Chapter 17 Pertarungan Terakhir 1

Sukirman duduk di balai-balai depan rumahnya setelah menunaikan sholat maghrib, diambilnya sebatang rokok dari dalam kotaknya yang tergeletak di depannya kemudian dinyalakan, dihirupnya dalam-dalam lalu dihembuskan asap rokok dari mulutnya. Pandangan Sukirman menerawang jauh, tenggelam dalam pikirannya yang saat itu tengah berkecamuk.

Terbayang di pikiran Sukirman wajah gurunya, Datuk Putu Alam yang selama ini telah menempa dirinya dan sahabatnya, Luthfi Chaniago, dengan tempaan yang begitu keras hingga membuatnya kini menjadi seorang pribadi yang berbeda sama sekali jika dibandingkan dengan Sukirman sebelum bertemu dengan Datuk Putu Alam. Sukirman yang sekarang telah menguasai kepandaian ilmu silat serta beberapa ilmu kesaktian, sangat kontras jika dibandingkan dengan Sukirman dulu yang begitu lugu.

Terbayang juga wajah istrinya, Murniati, seorang wanita yang begitu dicintainya, seorang wanita yang membuatnya bahagia, namun kebahagiaan Sukirman tak berlangsung lama manakala istrinya meninggal dengan cara mengenaskan, mati di santet dengan Santet Getih Sewu. Ingatan itu mau tak mau membuat Sukirman kembali meneteskan airmata saat mengenangkannya.

Terbayang juga wajah mantan kekasihnya yaitu Misriyah, yang terakhir kali ditemuinya di Kebumen, Misriyah yang kini sudah berbahagia dengan kekasihnya yang baru bernama Krisna Dipati. Pada pertemuan terakhir itu hampir-hampir Sukirman membunuh Misriyah karena kesalahpahaman, kalau saja dia tidak diperingatkan oleh sahabatnya dengan ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh, tentulah saat ini Sukirman akan merasa sangat bersalah, karena telah membunuh Misriyah yang sebenarnya bukan pelaku dari santet Getih Sewu. Sebagaimana yang telah diceritakan oleh sahabatnya, Yudistira, sekembalinya Sukirman dari Kebumen bahwa yang membunuh istrinya dengan Santet Getih Sewu tidak lain adalah adiknya sendiri yang bernama Ratna, tentu saja hal ini seakan tidak masuk akal, bagaimana mungkin adiknya yang memiliki hubungan darah dengan Sukirman bisa melakukan perbuatan keji meski pun perbuatan itu dilakukan oleh seorang dukun yang diminta oleh Ratna untuk menyantet istrinya?

Sebenarnya Sukirman belum bisa mempercayai sepenuhnya ucapan Yudistira, maka ia ingin membuktikan bahwa memang perkataan sahabatnya itu benar, karena kata-kata itu diucapkan oleh sahabatnya sendiri maka mau tak mau Sukirman sementara waktu mengikuti saja apa kata-kata Yudistira. Tak terasa hari ini adalah hari kedua puluh setelah kembalinya Sukirman ke desa Medasari.

“Kang Sukir, sudahlah. Untuk apa kamu terus melamun seperti itu?” tiba tiba terdengar sebuah suara dihadapannya, lamunan Sukirman menjadi buyar, yang berdiri dihadapan Sukirman saat itu tidak lain adalah Yudistira yang baru saja pulang dari sholat maghrib berjamaah di musholla Nurul Falah.

”Aku masih memikirkan tentang pembunuh istriku, Yud. Perasaanku sulit untuk mempercayai bahwa adikku, Ratna, yang telah melakukan perbuatan itu.”

“Betul, Kang, jujur saja, sebagai sahabatmu, aku pun sebenarnya tidak percaya kalau adikmu bisa melakukan perbuatan seperti itu, namun sebagaimana yang pernah kukatakan kepadamu bahwa aku mendengar sendiri saat adikmu berbicara dengan dukun yang telah menyantet istrimu, aku mendengar dari balik jendela, saat itu aku datang ke rumahmu untuk menemuimu, tapi ternyata kamu sudah berangkat ke Kebumen untuk menemui Misriyah, dalam percakapan itulah aku baru tahu bahwa ternyata adikmu yang menjadi dalang atas kematian istrimu, yang di santet Getih Sewu oleh dukun bernama ki Rekso dari Desa Gedung Aji Baru.

“Lalu apa yang membuatmu menahanku sampai sekarang untukku membalas dendam kepada dukun keparat itu?”

“Tentu saja, Kang Sukir, aku harus menahanmu, kalau kamu datang langsung ke rumah dukun itu, apa buktimu kalau memang dia yang telah menyantet istrimu?”

