-baik Maha. Tapi tidak untuk saat ini, saya perlu waktu untuk memikirkan banyak hal. Jadi, saya harap kamu dapat mengerti walupun itu hanya sekecil yang kamu pahami apa yang saya katakan."

Maha menelan ludah, ia merasa dirinya mulai goyah. Ucapan pria ini mampu menyentuh titik terlarangnya tapi ia tak ingin terbawa suasana, tetap saja ia harus berperasaan keras supaya tidak gampang dibodohi Sastra.

Maha menatapnya, napasnya terdengar berat. "Tapi nyatanya gue udah terkekang," Maha membalas cepat, nadanya tajam meski matanya mulai kehilangan kilatan amarah. "Lo mau bilang apa lagi? Gue udah muak sama semua alasan ini."

Sastra menghela napas panjang, merasa semakin sulit untuk menjelaskan segalanya tanpa membuat situasi semakin panas. Namun, dia tahu bahwa hanya keterbukaan yang bisa menyelesaikan ini, meskipun hasilnya tidak akan segera terlihat.

"Kalau memang tidak ada yang bisa saya katakan untuk mengubah perasaan kamu sekarang, saya tidak akan memaksakan. Saya tidak mau membuat kamu lebih menderita. Tapi saya mohon, Maha, beri saya waktu untuk memikirkan cara yang terbaik untuk semuanya."

Maha menatap Sastra dalam-dalam, lalu akhirnya melepaskan napas panjang, seolah-olah seluruh bebannya perlahan-lahan mencair. Namun, kerasnya ia tetap menolak diri. "Terserah deh, Lo seribet ini banget padahal gue cuma minta cerai dan gue gak akan buat huru-hara lagi padahal."

Sastra menyentuh dagu Maha, ia tatap dalam-dalam netra gelapnya. "Saya memang seribet ini, apa-apa harus dibicarakan. Walaupun kamu ini sangat berisik, tapi saya suka kebawelan kamu, hidup saya tidak sepi lagi." Ujarnya semakin lembut, seperti berbicara dengan orang yang ia kasihi dan cintai.

"Lo kaya gini juga ya ngomong sama Danisa?" Dan Maha selalu membuat huru-hara ditengah kehangatan yang sedang Sastra bagi setelah percakapan cukup panjang dan mendalam tadi.

"Tidak, hanya dengan kamu saja saya begini, tidak ada perempuan lain, hanya kamu Maha."

•••

Riuh suara para siswa memenuhi lapangan, sorakan mereka semakin menggema saat Dylan melangkah ke tengah arena untuk debut basket pertamanya. Dengan gaya kalem dan tenangnya, ia menatap ke satu arah, memberikan senyum kecil yang jelas sekali ditujukan pada Maha.

"Dia senyumin lo tuh, Maha," ujar Keana dengan nada menggoda, berbisik di sebelahnya.

Maha hanya mendengus pelan, melirik Keana dengan tatapan tajam. "Biarin aja," jawabnya dingin. "Gue gak peduli, Kea."

Maha menyesap minumannya dengan acuh, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ucapan Sastra tadi malam terus bergema di benaknya. Percakapan mereka terasa lebih dalam dari yang biasa, meski lebih banyak dari pihak Sastra. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang mulai mengikis pertahanan kerasnya. Dan itu membuat Maha gelisah.

Ia menggelengkan kepalanya keras-keras, berusaha mengusir pikiran yang mengganggu itu. Tidak, tekadnya harus tetap kuat. Dia sudah memutuskan untuk bercerai, dan Sastra tidak boleh punya kesempatan untuk mengubah keputusan itu.

"Gak mungkin gue mundur cuma karena beberapa kata manis dari dia," gumam Maha pada dirinya sendiri, cengkeramannya di gelas minuman semakin kencang.

"Lo gak papa? Kenapa keliatannya kusut banget sih dari pagi?" Tanya Keana pelan-pelan.

Maha mendengus pelan, matanya masih terfokus pada gelas minumannya. "Gue cuma...banyak pikiran aja," jawabnya singkat, berusaha menghindari perhatian lebih dari Keana.

