Chapter 19 Pertarungan Terakhir 3 end

Di detik-detik sebelum keris itu menghunjam kepala ki Rekso, tiba-tiba satu suara menahannya.

"Tahan, Sukirman! Hentikan perbuatanmu!"

Sukirman segera tarik serangan, wajahnya menoleh ke arah suara tersebut, satu suara yang sangat dikenalnya, tidak lain adalah Datuk Putu Alam. Berdiri di sebelah Datuk Putu Alam adalah Datuk Giri Bumi, adiknya.

"Guru?" Yudistira menatap Datuk Giri Bumi. Datuk Giri Bumi memberi isyarat pada Yudistira untuk tetap di tempatnya.

"Tapi Datuk, dia adalah pembunuh istriku," kata Sukirman protes karena niatnya untuk menghabisi nyawa dukun yang bernama ki Rekso itu dihalangi oleh gurunya.

"Sukirman, sebagai gurumu aku memintamu untuk membatalkan niatmu membunuhnya."

Sukirman menarik napas panjang.

"Kenapa Datuk?" kata Sukirman menatap wajah gurunya.

"Karena ... dia adalah adik kami," kata Datuk Giri Bumi.

Mata Sukirman melotot tak percaya, dia berpaling pada ki Rekso, lalu balik menatap Datuk Giri Bumi penuh tanda tanya, "Adik? Bagaimana mungkin?" tanya Sukirman.

"Dia yang sudah kau kalahkan itu memang dikenal orang dengan nama ki Rekso, tapi nama aslinya adalah Linjau Buana, dan juga dikenal dengan nama Datuk Linjau Buana," menerangkan Datuk Giri Bumi.

"Aku minta dengan sangat, Sukirman, jangan kau teruskan niatmu untuk membunuhnya. Dendam tidak akan pernah berakhir, juga tidak akan bisa menghidupkan istrimu yang telah meninggal, dendammu hanya akan terus mengotori hatimu," kata Datuk Putu Alam.

Akhirnya Sukirman mau menerima kata-kata dari Datuk Putu Alam. Disarungkannya kembali keris itu.

Sukirman mendekati Datuk Giri Bumi, "Datuk Giri, ini kukembalikan keris Kyai Seratjiwo kepadamu, aku berterima kasih karena Datuk telah meminjamkan keris sakti ini padaku."

Datuk Giri Bumi kemudian menerima keris yang diserahkan Sukirman dan menyisipkannya ke pinggang.

Di saat Sukirman menyerahkan keris Kyai Seratjiwo kepada Datuk Giri Bumi, kesempatan itu dipergunakan oleh Datuk Linjau Buana alias ki Rekso untuk merangkak dan mengambil keris yang masih tergenggam di potongan tangan kanannya.

Datuk Linjau Buana bangkit memegang keris dengan tangan kirinya lalu menyerang Sukirman dari arah belakang.

Datuk Giri Bumi yang sempat melihat hal itu berteriak, "Sukirman! Awas di belakangmu!"

Sukirman yang saat itu tak berlaku waspada terkejut dan tak sempat untuk berbalik, maka tidak bisa dihindarkan lagi keris itu meluncur cepat di genggaman tangan kiri Datuk Linjau Buana ke arah punggung Sukirman.

Sebelum keris itu menancap ke punggung Sukirman, sekelebatan cahaya berwarna-warni melesat dan kembali memapas putus tangan kiri Datuk Linjau Buana.

Datuk Linjau Buana menjerit sangat keras menahankan sakit yang luar biasa, karena kini kedua tangannya telah buntung. Jeritan itu tidak berlangsung lama, pedang Sutra Pelangi kembali berkelebat dan membabat leher Datuk Linjau Buana dan kepalanya yang putus langsung jatuh menggelinding di tanah.

Tubuh Datuk Linjau Buana yang sudah tak memiliki tangan dan kepala itu rebah di tanah tanpa bernyawa lagi.

Sukirman terpana melihat apa yang telah dilakukan oleh Luthfi. Luthfi menyarungkan pedangnya dan berjalan ke arah Datuk Putu Alam.

"Datuk, maafkan aku yang telah berlaku khilaf membunuh adik Datuk, tetapi Datuk tahu dan melihat sendiri, kalau aku tidak melakukan itu maka sahabatkulah yang akan mati," kata Luthfi menundukkan kepalanya.

Kedua mata Luthfi tampak mengalir air mata,

Luthfi mengulurkan pedang Sutra Pelangi kepada Datuk Putu Alam, "Datuk, pedang ini kukembalikan kepadamu, karena ternyata aku tidak pandai menjaganya. Kalau Datuk ingin menjatuhkan hukiman kepadaku, lakukanlah. Hukuman apapun yang akan Datuk berikan akan kuterima."

