Happy reading...
🌿
Mobil yang dikemudikan Mang Asep tiba di depan pintu gerbang yang cukup besar. Seorang pria membukakan pintu dan mobil kembali melaju.
Dari dalam mobil, Nisa tak hentinya merasa takjub melihat pemandangan halaman villa keluarga itu. Di bagian depan, kolam ikan yang sangat besar dengan dua angsa yang berenang di atasnya menyambut kedatangan mereka. Seulas senyum terukir manakala Nisa melihat pemandangan itu.
"Eh, malah melamun. Ayo bantu aku angkatin ini," gerutu Hani.
"Maaf, Mbak."
Annisa segera turun dan membantu Hani dan pelayan lainnya menurunkan barang bawaan. Sekilas ia melirik pada keluarga angkatnya yang berlalu dengan gembira.
"Maaf, Nyonya. Ini ditaruh di mana?" tanya Hani.
"Yang itu di kamar saya. Kalau yang dibawa dia, itu punya Ehan. Taruh di kamarnya," sahut Rianti dengan gaya angkuhnya.
"Baik, Nyonya."
Hani melangkah menuju kamar Tuan dan Nyonya Adisurya tanpa memperdulikan Nisa. Sementara itu, Nisa bingung harus mengarah kemana. Ia belum tahu di mana letak kamar Rayhan.
"Sstt! Sini, itu tas gue." Annisa segera menoleh dan tersenyum seraya membawa tas itu ke kamar Rayhan.
"Ini, Den." Ujarnya sambil meletakkan tas di dekat ranjang.
"Eits, tunggu. Bawa ini ke ruangan itu, awas kalau sampai jatuh. Bisa pecah keramiknya, cepetan." Pintanya sambil menyodorkan barbel seberat 10 kilogram pada Nisa.
Dan benar saja, hampir saja benda itu terjatuh. Annisa tidak menyangka akan seberat itu. Apalagi bukan hanya satu, melainkan dua barbel yang harus dibawanya bersamaan.
"Cepetan. Aku nggak mau tahu, bawa itu dikedua tanganmu, sekarang." Titahnya.
Nisa hanya bisa mengangguk pasrah. Ia menatap nanar barbel yang harus dibawanya. Jangankan untuk mengangkat tinggi-tinggi, ia bahkan tak bisa mengangkatnya dari lantai jika harus dua sekaligus. Alhasil, Nisa mendorong sambil membungkuk.
Punya akal juga dia, batin Rayhan. Pemuda itu menahan tawa melihat Nisa yang mulai kewalahan karena kedua barbelnya menggelinding tak searah. Tawanya pecah saat Nisa yang sibuk mengarahkan barbel itu berkali-kali hampir tersungkur.
Dengan wajah merona, Nisa mencoba melanjutkan aksinya. Mengarahkan barbel-barbel itu ke kamar yang ada di ujung sana.
"Seneng banget lo, Ray? Bagi-bagi dong," ujar seorang pemuda seusia Rayhan sambil mendelik heran pada Nisa.
"Adududuh..." Nisa mencoba mengejar salah satu barbel yang menggelinding ke arah tangga. Bertepatan dengan seorang pemuda yang menyembul dan menahan barbel itu dengan sebelah kakinya.
"Huft, syukurlah." Nisa mengusap dadanya dengan posisi hampir bersimpuh.
"Terima kasih," ucap Nisa pelan. Baru saja ia hendak meraih barbel itu, pemuda tadi mendorong berlawanan arah dengan kakinya dan mau tak mau Nisa kembali mengejarnya.
"Good job, Gas." Rayhan mengacungkan kedua jempolnya sambil terkekeh. Seorang temannya ikut terkekeh sementara pria itu hanya menyeringai sinis, membuat wajah Nisa sangat merah menahan malu.
"Jadi nggak kempingnya, Ray?"
"Jadi dong," sahut Rayhan.
Ketiga pria muda itu masuk ke dalam kamar. Sekilas pemuda tadi menoleh pada anak perempuan berpenampilan sederhana yang sedang melanjutkan mendorong barbel-barbel itu sampai di tujuan.
***
Ada rumah sederhana di bagian depan villa itu. Rumah yang biasa digunakan sepasang suami istri penjaga villa tersebut. Yakni Bi Marni dan Mang Dayat, begitu biasa mereka disapa.
"Neng, ayo masuk. Ada goreng singkong sama teh hangat, enak loh dimakan dingin-dingin begini."