Sukirman terdiam tidak bisa menjawab pertanyaan Yudistira, karena memang benar dia tak mempunyai bukti apa-apa.

“Tapi kamu tidak usah khawatir, Kang Sukir, kebetulan aku punya seorang sahabat yang bernama Mansur, dia tinggal tepat di depan rumah adikmu, Ratna. Aku sudah berpesan padanya, kalau dia melihat ada pembeli yang datang ke rumah Ratna untuk membeli hasil panen suaminya, kemudian dia melihat Ratna keluar rumah setelah kedatangan tamunya itu, maka Mansur kuminta untuk datang kemari mengabari kita.”

“Ya aku tahu Mansur memang tetangga adikku, tetapi apakah temanmu itu bisa dipercaya?”

“Tentu saja bisa dipercaya, Kang. Kedekatanku dengan Mansur sama dekatnya seperti kedekatanku denganmu. Aku tidak mengatakan apapun soal kenapa dia harus melakukan itu, sebagai sahabat, dia mengerti untuk tidak masuk lebih jauh ke dalam urusan sahabatnya.”

Tidak lama kemudian datang seorang lelaki yang mengendarai sepeda motor, berhenti di halaman rumah Sukirman.

"As Salaamu ‘alaikum,” kata lelaki itu.

“Wa ‘alaikumus salaam,” jawab Sukirman dan Yudistira bersamaan.

“Apa kabar, Mansur?” kata Yudistira menyalami laki-laki yang baru datang itu, “Kenalkan dia juga sahabatku, Sukirman, kakaknya Ratna.”

Mansur dan Sukirman bersalaman.

“Jadi bagaimana, Sur? Kabar apa yang kamu bawa?”

“Aku ke sini memang ingin mengabarkan sesuatu kepadamu, Yud.”

“Baik, ceritakan ….”

“Siang tadi aku melihat seorang lelaki memakai pakaian bagus turun dari mobil pick up, dia tampaknya dari kota yang datang untuk membeli hasil panen kepada suami Ratna, ternyata dugaanku tidak salah karena sesudahnya beberapa orang yang ikut lelaki berpakaian bagus itu kemudian memanggul karung-karung beras dan meletakkan di mobil.”

“Lalu?” tanya Sukirman penasaran.

Lelaki yang bernama Mansur itu menatap Sukirman. “Tadi sehabis sholat maghrib aku melihat adikmu, Kang. Dia keluar dari rumah membawa tas, dia pergi dengan ojek, aku tidak tahu pergi kemana. Cuma itu yang bisa kukabarkan.”

“Tidak apa-apa, Sur,” kata Yudistira pada Mansur, “Apa yang sudah kamu sampaikan itu sangat berguna bagi kami.”

“Kalau begitu aku pamit pulang, masih ada urusan lain.”

“Sekali lagi terima kasih untuk informasinya,” kata Sukirman.

Mansur menyalami Sukirman dan Yudistira, setelah mengucapkan salam Mansur menaiki motornya, berbalik dan pergi meninggalkan rumah Sukirman.

“Kalau begitu kita tidak usah menunda lagi, sekarang juga kita berangkat menemui dukun keparat itu.”

“Kita akan berangkat sekarang, tapi aku salin dulu, Kang, masak aku berangkat dengan pakaian seperti ini?” kata Yudistira yang saat itu masih mengenakan baju koko, peci dan kain sarung.

“Ya sudah, aku tunggu di sini, kamu salin saja dulu.”

Yudistira masuk kedalam rumah Sukirman, setelah berganti pakaian Yudistira lalu keluar menyalakan motornya.

Sukirman dibonceng Yudistira, kedua orang itu berangkat meninggalkan desa Medasari menuju desa Gedung Aji Baru untuk datang ke rumah seorang dukun yang diketahui bernama Ki Rekso.

\=\=\=

Seorang lelaki tua memakai ikat kepala yang ikatannya menjulur panjang ke dadanya, pakaiannya hitam longgar, membuka sebuah amplop yang diberikan oleh tamunya yang duduk dihadapannya, seorang wanita yang tidak lain adalah Ratna.

“Silahkan, Ki Rekso, dihitung kembali uangnya, meskipun tadi sudah kuhitung dari rumah.”

Lelaki yang dipanggil dengan nama ki Rekso itu lalu menghitung jumlah uang dalam amplop, lalu dia menatap Ratna dengan menyunggingkan senyuman, “Terima kasih, Ratna, uangmu kuterima. Senang rasanya bisa membantumu menyingkirkan orang yang menjadi duri dalam dirimu.”

“Aku yang mestinya berterima kasih, Ki Rekso, bagiku uang segitu bukan masalah, asalkan kebencinku kepada Murniati sudah begitu dalam akhirnya bisa terbalaskan.

