Chapter 16 Keris Kyai Sewu Angin

Tubuh Wira Wisanggeni benar-benar menjadi kaku laksana patung dengan tangan yang masih menggenggam erat keris kyai Kalageni, sementara ki Jenar Songgolangit dengan mantap berjalan mendekati sosok Wisanggeni yang telah menjadi patung. Tangan ki Jenar terulur untuk mengambil keris Kyai Kalageni yang masih tergenggam di tangan Wisanggeni.

Tinggal sejarak dua senti lagi tangan ki Jenar meraih keris kyai Kalageni secara tiba-tiba terdengar teriakan keras dari mulut Wisanggeni.

Ki Jenar walau tidak siap namun cukup waspada dan segera menarik kembali tangannya, tapi teriakan Wisanggeni juga dibarengi dengan kelebat tangannya yang menggenggam keris ke arah ki Jenar.

Sabetan-sabetan keris itu begitu ganas, ki Jenar terus menghindar dengan melangkah mundur dan berusaha mencari celah untuk melayangkan serangan balasan kepada Wisanggeni.

Sampai dilihatnya sebuah celah, tanpa membuang waktu ki Jenar langsung melayangkan sebuah pukulan keras ke wajah Wisanggeni. Gerakan ki Jenar yang terlalu berhati-hati itu justru membuat gerakannya kurang cepat himgga mudah terbaca oleh Wisanggeni, justru dengan serangan itu kini menjadi berbalik, terbuka celah bagi Wisanggeni untuk melayangkan sabetan ke leher ki Jenar.

Lagi-lagi ki Jenar terkejut melihat gerakan lawan yang luar biasa cepat itu, diurungkannya pukulan dan undurkan diri ke belakang, keris kyai Kalageni tidak berhasil mengenai leher ki Jenar, namun tak ayal lengan ki Jenar terluka oleh sabetan keris kyai Kalageni.

Selanjutnya Wisanggeni mencecar ki Jenar dengan jurus-jurus silatnya mematikan, ki Jenar merasakan pandangannya mulai berkunang-kunang akibat racun keris kyai Kalageni yang mulai menjalari sekujur tubuhnya, tak ada pilihan lain bagi ki Jenar saat itu, maka ketika ada kesempatan ki Jenar langsung mencabut keris kyai Halimunan yang tersimpan di balik bajunya, mencabutnya. Saat itu juga wisanggeni tak mampu melihat keberadaan ki Jenar Songgolangit.

“Jenar! Mau lari kemana kau? Tubuhmu sudah terluka, tak ada gunanya kau menghilang dengan keris kyai Halimunan, cepat atau lambat racun dari keris kyai Kalageni akan mengaliri seluruh jalan darahmu dan kau akan ****** oleh racun keris itu … hahahaha.”

Ki Jenar yang tubuhnya tak terlihat lagi oleh Wisanggeni merasa di atas angin dengan keadaan itu, dia tentulah akan lebih mudah untuk melayangkan serangan kepada Wisanggeni. Cepat disabetkannya keris itu ke kaki Wisanggeni.

Wisanggeni menjerit keras, bukan main rasa sakit di kakinya yang tiba-tiba mengucur darah segar dengan deras.

“Jenar Keparat! Beraninya berlaku licik! tampakkan wujudmu, kita mengadu jiwa secara terang-terangan.”

Ki Jenar bisa saja menghadapi tantangan Wisanggeni, mengalahkannya dan membunuhnya, namun dalam keadaan tubuhnya terkena racun dari keris kyai Kalageni, belum lagi dia pun memikirkan nasib murid yang sekaligus anak angkatnya, yaitu Supri yang saat itu masih tergeletak dengan tangan yang terputus sebatas lengan.

Ki Jenar menyarungkan kembali keris kyai Halimunan, memanggul tubuh Supri, berlari cepat meninggalkan perkebunan kelapa itu.

Wisanggeni menjadi sangat marah, dia tak berdaya untuk mengejar ki Jenar karena saat itu luka di kakinya jelas menghalangi untuk berlari cepat, dengan mengumpat panjang pendek Wisanggeni pun pergi meninggalkan perkebunan kelapa itu setelah sebelumnya mengikat kakinya yang terluka dengan robekan kain bajunya untuk menutup luka.

\=\=\=

Ki jenar menaburkan bunga di atas tanah kuburan yang masih baru, kuburan yang tidak lain kuburan murid sekaligus anak angkatnya, Supri.

Karena banyak kehabisan darah, ditambah adanya racun yang begitu cepat masuk ke jantung Supri, membuatnya tak tertolong lagi. Ki Jenar sendiri meski pun memiliki keris kyai Muqaddas yang mampu menetralisir segala macam racun, termasuk racun dari keris kyai Kalageni tak bisa menolong Supri dari kematian.