Datuk Putu Alam memegang kedua bahu Luthfi dan membimbingnya bangkit, "Tidak Luthfi, kamu tidak bersalah, ternyata memang adikkulah yang tidak mau berubah dan tidak mengerti apa artinya kata maaf dan pengampunan. Apa yang sudah terjadi memang harus terjadi, mungkin itulah taqdir akhir yang harus diterima sebagai ganjaran atas semua perbuatannya selama ini."

"Sekali lagi, maafkan aku, Datuk," kata Luthfi dengan sesenggukan.

"Aku memaafkanmu, Luthfi, sedangkan pedang ini tetap akan menjadi milikmu, karena kamu memang sudah ditaqdirkan menjadi pewaris pedang Sutra Pelangi."

Datuk Putu Alam memandang Sukirman, "Nah Sukirman, semua masalahmu sekarang sudah selesai aku dan adikku Datuk Giri Bumi akan kembali pulang ke rumah kami masing-masing, As Salaamu Alaikum," kata Datuk Putu Alam.

"Wa 'alaikumus salaam," jawab Sukirman, Luthfi dan Yudistira. Ketiganya menjabat dan mencium tangan dua orang Datuk yang sama mereka kagumi dan segani.

Datuk Putu Alam dan Datuk Giri Bumi berbalik, berjalan meninggalkan halaman rumah ki Rekso.

"Luthfi ...," kata Sukirman.

"Iya, Kang Sukir."

"Kenalkan, dia Yudistira, sahabatku dari kecil, dan ternyata dia murid Datuk Giri Bumi, adik dari guru kita."

Luthfi mengulurkan tangan dan di sambut Yudistira dengan senyuman dan jabat tangan yang bersahabat.

"Oh iya. Bagaimana ceritanya kamu bisa sampai kemari?" tanya Sukirman.

"Aku memang mencarimu, aku ingin menitipkan pedang ini kepadamu."

"Kenapa ingin kamu titipkan padaku?" tanya Sukirman.

"Aku akan pulang ke tanah kelahiranku, Painan, Sumatra Barat, untuk mengabarkan kepada keluargaku, bahwa pamanku telah meninggal dunia."

"Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun," kata Yudistira dan Sukirman.

"Pamanku tidak punya istri dan anak, maka sebelum meninggalnya beliau sempat menuliskan wasiat bahwa aku harus meneruskan usaha rumah makannya, kini pedang Sutra Pelangi aku titipkan kepadamu, sekembalinya aku nanti dari Painan, aku akan menemuimu untuk mengambil kembali pedang ini."

Luthfi menyerahkan pedang sutra Pelangi, Sukirman menerimanya.

"Kenapa pedang ini tidak kamu simpan di rumah saja?" tanya Sukirman.

"Tidak, Kang, aku khawatir kalau pedang itu ada yang mencurinya. Aku lebih percaya kalau pedang itu ada di tanganmu, karena bagaimana pun Kang Sukir telah kuanggap sebagai kakakku sendiri, karena kita berdua ditempa oleh guru yang sama.

"Baiklah kalau memang itu kemauanmu, aku hanya bisa mendoakan semoga kamu selamat selama di perjalanan menuju Painan, dan dapat kembali lagi ke sini juga dalam keadaan selamat."

"Aamiin. Kang Sukir, Kang Yudistira, aku pergi sekarang."

"Ya, hati-hati di jalan."

Luthfi menyalami Sukirman dan Yudistira lalu berbalik setelah mengucap salam, berjalan meninggalkan tempat itu.

Kang Sukir, mari kita pulang sekarang," kata Yudistira.

"Tunggu dulu, masih ada satu urusanku yang belum selesai."

"Urusan apalagi?" tanya Yudistira.

"Urusanku dengan Ratna."

Sukirman berbalik lalu melangkah ke dalam rumah Ki Rekso, saat itu Ratna masih terduduk di sudut ruangan dengan tubuh menggigil menahan takut yang luar biasa.

"Ratna, tadinya aku berniat membunuhmu, namun karena guruku yang mengajarkan untuk tidak menaruh dendam maka kau akan kubiarkan hidup. Satu hal kuminta, jangan pernah tampakkan lagi wajahmu di hadapanku, jangan kau injakkan lagi kedua kakimu itu ke rumahku, kalau kau langgar, aku pastikan kamu akan mati!"

Ratna tidak menjawab kata-kata Sukirman, matanya hanya jelalatan memandang sekelilingnya.