“Aku bisa mengerti perasaanmu, bagaimana rasanya saat mencintai namun orang yang kita cintai direbut orang dekat kita sendiri. Aku tahu … Aku tahu, itu sangat sakit sekali.”

“Oh ya, Ki, sebenarnya ada hal yang masih membuatku risau.”

Ki Rekso kemudian menatap Ratna, “Maksudmu?”

“Begini, Ki, yang kutahu kakakku saat ini tengah berangkat ke Kebumen, hari ini sudah dua puluh hari sejak kepergian kakakku dan aku belum mendengar kabarnya lagi. Yang menjadi kerisauanku adalah, apakah benar kakakku telah berhasil membunuh Misriyah di Kebumen? Yang kedua, di manakah posisi kakakku sekarang, apakah masih berada di Kebumen atau sudah kembali ke desa Medasari?”

“Hmmm … Baiklah, aku akan bantu untuk melihat apakah orang bernama Misriyah itu sudah mati atau belum, dan aku juga akan melihat di mana posisi kakakmu sekarang berada. Untuk ini aku tidak meminta uang darimu sepeser pun, aku akan membantu dengan sukarela, anggap saja ini sebagai bonus karena kamu telah menepati janji untuk membayar sisa hasil pekerjaanku.”

“Terima kasih, Ki,” kata Ratna.

Ki Rekso mengambil sebuah mangkuk yang terbuat dari kuningan, diletakkannya mangkuk itu di hadapannya, mangkuk yang saat itu berisi air dengan beberapa aneka bunga yang mengambang di atasnya.

Ki Rekso memejamkan kedua mata, kemudian mulutnya berkomat-kamit membaca sesuatu, tak lama terlihat air di dalam mangkuk yang terbuat dari kuningan itu seperti bergolak layaknya air yang dipanaskan dan keluar asap putih dari gelembung-gelembung air. Ki Rekso membuka mata, dengan tangan kanan diambilnya bunga-bunga yang saat itu mengambang di dalam mangkuk kuningan, menyingkirkannya sampai mangkuk itu hanya berisi air yang masih bergolak.

Secara perlahan air itu kembali menjadi tenang, Ki Rekso menatap ke dalam mangkuk, keningnya berkerut, seakan tengah memusatkan perhatian pada sesuatu yang terlihat jauh di dalam mangkuk itu.

Di dalam mangkuk kuningan itu Ki Rekso melihat pertarungan dua orang lelaki, yang di ketahui bahwa pertarungan itu adalah pertarungan Sukirman dengan Krisna Dipati. Setelah lawan Sukirman jatuh, Ki Rekso melihat Sukirman yang menarik kerah baju Misriyah, tapi tiba-tiba Ratna melihat ekspresi wajah Ki Rekso yang berubah.

“Bangsat! Ternyata ada orang lain yang membantu kakakmu.”

“Maksud Ki Rekso?”

“Ada seseorang yang telah mengirimkan suaranya untuk mengingatkan Sukirman kalau yang membunuh istrinya bukanlah Misriyah.”

“Jadi apakah Misriyah jadi dibunuh kakakku, Ki?”

Ki Rekso menggeleng, “Tidak, kakakmu melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Misriyah, kemudian dia berbalik dan berlari meninggalkan mereka berdua, celaka betul!”

Tajam Ki Rekso menatap Ratna, “Apakah kamu kenal seorang lelaki yang dekat dengan kakakmu yang juga memiliki ilmu kesaktian?”

“Iya, Ki. Aku kenal lelaki yang Ki Rekso maksud, bisa jadi dia adalah Yudistira, sahabat dekat kakakku sejak kecil.”

“Yudistira?”

“Iya, Ki. Lalu dimana kira-kira sekarang kakakku berada, Ki?”

“Sebentar, aku akan melihat kembali.” Ki Rekso kembali fokuskan pandangan matanya ke dalam mangkuk berisi air.

Ratna dibuat terkejut untuk kesekian kalinya, dilihatnya Ki Rekso mundur tersurut ke belakang, seakan-ada ada yang mengejutkan dari apa yang dilihatnya, mata Ki Rekso saat itu tertuju ke arah pintu rumahnya.

Belum habis rasa keterkejutan Ratna mau pun Ki Rekso, tiba-tiba pintu rumah itu terpental karena ada seseorang yang mendobraknya dari luar.

\=\=\=

Bersambung

Terpopuler

Comments

Richa Rostika

Richa Rostika

uh ketahuan jg c'ratna

2021-02-15

0

Rania Puspa

Rania Puspa

mntap thoor lnjut jgn ksih kndor....

2020-09-27

1

Nunung Adiyanti

Nunung Adiyanti

seruu next2

2020-08-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!