“Supri … maafkan aku yang tak bisa menyelamatkanmu, tapi aku berjanji, orang yang telah melukai dan membunuhmu akan kupastikan mendapatkan balasan setimpal.”

Tiba-tiba dilihatnya dua orang pemuda berjalan ke arahnya, dari pakaian yang mereka kenakan tampaknya dua orang itu adalah santri, dari logo pakaian mereka ki Jenar sangat paham bahwa itu adalah logo dari pesantren Al Madiinah tempat di mana dia dulu digembleng oleh kyai Maksum Al Maghribi.

“As salaaamu ‘alaikum,” ucap salah satu dari dua pemuda itu.

“Wa ‘alaikumus salaam.”

“Apakah benar kami berhadapan dengan Ki Jenar Songgolangit?”

“Ya benar, kalian kemari diutus oleh guru kalian kyai Mukhtar Zulfiqar, tentulah ada hal penting yang ingin kalian sampaikan kepadaku.”

“Ya, Ki. Benar sekali. Ada yang ingin kami sampaikan, ini sangat penting sekali, karenanya kita tidak bisa membicarakannya di sini.”

“Baiklah kalau begitu, sekarang kalian ikut ke pondok bambuku.”

Tiga lelaki itu kemudian berjalan meninggalkan area pemakaman. Jaraknya tidak jauh dari rumah ki Jenar Songgolangit.

Setelah menghidangkan minuman teh pada kedua orang tamunya yang ternyata adalah Rasyid dan Imran maka ki Jenar duduk di hadapan mereka.

“Begini, Ki, kami kemari untuk menyampaikan kabar duka ….”

“Kabar duka? Kabar apa?”

“Seminggu yang lalu pesantren kyai Mustaqim di Tuban di serang oleh seorang lelaki muda.”

“Lalu apa yang terjadi dengan kyai Mustaqim?” tanya ki Jenar cemas.

“Kyai Mustaqim terluka terkena tikaman keris pemuda itu, walaupun dibawa ke rumah sakit ternyata beliau tidak sempat di rawat oleh dokter dan menghembuskan napas terakhirnya selama di perjalanan. Keris kyai Semar Kuning yang dimiliki oleh kyai Mustaqim direbut sosok pemuda itu.

Sosok itu juga datang ke pesantren kyai Mahesa Wijaya di Kebumen, di sana pun terjadi pertarungan hebat antara pemuda itu dengan kyai Mahesa, dalam perkelahian itu kyai Mahesa terluka namun Kyai Mahesa masih sempat lari menyelamatkan diri. Hingga saat ini pun kami belum tahu keberadaan Kyai Mahesa di mana. Beliau masih hidup ataukah sudah meninggal, kami tidak tahu.”

“Apakah pemuda yang kalian maksudkan itu juga berhasil merebut keris kyai Kijang Kencana dari kyai Mahesa?” kata ki Jenar yang makin menampakkan rona kecemasan.

“Itu juga kami tidak tahu, Ki.”

Ki Jenar Songgolangit menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali, suasana ruangan itu menjadi hening. Hal itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba tercium aroma asap dari sesuatu yang terbakar, ketika ki Jenar serta dua orang santri pesantren Al Madiinah itu melihat sekelilingnya maka tampaklah asap yang mengepul dan jilatan-jilatan kecil api yang sudah mengelilingi seluruh area pondok bambu rumah Ki Jenar.

“Kurang ajar! Ini pasti perbuatan Wira Wisanggeni. Mari kita cepat keluar dari sini sebelum terlambat!” geram ki Jenar. Ketiganya berlari keluar.

Di halaman luar pondok bambu berdiri Wisanggeni dengan wajahnya yang mendongak angkuh. Wisanggeni tertawa terbahak-bahak melihat api yang semakin lama semakin besar melahap habis rumah ki Jenar Songgolangit.

“Wisanggeni, perbuatanmu sudah benar-benar di luar batas, setelah kau membunuh muridku sekarang kau bakar rumahku!”

“Hahahaha … itu belum apa-apa, Jenar. Sebentar lagi kau juga akan menjadi mayat di tempat ini,” kata Wisanggeni sambil tertawa keras.

“Aku tidak ingin berlama-lama bercakap denganmu, Wisanggeni. Kau harus membayar semua dosa-dosamu!”

“Hahahaha … Hebat sekali, sebagai manusia kamu bisa menghakimi sesama manusia, hingga aku harus membayar dosa-dosaku kepadamu.”

“Bedebah licik! Jangan bermain kata denganku, sekarang terima kematianmu!”

