Happy reading...
🌿
**"Yaah, ayah... Di sini, Yah. Ayah mau kemana? Jangan tinggalkan dedek sendiri. Yaah..."**
Adisurya terperanjak dan langsung terduduk dari tidurnya. Ia mencoba mengatur deru nafasnya yang terengah. Sambil mengusap keningnya yang berkeringat dingin, pria itu menoleh pada istrinya yang terlelap, kemudian mengusap kasar wajahnya.
"Lagi-lagi mimpi itu." Gumamnya.
Ya, mimpi yang sama yang sering ia alami beberapa bulan terakhir ini. Mimpi yang membuatnya tidak bisa tertidur lelap dan mulai merasa gelisah.
Adisurya menatap ragu pada ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Namun kemudian, ia meraihnya dan menghubungi seseorang.
📱 "....."
📱 "Cari tahu tentang anak itu. Secepatnya," titah Adisurya.
Sesaat ia termenung. Memikirkan sesuatu yang ingin segera didengarnya. Tak lama helaan nafas kasar dibuangnya, lalu menunduk sangat dalam.
"Maafkan ayah, Nak." Gumamnya.
Adisurya kembali merebahkan diri. Mencoba meraih ketenangan diantara kegundahan yang saat ini dirasakannya.
***
Sementara itu di tempat lain...
Semilir angin malam terasa sejuk menenangkan jiwa. Bintang-bintang bertebaran menambah indahnya pesona malam yang gulita.
Dari balik kaca jendela Nisa menatap pesona malam itu sambil memelut erat kedua lututnya. Sesekali ia menoleh pada ibunya yang terbaring lemah berbalutkan selimut seadanya.
"Ya Robb, apa yang harus Nisa lakukan? Hanya Engkau Yang Maha Penolong, berilah kesembuhan pada Ibu! Nisa mohon..." Batinnya memelas bersamaan dengan ujung matanya yang meneteskan air mata.
Sudah lama Bu Asih mengeluhkan sakit. Namun ia memaksakan diri bekerja di kebun tetangga. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk makan dan ongkos Nisa pergi ke sekolah. Seminggu ini Bu Asih benar-benar menyerah, ia tidak sanggup lagi bangun dari tidurnya. Dan selama seminggu ini mereka makan dari pemberian tetangga.
Uhhuk... Uhhuk...
Dengan cepat Nisa beranjak mengambilkan minum untuk ibunya.
"Ini, Bu. Minum dulu," ucap Nisa.
"Kamu belum tidur, Nak?" tanya Bu Asih yang sudah terduduk dan meminum air yang disodorkan putrinya.
"Belum, Bu."
"Tidurlah, Nis. Besok kan kamu harus sekolah. Jangan sampai bangun kesiangan dan membuat Yuli menunggu. Tidak enak sama Pak Indra." Ujarnya.
"Besok kita ke Puskesmas lagi ya, Bu. Nisa akan izin dulu nggak sekolah. Supaya Ibu ada yang menemani," ujar Annisa sambil menatap sendu wajah ibunya yang lesu.
Bu Asih menggeleng pelan.
"Ibu bisa diantar Bi Titin, Kamu harus sekolah ya... Mumpung ada yang mengantar," ucap Bu Asih dengan suara yang lemah.
Nisa mau tak mau menyanggupi permintaan ibunya. Beberapa hari ini, ia ikut nebeng dengan motor Pak Indra, ayah Yuli.
Sesaat kemudian, Nisa mulai terlelap. Meringkuk di samping ibunya, dengan beralaskan kasur tipis yang sama sekali tidak memberinya rasa nyaman.
Asih menatap sendu pada wajah Nisa yang sudah terlelap. Ia mulai khawatir pada kehidupan Nisa jika kemungkinan terburuk terjadi pada dirinya. Akan seperti apa nasib putrinya nanti. Tidak seharusnya di usia yang masih belia, Annisa merasakan kehidupan sepahit ini.
"Malang sekali nasibmu, Nak. Maafkan Ibu yang tidak bisa memberimu kehidupan yang layak. Ibu benar-benar minta maaf, Nis. Semoga saja Gusti Allah membukakan pintu hati Agan dan membawamu pergi dari kemiskinan ini. Supaya kamu bisa hidup sebagaimana mestinya." Ucapnya sambil menahan isakan.
***
Cicitan burung mengusik tidur Nisa pagi ini. Gadis itu terhenyak melihat sinar mentari sudah bersinar terang di balik tirai jendela rumahnya. Saat melihat jam di dinding, ia semakin terperanjat karena waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih.