Annisa yang sedang asik menyaksikan Mang Asep membantu suami bibi tadi memberi makan ayam-ayam yang beragam jenisnya hanya mengangguk pelan. Namun karena dipanggil lagi, Nisa akhirnya menghampiri.
Tanpa diketahui Nisa, Mang Asep menatap sendu punggungnya. Sesaat pria itu terpaku dan kembali sadar karena teguran Mang Dayat.
"Jangan melamun sore-sore begini, pamali. Sudah besar ya dia," ujar Mang Dayat. Asep terperanjak dan menatap heran pada Mang Dayat.
"Sekali lihat juga Emang sama Bibi sudah tahu kalau itu dia. Syukurlah jika akhirnya Agan memutuskan untuk merangkulnya." Ujarnya lagi tanpa menoleh. Membuat Asep hanya bisa menunduk tanpa mampu berkata-kata.
"Teh Asih sudah meninggal, Kang." Ujarnya pelan.
"Innalillahi wa innailaihirojiun, pantas saja. Selalu terselip berkah di setiap ujian yang diberikan Gusti Allah," sahut Mang Dayat. Kali ini Asep mengangguk.
"Istrimu kenapa tidak ikut?"
"Dia pulang dulu, Kang. Mengurus semuanya di kampung. Kasihan almarhumah Asih kalau sama sekali tidak ada tahlilan. Dia sudah berjasa besar selama ini," sahut Asep.
Pria yang sudah mulai berumur itu hanya tersenyum tipis sambil menggangguk pelan.
Menjelang malam, mereka mulai disibukkan dengan acara makan malam bersama. Selain keluarga Adisurya, ada juga dokter Rika ibunda Ghaisan (Agas) yang merupakan sahabat Adisurya dan juga Rianti.
"Tante, nginep dong. Tidur sama Dita aja ya," pinta Dita.
"Maaf, Sayang. Tante harus piket pagi besok. Lain kali ya," sahut Rika.
"Iya deh." Raydita terlihat kecewa.
"Dit, katanya kamu mau ikut kemping. Jadi nggak?" tanya Raka, sahabat Rayhan.
"Pengen sih, tapi males kalau harus ngajak dia," tunjuk Dita pada Nisa dengan ujung matanya.
"Ajak saja. Lumayankan," sahut Rayhan dengan alis yang terangkat dan senyum penuh arti pada Raka.
"Lumayan apanya, Han? Tante dengar katanya papamu mengangkat dia jadi anak," tanya Rika.
"Oh ya? Saudara Lo dong, Ray." Raka tersenyum menggoda.
"Saudara apanya? Lumayan lah Tan, ada yang bisa disuruh-suruh. Itu kan gunanya pembantu," seringai Rayhan.
"Jangan begitu ah. Siapa nama kamu?"
"Nisa, Nyonya." Sahutnya pelan.
"Jangan panggil Nyonya. Panggil saja Bu Dokter," sahut Rika.
Belum sempat Nisa menjawab, Rianti yang baru tiba di ruang makan meminta Nisa dan Hani meninggalkan ruangan tersebut.
"Saya mau Bi Marni yang menghidangkan makanan. Kalian membantu di dapur saja, terutama kamu. Ish, ketularan udiknya nanti anak-anak saya." Decihnya.
Nisa dan Hani mengangguk hormat dan berlalu meninggalkan ruang makan. Mereka berpapasan dengan Papa Adi di ambang pintu.
"Kamu juga makan ya." Ujarnya sambil mengacak pelan pucuk kepala Annisa.
Annisa tertegun mendapat perlakuan seperti itu. Seumur hidupnya, ini kali pertama ada yang memperlakukan dirinya sehangat itu, selain almarhumah sang ibu tentunya.
Apa mungkin begini ya, rasanya punya seorang ayah. Batinnya.
"Sudah sana ke dapur," usir Rianti membuyarkan ketertegunan Annisa. Gadis muda itu hanya bisa mengangguk pelan sambil mengulumkan senyuman.
"Aneh. Diusir kok malah senyum," gerutu Rianti pelan.
_bersambung_
Akankah Raydita mengajak Nisa ke tempat kemping?
Dan Rayhan, punya rencana apa ya kira-kira dia?
Nantikan episode selanjutnya ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
Hertjina Saselah
bpk adisurya bersikap lembut karna itu kan anaknya iya kan thor ?????? he he he ha ha ha ha hi hi hi
2021-08-24
0
Rhina sri
yg sabar anisa... km wanita yg paling kuat
2021-07-31
0
Bintang kejora
Syg sekali sikapnya Rianti tdk spt suaminya. Kasian Annisa...
2021-07-29
0