GETIH SEWU

GETIH SEWU

GETIH SEWU - PROLOG

“Saya terima nikahnya Murniati binti Karyoto dengan mas kimpoi tersebut di bayar tunai,” dengan mantap tanpa keraguan pemuda itu mengucapkan ijab kabulnya, pertanyaan sah atau tidak yang di tanyakan Penghulu pada para undangan yang hadir di akad nikah itu serentak di jawab sah.

"Alhamdulillaah, sekarang kamu, Sukirman, sudah resmi menjadi suami dari Murniati, putri dari Bapak Karyoto, bukan begitu, Pak?” Pak Penghulu bertanya kepada seorang lelaki setengah baya di sebelahnya.

‘Nggih, pak," Pak Karyoto menjawab seraya menganggukkan kepala.

Hari itu tentulah menjadi hari bahagia bagi Sukirman dan Murniati, karena jalinan cinta mereka yang lama terajut kini telah menyatu secara sah, baik dalam hukum Negara maupun dalam Syariat Islam.

Tentu saja semua yang hadir pun ikut merasakan kebahagiaan juga, terkecuali satu orang, yaitu Riyah, mantan kekasih Sukirman, ia tak sudi menghadiri akad nikah mantan pacarnya itu, apalagi kini yang menjadi pendampingnya adalah Murniati, teman kecilnya yang sudah menjadi sahabat akrabnya dari duduk di bangku SD sampai SMA.

Di dalam kamarnya, ia menangis sejadi-jadinya, terbayang kembali saat terakhir pertemuannya dengan Sukirman.

\=\=\=

Duduk di tepian sawah dua orang muda mudi, Sukirman dan Riyah, pandangan mereka menatap hijaunya padi di sawah yang melambai-lambai tertiup angin.

“Riyah”

"Iya, Mas."

"Aku, ingin mengatakan sesuatu padamu, kuharap kamu bisa menerimanya."

"Ada apa sih, Mas, kok ngomongnya mendadak serius begitu?"

"Ya, karena mulai saat ini, aku minta hubungan ini kita akhiri saja, dan kita bisa memulainya lagi dengan menjalin sebuah persahabatan."

Bagai mendengar petir di siang hari, Riyah sangat terkejut mendengar kata-kata Sukirman.

"Mas Sukir, maksud Mas apa? Aku mau kita putus. Aku gak mau, Mas."

"Sudahlah, Riyah, perbedaan sifatmu dan sifatku sangat bertolak belakang, tidak mungkin bisa disatukan, walau selama ini aku mencoba bertahan, namun kamu tak bisa berubah, malah semakin menjadi."

"Mas, aku mencintaimu, sangat mencintaimu, Mas."

"Aku tahu, Riyah. Aku juga mencintaimu. Namun ini sudah keputusanku. Maafkan aku Riyah."

Riyah tak mampu berkata-kata lagi, airmatanya sudah membasahi kedua pipinya, ia menatap wajah kekasihnya itu dengan pandangan tak percaya.

"Kamu jahat, Mas!” kata Riyah yang lalu bangkit berdiri dan berlari di pematang sawah sambil terisak-isak.

Sementara sukirman tetap tak bergeming, pandangannya lurus menatap biru langit, hatinya terasa begitu lega karena ia akhirnya bisa lepas dari jeratan cinta Riyah yang selama ini dirasakan begitu membelenggu dirinya, rasa iba itu ada, namun di tepisnya, Sukirman tak akan mau mengubah keputusannya itu, bilamana ia teringat kembali pada betapa over protektifnya Riyah sebagai seorang kekasih, yang dirasakan oleh Sukirman sudah bukan lagi sebuah cinta, melainkan seperti rantai yang membelenggu tubuhnya.

Lama Sukirman duduk di tepian sawah itu sendirian, sampai langit berwarna kemerahan. Lalu ia bangkit dan beranjak pulang.

\=\=\=

Siang terasa begitu terik, Sukirman duduk di balai bambu di depan rumahnya, sejak Bapak dan Ibunya meninggal dunia, ia hanya tinggal berdua dengan adiknya, Ratna.

Namun itu tak berlangsung lama karena seorang lelaki dari Desa sebelah melamarnya, dan setelah menikah Ratna di boyong ke rumah suaminya, kini rumah kecil berdinding papan itu hanya ditinggali oleh Sukirman seorang diri.

Kehidupannya yang miskin membuatnya tak terlalu peduli dengan urusan lawan jenis, ia sangat tertutup untuk urusan yang satu itu, maka wajarlah sejak dulu sampai kini ia menginjak usia ke tiga puluh satu, baru satu orang yang ia pacari, yaitu Riyah, yang kini hubungan mereka pun sudah kandas.

"As Salaamu ’alaikum."

"Wa 'alaikumus salaam, eh Barjo, ada apa nih? gak kesawah, Jo?"

"Nggak, Kang, aku sudah selesai kalau soal ngurusi sawah, jadi sambil nunggu padiku menguning dan panen, aku nyambi jadi ojek di Pasar Wahono, jawab Barjo.

"Kalau begitu, saya buatkan minuman dulu, mau teh apa kopi?"

Sudah.. nggak usah repot-repot, Kang, aku cuma mau menyampaikan, bahwa kamu di cari oleh Pak Hendarto."

"Pak Hendarto? Ada apa ya?"

"Mana kutahu, Kang. Kalau kamu mau kuantar sekarang pakai motorku."

"Ya sudah kalau begitu, aku malah jadi penasaran."

Kemudian dengan di bonceng Barjo, Sukirman menuju kediaman rumah Pak Hendarto.

"As salaamu 'alaikum."