Nisa bergegas ke kamar mandi dan hanya sempat mencuci muka, karena tidak sempat menimba air. Dan waktu yang dimilikinya pun tidak memungkinkan untuk menimba.
"Bagaimana ini? Aku belum memasak air untuk minum ibu." Gumamnya pelan.
Nisa menoleh pada ibunya yang masih terbaring. Diambilnya cangkir berpenutup yang biasa digunakan ibunya. Nisa berlari ke rumah tetangga, ia berniat meminta air panas untuk menghangatkan minum sang ibu.
"Hari ini kamu kesiangan, Nis? Pantas saja Bibi belum melihatmu menimba air," ujar Bi Titin tetangga Nisa.
"Iya, Bi. Semalam Nisa sulit tidur. Terima kasih ya, Bi. Nisa mau siap-siap berangkat ke sekolah."
"Tunggu, Nis! Ini, bawa untuk sarapan Ibumu. Kamu juga harus sarapan. Kalau uang, Bibi nggak bisa ngasih," ujar Bi Titin sambil menyodorkan semangkuk singkong rebus yang sudah ditaburi parutan kelapa.
"Terima kasih, Bi. Jazakallah, hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Bibi selama ini. Maaf, Nisa selalu merepotkan." Ucapnya dengan kepala yang tertunduk.
"Kamu ini ngomong apa sih, Nis? Sudah sana bersiap! Kamu bareng sama Yuli kan perginya?"
"Iya, Bi. Nisa pulang dulu ya. Nanti nitip ibu," pamit Annisa yang dijawab anggukan oleh Bi Titin.
Bi Titin menatap sendu pada punggung Nisa. Ia benar-benar merasa iba dengan garis kehidupan yang dilalui gadis itu bersama Asih, ibunya.
Annisa dan ibunya tinggal di rumah yang sangat sederhana. Hanya ada satu ruangan yang luasnya tidak lebih dari dua puluh meter persegi dengan kamar mandi kecil dan sumur di sampingnya.
Hanya ada satu ranjang berukuran sedang dengan kasur lantai sebagai alasnya. Lemari usang ada di salah satu sisi ruangan itu. Selebihnya, tidak ada apapun selain peralatan makan seadanya dan juga tungku perapian yang biasa mereka gunakan.
Setibanya di rumah, Annisa menghampiri ibunya. Diusapnya lembut punggung wanita renta yang sedang terbaring lemah itu.
"Bu, maaf Nisa bangun kesiangan. Ibu mau ke kamar mandi? Diminum dulu air hangatnya, Bu. Ini juga ada singkong rebus dari Bibi. Sarapan ya, Bu." Ujarnya.
Hening, tidak ada jawaban dari Bu Asih. Wanita itu masih dengan posisi tidurnya yang membelakangi Annisa.
"Bu, Ibu... Ibu masih tidur?" Nisa mencoba melihat pada wajah ibunya. Entah mengapa tiba-tiba saja ia merasa hari ini sikap ibunya tidak seperti biasanya.
Annisa meraih tangan ibunya. Ia terhenyak saat merasakan tangan itu sangat dingin. Raut wajah Nisa yang menegang kini jadi memucat. Berkali-kali ia memastikan suhu tubuh ibunya.
"Kenapa dingin sekali? Tidak mungkin kan kalau Ibu..." Gumamnya. Annisa pun mencoba membangunkan ibunya dengan menguncang pelan bahunya.
"Bu, Ibu. Bangun, Bu! Ibu harus sarapan. Ibu harus melihat Nisa pergi ke sekolah. Bangun, Bu! Jangan tinggalkan Nisa sendirian. Nisa mohon... Bangun, Bu. Hiks, hiks..."
Annisa terisak sambil membenamkan wajah di dada ibunya. Merasakan betapa sesak dadanya saat ini. Tidak mungkin ibu yang sangat mengasihinya pergi secepat ini.
"Tidak, Bu. Jangan tinggalkan Nisa. Nisa tidak mau sendirian... Bu, bangun. Nisa mohon..." Tangisnya yang menggema terdengar memilukan.
_bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
Dhesy
waaah baru mulai membaca uda mulai ada bawang aja ni😥
2022-11-02
0
🌷𝙈𝙗𝙖 𝙔𝙪𝙡 ☪
😩😩😩😩😩😩
2021-11-22
0
hhaannii
wahhh
2021-10-15
0