Happy reading...
🌿
Awan kelabu menggelayut di hamparan langit yang luas. Desiran angin yang membawanya seolah mengarahkan tata letak di mana awan itu harus menjatuhkan butiran air yang dibawanya.
Suara gemericik air yang memantul di permukaan tanah berpadu dengan isak tangis seorang gadis remaja. Suara air itu mengiringi isak tangis Annisa yang tengah bersimpuh dihadapan gundukan tanah yang masih merah. Isakannya terdengar memilukan, mengiris hati siapa saja yang mendengarnya.
"Nis, pulang yuk. Hujannya semakin deras," bujuk Bi Titin lembut entah sudah yang keberapa kalinya.
"Nggak mau, Bi. Di rumah juga tidak ada siapa-siapa. Nisa mau bersama ibu di sini." Isaknya sambil menggeleng pelan.
"Sabar ya, Nis. Ibumu sudah tenang di sisi Gusti Allah. Jangan diratapi," ujar Bi Titin sambil menyeka air matanya.
"Nisa mau Ibu, Bi. Nisa tidak mau sendiri, hiks hiks. Bu... jangan tinggalkan Nisa." Lirihnya.
Bi Titin tidak bisa berbuat apa. Diusapnya punggung Annisa dengan lembut sambil tetap memayunginya. Ia menoleh pada beberapa orang yang menunggu di bagian lain area pemakaman. Menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa Annisa masih belum bisa dibujuk untuk pulang.
Seorang remaja bersama ibunya datang menghampiri, mencoba membujuk Annisa yang bahkan tidak perduli akan tanah yang mengotori bajunya.
"Nisa, pulang ke rumah Ibu yuk! Ada Yuli yang akan menemanimu. Kamu bisa tinggal bersama kami, Nak." Bujuknya lembut.
"Iya, Nis. Kita bisa berbagi kamar dan berangkat sekolah bersama. Jangan larut dalam kesedihan ya, Nis. Ikhlaskan ibumu," ucap Yuli menimpali ucapan sang ibu.
"Sekarang aku sendiri, Yul. Aku nggak punya siapa-siapa," sahut Nisa sambil mengusap wajah sembabnya.
"Ada Ibu, Nisa. Ada Yuli, Bi Titin juga. Iya kan, Bi?"
"Iya, Nis. Kamu tidak sendiri," sahut Bi Titin.
Allahu akbar, Allaahu akbar!
Allaahu akbar, Allaahu akbar!
Asyhadu allaa illaaha illallaah.
Asyhadu allaa illaaha illallaah.
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.
Hayya 'alashshalaah.
Hayya 'alashshalaah.
Hayya 'alalfalaah.
Hayya 'alalfalaah.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.
Laa ilaaha illallaah.
Kumandang adzan ashar menggema dari masjid yang letaknya tidak jauh dari area pemakaman. Memanggil satu persatu orang-orang yang tadi mengantar jenazah Bu Asih ke pemakaman, tidak terkecuali Annisa.
Dengan berat hati, Annisa meninggalkan tanah merah yang basah dengan taburan bunga di atasnya. Sendu ia menatap batu nisan bertuliskan nama ibunya.
Lagi-lagi ia menyeka air mata yang tumpah begitu saja di pipinya. Annisa bahkan tidak tahu bagaimana menghentikan derai air matanya sendiri.
"Bu, Nisa pulang ya... Besok Nisa ke sini lagi." Lirihnya sambil mengusap lembut nisan ibunya.
Bi Titin membantu Annisa berdiri. Dengan sabar ia menemani gadis remaja itu hingga sampai di rumah. Annisa menolak tinggal di rumah Pak Indra. Ia memilih tinggal sendiri di rumahnya. Rumah yang penuh dengan kenangan bersama almarhumah sang ibu.
***
Syahdu malam kian terasa. Tatkala lantunan ayat suci Al-quran menggema di rumah sederhana Annisa. Sesekali masih terdengar isakan dari sosok yang tengah bersimpuh itu. Saat mengadukan jalan hidupnya pada Sang Khalik pemilik alam semesta.
"Nisa, makan dulu." Bi Titin menghidangkan nasi dan lauk seadanya di atas tikar.
"Terima kasih, Bi." Ucapnya dengan suara yang parau.
"Ayo makan sini sama Bibi." Ajaknya.