"Wa 'alaikumus salaam, wah kebetulan Kang Sukir kesini, tadinya saya loh yang mau kerumah sampeyan, Silahkan duduk dulu," Pak Hendarto bergegas masuk kedalam.

Sukirman dan Barjo lantas duduk, Sukirman menatap isi ruangan rumah Pak Hendarto yang megah itu, pandangan kagum terpancar dari rona wajahnya, bagaimana tidak?, usia Pak Hendarto lebih muda di bandingkan dirinya, namun ia sudah berhasil membuat dirinya mapan dan jadi orang terkaya di Desa Medasari ini.

"Eh.. ada Kang Sukir dan Kang Barjo, sudah lama?"

Tiba-tiba muncul seorang wanita dengan menggendong bayi perempuan.

"Berapa usia putrinya, Bu?" tanya Barjo.

Baru setahun, Kang, anak pertama, perempuan, namanya Nella Ariana. Ngomong-ngomong Bapaknya kemana ini? kok nggak kelihatan."

"Oh ada Bu, tadi Bapak masuk sebentar kedalam."

"Ya sudah saya tinggal dulu ya, mau menidurkan Nella."

"Silahkan, Bu."

Tak lama keluar Pak Hendarto, "Maaf ya Kang Sukir, Barjo, sudah menunggu lama."

"Nggak apa-apa, Pak."

Wajah Pak Hendarto menatap Sukirman serius, "Ada yang ingin saya sampaikan padamu, Kang. Ini mohon di terima."

"Apa ini, Pak?" tanya Sukirman.

"Di buka saja, Kang Sukir."

Ketika dibuka betapa terkejutnya Sukirman, karena isinya adalah uang tunai sepuluh juta.

"Maaf Pak Hendar, ini uang apa ya?" tanya Sukirman bingung.

"Itu adalah sisa pembayaran tanah sawah, yang dulu di jual oleh Bapakmu, Kang, ia tidak mengambil semua uangnya, katanya buat tabungan. Kini Bapakmu kan sudah meninggal, bagaimana pun juga tetap ini adalah hak Bapakmu, dan kamu sebagai ahli warisnya, kamu yang berhak menerimanya." Pak Hendarto menjelaskan.

Tak bisa di gambarkan kegembiraan Sukirman kala itu, bagai mendapatkan bintang jatuh, rizki yang sama sekali tak pernah ia duga, karena selama hidup Bapaknya tak pernah cerita kalau Pak Hendarto masih punya simpanan sisa pembayaran penjualan sawah yang uangnya tak di ambil semua.

"Kang Sukir..."

"Iya, Pak."

"Kalau Kang Sukir tak keberatan, Kang Sukir mau bekerja disini?, kebetulan Desa sebelah sudah panen jadi mulai ada beberapa penduduk yang datang, untuk menggiling padinya di penggilingan padi saya."

"Waah.. tentu saja mau Pak, saya memang sedang menganggur."

"Kalau begitu besok mulai kerja ya, saya tunggu jam 8 pagi."

"Baik, Pak, kalau begitu kami pamit dulu."

"Ya silahkan. Barjo, terimakasih sudah mengantarkan Kang Sukir kemari. Ini, terimalah buat beli rokok dan tambah-tambah beli bensin."

"Alhamdulillaah terimakasih, Pak Hendar."

"Iya sama-sama."

Kembali Sukirman naik di bonceng Barjo, saat itulah pandangannya tertuju pada seorang gadis yang berjalan menuju rumah Pak Hendarto, gadis itu berparas cantik, anggun dengan rambutnya yang panjang tergerai tertiup angin, perasaan Sukirman jadi tidak karuan, dengan gugup ia tersenyum pada gadis itu, dan di balas senyuman manisnya. Gadis itu pun menghilang masuk kedalam rumah Pak Hendarto.

Sepanjang jalan menuju rumahnya, Sukirman terbayang-bayang sosok gadis itu.

"Jo, perempuan tadi itu siapanya Pak Hendar ya? saudaranya?" tanya Sukirman.

"Kamu ini gmana sih, Kang, itu kan si Murni anaknya Pak Karyoto."

"Murni yang dulu dekil dan ingusan itu, Jo?" Sukirman seperti masih tak percaya.

"Halaah, itu kan dulu Kang, waktu dia masih bocah, sampeyan sih jarang bergaul, tetangga sendiri mekar jadi Kembang Desa kamu gak tahu sama sekali."

"Hehehe iya Jo, aku terlalu sibuk sama diriku sendiri."

"Kamu tanya gitu kenapa? Naksir?"

"Ah kamu ini.."

"Naksir ngomong aja, nanti juga kamu bakal sering ketemu."

"Laah kok bisa?"

"Karena Murni itu kan selain mencucikan baju keluarga Pak Hendar, sekarang dia merangkap pengasuh anaknya yang masih bayi itu, Nella Ariana."

"Ohh.."

Tak terasa motor yang mereka tumpangi sampai di depan rumah Sukirman, setelah Sukirman turun dari motornya Barjo langsung pamit pulang.

Entah perasaan apa yang kini berkecamuk berbunga-bunga di hatinya.

Inikah yang orang bilang cinta pada pandangan pertama?

Hari itu benar-benar hari keberuntungan bagi sukirman.

\=\=\=

Terpopuler

Comments

Richa Rostika

Richa Rostika

ok nih crita'y, lnjut thor...

2021-02-14

0

Adipati Dolken

Adipati Dolken

apakah ini sisi lain kisah dari teror hantu dewi? soalnya nama tokoh dan daerahnya sama dengan teror hantu dewi. terima kasih thor🙏

2021-01-04

0

Aden Irwansyah

Aden Irwansyah

bagus²

2020-08-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!