Chapter 5 Mantra Pemanggil Setan

Supri tampak sibuk mengumpulkan kelapa-kelapa muda yang baru saja di unduhnya, sebentar lagi akan datang orang yang akan mengambilnya dari kota, pesanan sebuah café yang bisa menghidangkan menu es kelapa muda sebagai minuman favoritnya.

“Pri,” sebuah suara memanggil Supri, ia menoleh lalu menjura hormat pada lelaki setengah baya yang kini berdiri di depannya.

“Ya, Ki, ada yang bisa saya bantu?” tanya Supri.

“Tolong sisakan satu buah kelapa muda, taruh di dalam rumah ya. Letakkan saja di dapur. Sore ini aku akan berangkat ke tanah Jawa menemui Guruku, mungkin beberapa hari aku akan berada di sana,” kata lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam dengan blangkon berwarna hitam.

“Apakah kelapanya akan Ki Jenar minum sendiri? Saya bukakan saja sekalian ya,” kata Supri menawarkan diri.

“Tidak, Pri. Kelapa itu bukan untukku, besok akan datang seorang lelaki ke sini, namanya Sukirman. Katakan saja padanya agar meminumkan air kelapa muda itu kepada istrinya yang sedang sakit. Nanti Kelapa itu akan kubacakan doa dulu sebelumnya,” jawab Ki Jenar. Kemudian ia kembali masuk ke dalam rumah.

Malam harinya Ki Jenar membawa sebuah kelapa yang siang tadi ditaruh Supri di dapur dan membawanya ke dalam kamar kemudian ia bersila, kelapa muda itu diletakkan di hadapannya.

Bibirnya bergerak pelan seperti membaca sesuatu, tiba-tiba buah kelapa di hadapannya perlahan terangkat melayang-layang, seberkas cahaya kekuningan terpancar dari tangan Ki jenar, cahaya itu pun melayang dan masuk kedalam buah kelapa muda, setelah cahaya kekuningan itu lenyap dalam buah kelapa muda Ki Jenar membuka mata dan mengambil kelapa muda yang melayang di udara. Di bungkusnya kelapa muda itu dengan secarik kain putih, lantas membawanya keruang tengah dan ditaruh di atas meja.

Ki Jenar berjalan keluar rumah, di teras tampak Supri tengah duduk bersandar di balai-balai.

"Supri, Kelapa mudanya sudah kusiapkan di atas meja di ruangan tengah dengan terbungkus kain putih, besok kalau Sukirman datang, katakan padanya agar meminumkan sebagian air kelapa muda kepada istrinya, dan sebagian lagi digunakan untuk memandikannya. Malam ini juga aku akan berangkat ke Blitar, tolong ambilkan tas besar yang sudah kukemas di kamar."

"Siap, Ki Jenar. Akan saya sampaikan seperti yang Ki Jenar pesankan ini nanti pada Sukirman, saya permisi dulu, Ki. Mau mengambil tasnya."

Ki Jenar mengangguk, Supri lantas masuk ke dalam rumah mengambil tas Ki Jenar.

"Aku pamit, Pri. Jaga rumah dan kebun kelapa dengan baik, aku tak bisa memastikan berapa lama akan kembali."

"Hati-hati di jalan, Ki"

Ki Jenar kemudian melangkah meninggalkan Supri yang menatap kepergian guru sekaligus orang tua baginya, karena sejak kecil ia sudah diangkat anak oleh Ki Jenar saat kedua orangtuanya meninggal.

\=\=\=

Malam telah datang, langit tertutupi mendung, sehingga tak tampak satu pun bintang yang bersinar. Di sebuah hutan yang dikenal angker dan nyaris tak terjamah manusia, rindang dan rapatnya pepohonan membuat sinar matahari sedikit sekali yang bisa menyinari tanahnya, pencahayaannya jadi begitu temaram, seakan siang dan malamnya tak lagi bisa dibedakan.

Di antara lebatnya hutan samar terlihat sesosok bayangan, berjalan terseok pelan, namun langkahnya pasti, seakan ia sangat mengenali seluk beluk hutan tersebut, siapa pun yang melihatnya tentulah akan mengira sosok itu semacam hantu penghuni hutan, karena wujudnya yang menyeramkan.

Tubuhnya yang terlihat begitu kurus, hanya tulang berbalutkan kulit, nyaris tanpa daging yang menyembul di tubuhnya. Meski terseok tetapi langkahnya mantap, berjalan ke arah sebuah gua yang sebagian lubang masuknya ditumbuhi tanaman yang menjalar dan bebatuannya tertutupi lumut.

Rambutnya gondrong terurai acak-acakan seperti tak terurus, matanya cekung namun memancarkan pandangan sangat tajam dan menggidikkan bagi siapapun yang menatap.