Sukirman berbalik meninggalkan ruangan itu, bersama dengan Yudistira, keduanya lalu meninggalkan desa Gedung Aji Baru, kembali ke desa Medasari.

Ratna berusaha bangkit, namun saat itu tiba-tiba di pintu terlihat sosok seseorang yang begitu dikenalnya dengan wajah yang cekung dan pucat, rambutnya acak-acakan, dari mulutnya mengalir gumpalan darah hitam kental, sosok itu mengarahkan kedua tangannya yang berkuku-kuku tajam ke arah Ratna dan melayang mendekatinya."

"Ampun, Murni! Ampun! Jangan bunuh aku! Jangan! Aku minta maaf!" kata Ratna.

Sosok itu terus melayang pelan mendekati Ratna, dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya Ratna berlari dengan cepat keluar dari ruangan itu dan meninggalkan rumah ki Rekso sambil terus berteriak memohon ampun, sesekali matanya melihat ke arah belakang yang mana dilihatnya sosok Murniati terbang melayang mengejarnya.

Ratna pun semakin kencang berlari dengan berteriak-teriak, dia tak menyadari ada sebuah truk yang melaju kencang di depannya, truk itu menghantam tubuh Ratna hingga terpental, lalu ban truk melindas tubuhnya hingga wajahnya hancur tak bisa dikenali lagi.

Sementara hujan rintik-rintik mulai membasahi tanah Rawajitu, semakin lama semakin lebat dengan disertai kilatan petir dan suara gemuruhnya yang menggelegar.

Alam seolah turut murka atas kekejian yang pernah dilakukan Ki Rekso dan Ratna, dan deras hujan malam itu seakan ingin menghapus kisah kelam yang pernah ada, sebuah kisah pilu tentang santet Getih Sewu.

\=\=\=

TAMAT

\=\=\=

GETIH SEWU - EPILOG

\=\=\=

Di sebuah jalan yang sepi tampak seorang lelaki bertubuh tegap berjalan tertatih sambil memegangi dadanya, sesekali dia berhenti dan memuntahkan darah segar dari mulut, lelaki itu berusaha untuk terus berjalan namun sepertinya dia sudah tidak kuat lagi.

Dia pun jatuh terduduk, dicobanya untuk kembali bangun namun dia kembali jatuh, sosok itu lantas tergeletak pingsan karena kehabisan tenaga.

Tidak jauh dari tempatnya pingsan tampak seorang wanita setengah baya tengah berjalan, jalannya tidak sempurna karena kakinya pincang sebelah. Terselip di rambut wanita itu setangkai kembang Kenanga.

Dia berjalan mendekati pemuda bertubuh tegap yang tergeletak di tengah jalan, kemudian wanita tua itu memegang tangan sang pemuda lalu menariknya hingga tubuh pemuda itu jadi terseret-seret, dia berjalan ke arah sebuah rumah.

Sesampainya di dalam rumah wanita dengan kembang Kenanga di rambutnya duduk di dekat kepala sang pemuda yang tergeletak di lantai rumah yang masih berupa tanah.

Ditempelkan tangannya ke dada sang pemuda, seketika itu juga ada aliran hawa dingin menjalar di sekujur tubuh pemuda itu, hal itu belangsung cukup lama. Saat wanita itu mengangkat tangannya pemuda bertubuh tegap bangkit dan terduduk berhadap-hadapan dengannya.

"Siapa namamu?" tanya wanita itu penuh selidik.

"Namaku ... Wira Wisanggeni, kamu sendiri siapa? Dimana aku sekarang?"

Wanita itu tertawa dengan tawa yang menyeramkan, "Orang-orang memanggilku dengan nama Nini Kantil ...."

Kembali terdengar tawanya yang mengerikan membahana, satu tawa yang mampu mendirikan bulu kuduk, bagi siapa saja yang mendengarnya.

SELESAI

Terpopuler

Comments

sudra ajat

sudra ajat

ini kisah nyata atau fiksi kak
saya orang Menggala kampung tiuh tohou

2022-06-18

0

Bulan Purnama

Bulan Purnama

mantap ceritanya punya penghujung yg tidak terlalu panjang,jadi tidak terlalu caper yg baca.
aku sangat suka cerita yg seperti ini,karna tidak memakan waktu yg lama
maklum punya anak suami harus pandai berbagi waktu.
semoga para penulis yg lain bisa mengikuti...
salam sukses selalu 😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘🙏🙏🙏🙏🙏🙏

2021-12-29

0

@kasihzhu95

@kasihzhu95

aku masih penasaran pertarungan ki wisanggeni dgan teman2 seangkatanya

2021-10-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!