Mau tak mau Annisa menuruti ajakan Bi Titin. Ia merasa tidak enak hati jika harus menyusahkan tetangganya tersebut. Dengan enggan Annisa menyuapkan makan malamnya. Wajah pucat dan sayu itu mamaksakan diri menelan nasi beserta lauknya.
"Bagaimana sekarang, Nis? Sekolahmu masih tetap akan dilanjutkan?" tanya Bi Titin.
"Nisa tidak tahu. Tapi sepertinya tidak akan, Bi. Nisa akan mencari pekerjaan saja," sahut Annisa yang tertunduk sangat dalam.
Isakan itu terdengar lagi, Bi Titin hanya bisa menatap pilu gadis yang kini sebatang kara tersebut. Ia ingin membantu. Namun apa daya ia sendiri serba kekurangan. Dan pekerjaan, memangnya pekerjaan apa yang bisa dilakukan anak seusia Annisa.
"Maaf, Bi. Nisa tidak bisa menghentikan air mata ini." Ucapnya sambil menyeka air mata.
"Yang sabar ya."
Annisa mengangguk pelan. Ia pasrah tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Ujian Nasional telah berlalu. Nisa hanya tinggal menunggu kelulusan dari sekolahnya.
Annisa bisa saja melanjutkan sekolahnya. Ada bantuan sekolah gratis dari pemerintah yang diberikan pada anak-anak di desa itu. Namun untuk keperluan lainnya, membeli perlengkapan sekolah juga ongkos serta belum lagi jika ada pengeluaran mendadak. Dari mana Annisa memperoleh uang untuk semua itu?
Kalaupun ada tetangga yang berbaik hati membantunya, mau sampai kapan? Bukankah hutang budi dibawa sampai mati?
Annisa hanya bisa pasrah menerima takdirnya. Tidak ada orang yang bisa dijadikannya pegangan. Mencari pekerjaan kini menjadi pilihan Annisa. Ia hanya perlu memenuhi kebutuhannya tanpa harus menyusahkan orang lain.
"Bibi tidur duluan nggak apa-apa, Nis?"
"Nggak apa-apa, Bi. Maaf merepotkan Bibi," ucap Nisa pelan.
"Tidak apa-apa. Ibumu sudah seperti saudara Bibi. Jangan terlalu malam tidurnya ya."
"Iya, Bi."
Sesaat hening. Annisa masih terduduk sambil memeluk kedua lututnya. Dengkuran halus mulai terdengar dari Bi Titin yang terlelap. Nampaknya wanita itu kelelahan setelah seharian ini mengurus segala hal yang menyangkut pemakaman.
"Bu... Hiks, kenapa Ibu meninggalkan Nisa?" Lirihnya dengan tatapan kosong.
Bayang-bayang sosok ibunya yang berlalu-lalang di rumah itu nampak bergelayut di pelupuk mata Annisa. Ibu yang selalau tegar menghadapi beratnya beban hidup di usia senjanya. Ibu yang selalu berusaha tersenyum di saat beban yang ditanggungnya teramat sangat berat. Ibu yang...
Annisa tak mampu lagi menahan air matanya. Ia kembali terisak mengenang sosok ibu yang meninggalkannya begitu saja.
Perlahan, rasa kantuk mulai datang. Terlebih, kelopak matanya yang bengkak sudah terasa sangat berat. Annisa mulai memejamkan mata. Bersiap untuk menyongsong hari esok yang entah akan bagaimana.
Baru saja Annisa akan terlelap. Namun tiba-tiba ia terperanjak. Suara pintu yang diketuk seketika membuat bulu kuduknya berdiri. Siapa orang yang bertamu di malam selarut ini?
Annisa menutup kedua telinganya sambil memejamkan mata. Saat ini ia benar-benar merasa takut membayangkan siapa yang ada di balik pintu rumahnya.
"Buka pintu."
Nisa tertegun mendengar suara seorang pria di luar sana. Ia semakin heran dan bertanya-tanya, siapa pria itu?
_bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
Ni made Rusmiati
😭😭😭
2021-08-25
0
Rhina sri
sedih aku bacanya 😢
2021-07-30
0
iza_melan🍁
malem2 ko mertamu, pasti suruannya adisurya bukan Thor?
tragis, blm apa2 dh ada yg terbujur kaku,,,, klo difilemkan cuman berapa adegan tok itu, numpang sliwer😁😁😅
tp mantab, tak bertele-tele .... lanjoet Thor ..
2021-07-16
0