Happy reading...
🌿
Ayah ... batin Nisa, saat tatapannya langsung tertuju pada sosok pria yang menghampiri kemah mereka.
"Papa!" pekik Dita bahagia. Adisurya langsung merangkul putrinya tersebut.
"Pa ...."
"Om," ujar Raka dan Agas hampir bersamaan.
"Kalian sedang apa?" tanya Adisurya dan terlihat mengerutkan kening melihat Annisa dengan wadah berisi ikan yang baru saja selesai dibersihkan.
"Sini, Nak. Dekat dengan api unggun, biar hangat," ujarnya.
Nisa hanya mengagguk pelan, menjaga jarak dari Ayah Adi karena merasa tak enak pada Dita.
"Ini diapain lagi, Kak?" tanya Nisa pada Agas.
"Taruh saja. Biar nanti aku yang lanjutkan. Lupa, nggak bawa garam." Sahut Agas pelan.
"Gagal deh," bisik Raka pada Agas.
Agas menatap penuh tanya pada sahabatnya tersebut.
"Kalau ada Om Adi, kita nggak bisa ngisengin si Nisa," bisiknya lagi. Agas menyeringai mendengar hal tersebut. Entah pemuda itu merasa senang atau justru sebaliknya.
Waktu terus berlalu, tawa riang terdengar saling bersahutan. Anak-anak itu bernyanyi serta bersenda gurau. Mereka juga menikmati ikan bakar dan daging yang sudah disusun rapi pada bilah bambu yang tadi dibawa Adisurya.
Nisa merasa senang, malam ini lebih baik dari malam sebelumnya. Selain merasa kenyang, tubuhnya juga merasa cukup hangat.
"Kamu sudah mengantuk?" tanya Papa Adi pada Raydita yang sudah menguap berkali-kali.
"Iya, Pa." Sahut Dita yang bergelayut manja di lengan papanya.
"Ya sudah, sana tidur."
"Nanti Papa tidur di tenda Dita ya. Papa kan nggak bawa sleeping bag."
"Bagaimana nanti saja. Anak-anak cowok biasanya suka begadang. Masa Papa kalah sama anak muda." Gurau Papa Adi.
"Mereka nggak begadang kok, Pa."
"Malam ini begadang, Dit. Kan malam terakhir. Kapan lagi kita bisa begini. Ya nggak, Ray?" ujar Raka yang mendapat anggukan Rayhan.
"Terserah deh. Aku ngantuk. Dita tidur ya, Pa." Raydita mengecup pipi Papa Adi dan beranjak dari duduknya.
"Dita, ajak Nisa dong. Kalian kan satu tenda. Nisa juga sudah mengantuk kan?"
Annisa merasa bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia tidak diizinkan masuk ke tenda. Nanti malah dikira pengadu.
"Nisa belum mengantuk, Yah." Sahut Nisa pelan.
"Benar? Sini, duduknya dekat ayah."
Mau tak mau Nisa beringsut mendekati Ayah Adi. Walau sebenarnya ia merasa risih dengan tatapan anak lainnya, Nisa juga tidak mungkin menolak keinginan ayah angkatnya tersebut.
***
Ayah rindu, Nak ....
Cicitan burung yang saling bersahutunan, seakan memecah sunyi dan dinginnya alam di pagi hari. Nisa mengerjap, dan terhenyak menyadari dirinya melewatkan salat subuh karena terlalu lelap dalam tidurnya.
Ternyata hanya mimpi, batin Nisa mengingat suara pria yang menggema dan terdengar seakan sangat nyata. Sesaat ia tertegun menyadari dirinya terlelap dalam dekapan Ayah Adi.
Pria paruh baya itu membiarkan kepala Nisa berada dalam pangkuannya, sementara tubuh Nisa dalam sleeping bag milik Agas yang dikenakannya kemarin malam.
Aku tidak ingat semalam memakai ini, batin Nisa lagi dengan tatapan bingung terarah pada sleeping bag.
"Kamu sudah bangun?" tanya Adisurya pelan dengan suara yang parau. Rupanya tidur pria itu terganggu karena pergerakan Nisa.
"Maaf, Yah."
"Tidak apa-apa, Sayang. Mau tidur lagi?"
"Tidak. Ini jam berapa ya? Nisa belum salat subuh," ujarnya pelan.
"Setengah enam." Sahut Adisurya yang melihat sekilas pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Alhamdulillah, masih sempat." Gumam Nisa.
"Sama ayah yuk salatnya." Adisurya beranjak dan meregangkan otot-otot yang dirasanya sangat pegal.
"Ayah jadi imam ya," ujar Nisa riang.
"Boleh. Tapi jangan ditertawakan, bacaan Ayah belum terlalu fasih."
"Enggak dong."
Keduanya berjalan menuju kamar mandi dengan Ayah Adi yang merangkul pundak Nisa. Tanpa mereka sadari, tatapan heran mengikuti langkah keduanya dari wajah Ghaisan yang sengaja disembunyikan diantara lipatan tangan.
"Om Adi terlihat sangat menyayangi Nisa. Aneh, walaupun aku tahu Om Adi orang yang sangat baik, tapi apa itu tidak berlebihan?" Gumam Agas.