Ki Jenar menyerang Wisanggeni, serangannya kali ini bukan main-main cepatnya dan dengan mengerahkan tenaga penuh. Wisanggeni menangkis semua serangan-serangan lawannya dengan mudah.

Pertarungan berlangsung cukup lama dan tampak keduanya sama kuat, sama-sama berilmu tinggi, membuat dua santri pesantren Al Madiinah melongo menyaksikan jalannya pertarungan yang dahsyat itu.

Ki Jenar mengeluarkan keris dari balik bajunya yang tidak lain adalah keris kyai Halimunan, begitu dicabut dari warangkanya serta-merta tubuhnya hilang, tentu saja hal ini membuat takjub kedua orang santri Al Madiinah. Wisanggeni hanya tertawa terbahak-bahak, dia sendiri mengeluarkan sebuah kain berwarna hitam lalu mengikatkannya menutupi kedua matanya.

“Jenar, kau boleh bisa menghilang dari mataku, tapi jangan harap kau bisa mengelabui telingaku, ayo sekarang majulah ….”

Ki Jenar kembali menyerang Wisanggeni dengan keris kyai Halimunan di tangannya, sementara Wisanggeni hanya bersiap dengan kuda-kuda silat biasa, namun anehnya pukulan demi pukulan dan tendangan yang dilancarkan oleh ki Jenar semuanya berhasil dielakkan dan di tangkis.

Hingga pada satu kesempatan sebuah tendangan telak dari Wisanggeni menghantam tepat ke dada ki Jenar yang langsung terjungkal dengan teriakan menahan sakit, kucuran darah segar keluar dari mulutnya pertanda ki Jenar mengalami luka dalam yang parah.

Wajah ki Jenar pucat, disarungkannya kembali keris kyai Halimunan, karena toh dia pikir sia-sia saja, sebab meskipun dia menghilang namun nyatanya Wisanggeni masih mampu mendengar gerakan, hingga bisa membaca semua serangannya bahkan mampu melayangkan tendangan yang menyakitkan ke dadanya.

Ketika sosok ki Jenar mulai terlihat lagi oleh kedua santri pesantren Al Madiinah, maka salah seorang dari mereka yang bernama Rasyid berteriak, “Ki jenar! ini ada titipan dari kyai Mukhtar berupa keris kyai Sewu Angin!”

Rasyid melemparkan sebilah keris dari tangannya yang langsung ditangkap oleh ki Jenar.

Wisanggeni rupanya sadar bahwa ki Jenar sudah menyarungkan kembali keris kyai Halimunannya, segera Wisanggeni menanggalkan ikatan kain hitam yang menutupi matanya.

Ki Jenar menarik lepas keris kyai Sewu Angin dari warangkanya, disabetkannya keris itu ke arah Wisanggeni yang langsung terpental bergulingan menghantam pepohonan hingga terlempar beberapa meter ke belakang, setiap kali Wisanggeni berusaha untuk bangkit secepat itu pula ki Jenar menyabetkan dan mengarahkan kerisnya ke arah Wisanggeni yang tentu saja berakibat kembali terpentalnya tubuh Wisanggeni.

Wisanggeni yang menyadari bahwa dirinya tidak mungkin bisa mengalahkan ki Jenar berusaha untuk melarikan diri. Hal itu disadari oleh ki Jenar yang serta merta mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya dan di pusatkan di tangan yang menggenggam keris kyai Sewu Angin. Dengan sekali kibasan kuat di arahkannya keris kyai Sewu Angin pada Wisanggeni yang saat itu hanya terlihat punggungnya saja, karena posisinya adalah posisi ingin lari dari pertarungan.

Tak ayal lagi serangan dahsyat keris Sewiu Angin yang dialiri tenaga dalam penuh oleh ki Jenar membuat tubuh Wisanggeni terpental jauh berguling-gulingan hingga puluhan meter sampai tak terlihat lagi.

Ki Jenar segera berlari mencari sosok Wisanggeni untuk langsung menghabisi nyawanya, meski pun ia menjelajahi daerah sekitarnya tetap saja tubuh Wisanggeni tak dijumpainya.

“Aku telah gagal membunuhnya, tapi setidaknya dia saat ini tengah terluka parah.” Dengan langkah gontai ki Jenar kembali ke arah pondok bambunya yang saat itu telah habis terbakar oleh kobaran api.

\=\=\=

Terpopuler

Comments

Richa Rostika

Richa Rostika

lanjut

2021-02-15

0

Anna EL Djati

Anna EL Djati

keren crtnya lanjut thor

2020-09-13

0

Nunung Adiyanti

Nunung Adiyanti

next

2020-08-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!