Sosok mengerikan dengan pakaian seba hitam dan compang-camping itu masuk ke dalam gua. Beberapa ekor kalelawar yang terkejut dengan kedatangannya panik beterbangan dalam gua, mencari jalan menghindar, sampai semuanya beterbangan keluar menjauhi sosok kurus yang menebarkan aroma busuk.

Di dalam gua ternyata ia tidak sendiri, ada dua orang lagi yang tengah duduk bersila. Sosok yang baru memasuki gua itu mendekati salah seorang yang bersila dengan posisi lebih tinggi, menepuk pundaknya.

“Purnomo, hari ini kamu sudah menyelesaikan Tirakat Sewu Dinomu, buka mata ….”

Lelaki yang dipanggil dengan nama purnomo itu membuka matanya, pandangannya semula tampak buram, cukup lama ia terpejam, dengan suara lemah ia berkata, “ Eyang Wisanggeni … apakah Ilmuku telah sempurna? Tubuhku lemah sekali.”

“Hua ha ha ha ha ha !!!”

Lelaki kurus yang di panggil dengan nama eyang Wisanggeni itu tertawa, begitu kerasnya sampai gua bergetar kuat, beberapa batu di langit-langit gua runtuh, purnomo menutup telinganya, namun terlambat. Telinganya sudah mengeluarkan darah segar. Sementara sosok yang seorang lagi tetap dengan posisi duduk bersilanya seakan tak mendengar apapun, namun tak ayal telinganya juga mengalirkan darah segar.

“Kau meragukan ucapanku, Purnomo?!!” bentak eyang Wisanggeni. Matanya memancarkan warna merah gelap, melotot ke arah Purnomo.

Purnomo tersurut ke belakang, menjawab pun ia tak berani, wajahnya pucat pasi, seakan kematian telah siap merenggut nyawanya.

“coba sekarang gunakan mantra pemanggil setan!!” perintah eyang Wisanggeni.

Tanpa menjawab dengan cepat Purnomo merapalkan mantra yang di maksud eyang Wisanggeni.

Tak lama udara di dalam ruangan gua yang semula hangat berubah menjadi dingin, suara-suara binatang malam seketika terhenti, hanya lolongan ****** di kejauhan yang memperdengarkan jeritan yang menyayat hati siapa pun yang mendengarnya, namun tidak bagi eyang Wisanggeni dan Purnomo.

Purnomo mencoba bangkit dari duduknya dengan susah payah, sampai tubuhnya berdiri dengan posisi yang tidak sempurna dan terhuyung.

Tiba tiba dari mulut gua terlihat sesosok bayangan putih muncul, wajahnya gosong di penuhi nanah, darah dan belatung, kain kafan yang menyelubungi sosok itu berwarna coklat kehitaman, ia meloncat-loncat menuju ke arah Purnomo.

“Purnomo, lawan!!” teriak eyang Wisanggeni.

Sosok Pocong itu sudah sangat dekat di depan Purnomo, kepalanya sedikit diundurkan kebelakang bersiap menyerang Purnomo, Purnomo lantas membaca sebuah mantra, mengeraskan lengan kanannya lalu mengepal, kemudian memukul roboh Pocong itu dengan sangat cepat.

Sosok pocong itu langsung terpental menghantam dinding gua, terdengar suara keras akibat benturan tubuh Pocong dengan dinding gua, Pocong itu muntah darah berwarna hitam pekat, menebarkan aroma yang begitu busuk. Tubuhnya diam dan perlahan menghilang dari pandangan mata.

Purnomo lantas bersimpuh di hadapan eyang Wisanggeni, “terima kasih, Eyang.”

“Ingat janjimu padaku dulu, aku hanya minta satu syarat. Sekarang pergilah kembali ke desamu. Satu tahun lagi kembalilah kemari, kalau kamu mencoba memungkiri janji, aku sendiri yang akan datang untuk mencabut nyawamu.”

Purnomo bangkit lantas pergi meninggalkan mulut gua, berlari dengan cepat melintasi hutan, tak dipedulikan lagi tubuhnya yang terluka terkena sayatan duri-duri dari pepohonan liar, tujuannya kini adalah desa Medasari, seribu hari lebih ia meninggalkan anak dan istrinya hanya untuk mencari kesaktian.

\=\=\=

Terpopuler

Comments

Rizki Nugrahaputra

Rizki Nugrahaputra

waw keren

2021-06-26

0

Nawan Damanik

Nawan Damanik

cerita setting Jawa lokasi sumatera, kayaknya pirlok transmigrasi, alur cerita mantap, lanjut thor, editan mu bagus

2021-02-18

0

pak lurah

pak lurah

wah,,aku wong blitar kok g ngerti yo enek gurune ki jenar.?

2021-01-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!