***
Tak lama berselang, Mang Asep datang dengan membawa sarapan dalam box yang dijinjingnya. Setelah menikmati sarapan, anak-anak itu bersiap untuk pulang.
Hamparan pohon teh yang dilewati, lagi-lagi jadi saksi kebersamaan mereka. Diam-diam, Adisurya membidikkan kamera ponselnya pada Annisa.
Cantik. Benar-benar mirip, batinnya.
Raydita dan Annisa, pulang bersama Adisurya. Sementara Rayhan dan kedua temannya, pulang dengan Mang Asep.
"Gimana Den, seneng nggak?" tanya Mang Asep.
"Lumayan. Ya nggak guys?"
"Yo-i. Kapan-kapan gini lagi yuk." Ujar Raka.
"Siap." Sahut Rayhan dengan ibu jari terangat ke atas.
***
Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah megah yang terlihat sangat indah. Seorang pria berbadan tegap sedang menikmati kopi yang disuguhkan ART-nya. Dari arah tangga, istrinya yang baru saja bangun datang berjalan ke arahnya.
"Bi, buatkan saya jus," titahnya.
"Kapan Raka pulang?" tanya pria itu.
"Nggak tahu," sahut wanuta itu malas.
"Fany, kamu itu ibunya atau bukan sih? Setiap kali aku tanya tantang Raka selalu nggak tahu."
"Aka sudah besar, Mas. Memangnya kalau bukan Mama, siapa ibunya Aka?" delik Fany, mama Raka.
"Dia dalam masa yang labil. Kalau dia salah bergaul, bisa rusak anak itu."
"Teman-temannya anak yang baik kok. Kalau tidak salah, Agas anak dokter. Siapa namanya ya, lupa lagi. Satu lagi, Rayhan. Dia anak pengusaha terkenal, Adisurya. Aka bisa memilih teman kok, Mas. Tenang saja," sahutnya.
"Apa, Adisurya? Raka berteman dengan anak Adisurya?" terlihat jelas rasa tidak suka dari raut wajah Sandy, ayah Raka. Dalam bisnis yang tengah digelutinya, Adisurya merupakan pesaing yang sulit ia singkirkan.
"Iya. Memangnya kenapa? Jangan sangkut pautkan Aka dalam bisnismu, Mas. Anak itu nyaman berteman dengan mereka. Sejak pertama masuk ke sekolah itu, Aka jadi berubah. Dia jadi periang, tidak sependiam dulu."
Terdengar dengusan kasar dari pria yang terduduk di hadapan Fany. Bukan Fany tidak tahu perihal Sandy dan Adisurya, namun ia memilih untuk menutup telinga. Baginya, kesenangan yang dirasakan putra semata wayangnya jauh lebih penting dari bisnis pria yang bahkan tidak mencintainya.
"Minta Raka menjauhi mereka."
"Tidak. Aka akan tetap berteman dengan mereka."
"Aku akan ambil lagi motor itu."
"Ambil saja. Mas pikir aku tidak bisa membelikannya? Heh, pers*tan dengan uangmu yang tidak seberapa itu."
Dengan kesal Fany menyambar jus yang dibawa ART-nya. Wanita yang terlihat cantik diusianya yang terbilang masih muda itu melenggang meninggalkan Sandy menuju ke taman samping dari rumahnya.
Sandy tentu kesal dengan sikap arogan yang diperlihatkan Fany. Meski ia sudah terbiasa, namun tetap sikap Fany itu membuatnya geram. Suara deringan ponsel mengalihkan perhatian Sandy. Wajahnya terlihat datar saat melihat siapa yang meneleponnya.
"Bagaimana? Sudah kau temukan dia?" tanya Sandy pelan namun tegas.
"Sudah, Bos."
"Di mana?" tanya Sandy tidak sabar.
"Wanita yang Anda cari tinggal di Bougenvile Residence, cluster X."
Bukankah itu perumahan elit? Dengan siapa Rida tinggal di sana. Apa sekarang dia jadi simpanan pengusaha kaya? batin Sandy.
"Bos? Anda masih mendengarkan saya?"
"Iya. Teruskan."
"Pemilik rumah itu pasangan Dokter dan seorang anak laki-laki. Namun kepala keluarga sudah meninggal. Jadi sekarang yang tinggal di sana dokter wanita itu dan putranya, juga Nona Rida."
"Dokter wanita? Kau yakin?"
"Yakin, Bos."
"Siapa namanya?"
"Dokter Rika, yang tidak lain merupakan kakak dari Nona Rida."
"Baiklah. Kerja bagus."
Sandy menyeringai senang dengan apa yang sudah didengarnya. Dirinya yang pernah melihat Rida bersama seorang pengusaha jadi menggila dan menyuruh orang untuk menyelidiki tentang wanita di masa lalunya itu.
Heh. Kita akan secepatnya bertemu lagi, Sayang. Batinnya.
_bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
Rhina sri
raka anak nya rika trs dita anak dari siapa
2021-07-31
0
Bintang kejora
Jgn² Agas itu anaknya Rida & Sandy, ayahnya Raka.
Bs jd spt itu ya Thor??
2021-07-29
0
Shan
Di tunggu Up nya Thor,,
Gak Sabar dapat notifikasinya.Hehehh
Semangattttt😊
2021-05-20
0