Happy reading...
🌿
Semakin malam, suasana semakin sepi. Meski ada sedikit penerangan, tetap saja terasa mencekam. Udara sangatlah dingin, hingga uap terlihat dari mulut yang ditiupkan.
Annisa tak menyangka, Dita akan bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tanpa iba, saudari angkatnya itu membiarkannya seorang diri di luar tenda.
Sayup-sayup terdengar dengkuran halus dari dalam tenda. Annisa hanya bisa menatap nanar bara api unggun yang sedari tadi setia menemaninya. Ia mencoba untuk memejamkan mata. Mengusir rasa takut dengan lantunan doa.
"Ehhem."
Deheman pelan mengagetkan Nisa yang baru saja akan terlelap. Seketika bulu kuduknya berdiri, tanpa berani menoleh ke arah suara.
"Eh, malah diam. Nih pakai," ujar seorang pria.
Kalau nggak salah, ini kan suara Kak Agas. Gumamnya.
Benar saja, Agas berdiri di belakangnya dan menghempaskan sleeping bag di samping Nisa. Nisa menatap Agas dan sleeping bag itu bergantian. Ia bingung dengan maksud pria tersebut.
"Kak..."
"Pakai itu. Berabe urusannya kalau Lo sampai sakit. Om Adi bisa marah," ujar Agas datar sambil menggeser sleeping bag itu dengan kakinya.
"Terima kasih, Kak." Dengan senang hati Nisa menerimanya. Tanpa basa-basi lagi, ia menggunakannya.
Tak lama Nisa tertegun, melihat Agas membawa beberapa kayu bakar yang memang sudah tersedia. Pria itu terduduk sambil meletakkan kayu-kayu diatas bara.
"Kakak tidak tidur?"
Hening, tak ada jawaban dari pria yang diajaknya bicara. Nisa akhirnya mulai berbaring menyembunyikan tubuhnya di dalam sleeping bag itu sambil menatap Agas.
Untuk beberapa saat, Nisa mencoba tetap terjaga. Ia bermaksud menemani Ghaisan yang telah merelakan sleeping bag yang kini dikenakannya. Namun karena rasa kantuk yang tak tertahankan, Nisa pun mulai terpejam.
Di tempat lain...
Adisurya belum bisa memejamkan mata. Tatapan nanarnya tertuju pada langit-langit kamar. Sesekali ia mengusap pucuk kepala Rianti yang terlelap di bagian samping dadanya.
Dalam ketertegunannya, Adisurya mengenang beberapa penggalan kenangan dari masa lalunya.
"Tidaak! Itu bukan bayiku, Mas. Anak kita tidak mungkin seperti itu! Jauhkan dia dariku, Mas!"
"Adi, kamu yakin akan melakukannya? Bagaimanapun juga bayi itu darah dagingmu."
"Rika, kamu tahu kan. Rianti segalanya bagiku. Jika ini bisa membuat keadaan Rianti menjadi lebih baik, aku akan melakukannya."
Satu helaan nafas dibuang kasar Adisurya. Ia mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan bayangan yang berkelebatan di depannya.
Maafkan Ayah, Nak. Batinnya.
***
"Ayahmu orang yang sangat baik. Dia sosok pekerja keras, dan yang terpenting... dia sangat mencintaimu. Sangat mencintaimu, Nisa..."
Annisa terperanjak, kalimat terakhir dalam mimpinya itu terdengar menggema. Kalimat yang sama, yang selalu dikatakan almarhumah ibunya saat ia bertanya tentang bagaimana sosok Ayahnya yang telah tiada.
Samar-samar terdengar suara azan subuh. Nisa beringsut dan tertegun melihat Agas yang tertidur sambil memeluk kedua lututnya.
"Kak Agas pasti kedinginan," gumam Nisa yang menatap bekas bara api unggun semalam.
"Haruskah kubangunkan saja dan memintanya tidur di sini?" Gumamnya lagi.
Nisa beranjak dan berjalan perlahan ke kamar mandi. Tempat itu biasa dijadikan tempat berkemah, tak heran jika tidak terlalu sulit menemukan apa yang mereka butuhkan di sana. Bahkan kayu bakar pun ada yang menjualnya walaupun agak jauh dari tempat mereka saat ini.
Setelah selesai salat, Nisa berlalu mengambil beberapa kayu bakar. Meski sulit karena kayu basah oleh embun, Annisa tetap mencobanya. Alhasil, bukan api yang dihasilkan. Melainkan kepulan asap yang mengusik tidur Ghaisan.
"Uhhuk ... uhhuk."