Keana mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban tersebut. "Lo yakin? Dari tadi gue liat lo kayak orang stress . Jangan bilang ini ada hubungannya sama Mas Sastra?"

Nama itu membuat Maha merasa jengkel. Ia menegakkan tubuhnya. "Gue udah bilang, gue gak peduli sama Sastra. Gue mau cerai, titik. Udah nggak ada yang perlu dibahas lagi."

Keana menatap Maha dengan penuh kebingungan. Tiba-tiba, sahabatnya membicarakan tentang perceraian. "Lo pasti berantem lagi ya sama Mas Sastra?"

Maha terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan, menatap Keana dengan sorot mata yang sulit dibaca. "Kea..." Nafasnya tercekat di tenggorokan. "Gue semakin benci dia karena berusaha menembus pertahanan gue!"

"Apa maksud lo? Gue nggak ngerti, Maha."

Maha menggigit bibirnya, menahan gejolak perasaan yang sulit dikendalikan. "Dia berusaha menarik gue ke dalam pengaruhnya. Lo tahu sendiri kan dia punya nama besar di belakangnya? Dia terlalu tenang, Kea. Seolah dia tahu cara bikin gue bimbang dan akhirnya tunduk lagi sama dia."

Keana mendecak kesal. "Gue nggak mau bela siapapun, deh. Intinya kalian harus saling mengerti dan berkomunikasi. Walaupun sepertinya lebih condong ke Mas Sastra, sih. Lagipula, dia punya nama besar di belakangnya, jadi nggak mungkin sembarangan dan sembrono kayak lo memilih keputusan. Lo yang mau cerai pasti akan dipersulit. Meskipun lo udah usaha bikin dia lelah dengan perbuatan lo, ingat ya, suami lo itu bukan orang biasa. Dia pasti punya banyak cara untuk bikin lo tetap sama dia. Kekuatan dia juga berasal dari Papa lo sendiri, itu masalahnya."

Maha semakin frustrasi mendengar penjelasan Keana. Hatinya berkonflik. "Iya, gue baru sadar tadi malam. Gila nggak sih cowok itu?! Dia bener-bener mau ngiket gue, Kea. Keluarga Hardjo, gue juga belum tahu sekuat apa mereka." Maha tak pernah menyangka misinya untuk bercerai dari Sastra akan seribet ini. Ia terlalu mudah menebak alur ke depan tanpa menyadari dengan siapa dia berurusan.

"Itu kesalahan terbesar lo, dan gue lega banget akhirnya lo bisa berpikir sampai sini." Keana menarik nafas lega. "Setahu gue, keluarga Hardjo emang sekuat itu, bahkan gue pernah denger kalau kekuatan mereka di dalam maupun di luar tuh nggak main-main. Gue saranin, lo harus hati-hati dan cari tahu sebanyak-banyaknya tentang keluarga suami lo. Manfaatin segalanya—ilmu, uang, nama besar mereka juga. Kalau lo tetap pengen pisah dari Mas Sastra, setidaknya lo harus punya pegangan ke depannya."

"Lo harus tahu apa yang lo hadapi," sambung Keana tegas, mengawasi ekspresi Maha yang semakin ragu. "Jangan hanya berpegang pada emosi. Lo harus bisa memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan lo sendiri."

Maha mengerutkan kening, berusaha mencerna semua ucapan Keana yang kali ini didengarnya dengan seksama. "Jadi?"

"Lo perlu berstrategi. Selama ini lo terjebak dalam perasaan, dan itu wajar. Tapi sekarang saatnya untuk lebih rasional. Lo harus tetap bertahan di samping Mas Sastra, setidaknya sampai lo berhasil keluar dengan kekuatan yang lo punya. Ingat, Maha, selama ini lo terlalu gegabah karena nggak cari tahu seperti apa sebenarnya keluarga suami lo."

Maha berdiam cukup lama diantara Sorak-sorai penonton, benar kali ini yang dikatakan Keana. Ia terlalu sembrono dan hanya fokus pada keinginannya untuk bercerai tanpa tahu kekuatan besar dibelakang nama Sastrawira.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!