Nisa menoleh dan tersenyum ketir melihat delikan Ghaisan. Pria muda itu mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir asap dari penciumannya.
"Lo ngapain sih? Bikin orang engap aja," deliknya.
"Kakak kedinginan ya? Maaf, Nisa sedang mencoba menyalakan apinya supaya Kak Agas tidak kedinginan."
"Terus, nyala nggak apinya?" tanya Agas sinis.
"Enggak," geleng Nisa pelan.
Agas mendengus kesal sambil mengusap wajahnya. Sekilas ia melihat pada Nisa yang masih berusaha menyalakan api.
"Eh, Lo tiup sampai ngos-ngosan juga nggak bakalan nyala itu api. Lagian juga Lo salah ngambil kayu. Ambil yang di belakang tenda itu. Yang ditutup plastik. Cepetan!"
Nisa menuruti perintah Ghaisan. Diambilnya beberapa kayu kering yang tertutup plastik itu.
Perlahan nyala api mulai terlihat, menghadirkan seulas senyum di wajah Annisa.
"Kak Agas tidur lagi aja di sana. Nisa nggak akan tidur kok. Nisa akan memasak air," ujarnya sembari menunjuk ke arah sleeping bag.
"Suka-suka gue mau di mana juga. Sok ngatur-ngatur segala," deliknya.
Nisa hanya tertunduk. Ia mulai menjaga jarak dengan Agas dan berlalu menuju sungai.
"Akh, segarnya ..."
"Hei, dari mana asalmu?" sapa seseorang yang berada tak jauh darinya.
Nisa terperanjak. Seingatnya, tadi tidak ada siapa-siapa di sana.
Apa mungkin ini yang namanya Jin Tomang? batinnya.
"Hei... nama kamu siapa? Perkenalkan, namaku Yuda. Aku dan teman-temanku berkemah di sana." Tunjuknya.
"A-aku, Nisa. Annisa ..."
"Salam kenal," ujar anak laki-laki seusia Nisa sambil mengulurkan tangannya.
"Salam kenal juga." Sahutnya.
"Woi, buruan! Malah pacaran," pekik Agas.
"Itu, pacar kamu ya?" tanya Yuda pelan.
"Bukan," geleng Nisa.
"Aku permisi dulu ya," ucapnya kemudian.
"Oke. Sampai jumpa lagi."
Tanpa menoleh, Nisa bergegas menghampiri Ghaisan. Teman dekat Rayhan itu mendelikkan matanya menatap Nisa yang tergopoh-gopoh menghampiri dirinya.
"Ada apa, Kak?"
"Malah nanya? Bukannya kamu tadi bilang mau masak air?" hardiknya.
"Iya, ya. Maaf, lupa."
Sekilas Nisa mendengar dengusan Agas. Ia tersenyum ketir mengingat tak ada satu pun dari mereka yang mau bersikap baik padanya.
***
Udara pegunungan masih sangat terasa walau matahari mulai meninggi. Rayhan dan teman-temannya menjalankan rencana mereka yakni menjajal alam dengan berarung jeram.
Raydita, Rayhan, dan kedua temannya pergi, meninggalkan Annisa seorang diri. Tak ingin merasakan kecewa berkepanjangan, Nisa memutuskan untuk jalan-jalan.
"Itu kan, cowok yang tadi." Gumamnya.
"Hei, Nisa! Sini, gabung sama kita!" pekik Yuda sambil melambaikan tangannya.
"Tidak, terima kasih." Sahutnya pelan sambil menggeleng.
Nisa melangkah berlawanan arah menjauhi tempat Yuda dan teman-temannya.
"Bu, pemandangan di sini indah sekali." Gumamnya yang menatap kagum hemparan pohon teh yang tertata rapi.
Dari tempatnya berdiri, Nisa melihat beberapa ibu yang mengenakan caping sedang memetik teh sambil bersenda gurau. Tiba-tiba saja bayangan ibunya yang sedang melakukan hal yang sama berkelebat di depan Nisa. Membuat Nisa yang larut dalam lamunan menyunggingkan senyuman.
"Bu, Nisa rindu ..." lirihnya.
_bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
Rhina sri
jadi nisa di tukar sm dita karna nisa cacat😢
2021-07-31
1
piyak 🐣🐣
oh jadi nisa ank kandung andi surya sama rianti,,, dan rianti tidak mau mengakui nya,,, terus nisa d asuh ma ibu angkatnya yng udah meninggal ,,, penuh misteri kusahmu nisa ,, 😁😁😁
2021-05-14
3
Aldiano Ambomasse
lnjot
2021-05-13
0