Setelah menunaikan sholat magrib, Ibu bergegas kerumah adiknya. Dengan langkah berat ibu berjalan melewati jembatan, penghubung rumahnya dan rumah keluarga Zen. Bagaimana respon keluarga adiknya saat menerima keputusan ini. Apa mereka akan sampai hati memutus ikatan keluarga ini. Ibu sudah hanyut dalam pemikirannya sendiri.
" Alhamdulillah, Mbakyu kesini. Adikmu seharian ini rewel nyuruh aku kerumah Mbakyu lagi." Ucap Ibu Zen setelah mengetahui Ibu Nanalah yang datang.
Dengan hati yang senang karna kedatangan Mbakyu-nya. Ibu Zen mengganggengnya masuk untuk menemui suaminya yang m berbaring di ruang TV.
" Pak, ini lho mbakyu kesini." Ibu Zen menunjukan siapa yang datang pada suaminya.
Dalam ruangan itu, mereka berbincang ringan. Membahas hal-hal umum yang terjadi di desa mereka. Ibu masih menunggu momen untuk mengatakan tujuannya malam ini datang ke rumah adiknya.
" Mbakyu, tentang perjodohan genduk Nana sama Zen bagaimana?" Ditengah penantian momen, Ibu mendapat serangan dadakan dari Ayah Zen.
Cukup lama ibu terdiam, karna mendapatkan pertanyaan yang tiba-tiba Ibu menjadi lupa kata-kata yang sudah Ia siapakan sejak berada dirumah. Karna Ibu harus berhati-hati dalam memberikan jawaban. Jangan sampai ada kata-kata yang dapat menjadikan salah paham diantara kedua keluarga.
" Dek, sepurane sing akih Mbakyune iki (Mbakyu minta ma'af sebesar-besarnya). Bukan maksud Mbakyu untuk menolak kenang Zen. Tapi karna Nananya masih mau sekolah. Mbakyu sama kakangmu nggak bisa maksa."
Deg. Wajah Ayah Zen terlihat pias. Dengan tenaga yang lemah Ayah mengakat tangan kanannya, lalu dudekapkan pada dada. Melihat hal itu membuat tubuh Ibu Nana ikutan menjadi lemas. Apa yang tarjadi? Apakah dia akan disalahkan jika terjadi sesuatu pada adiknya itu.
Aku harus bagaimana ya Allah ? Ibu setengah mati ketakutan.
" Mbakyu... ini gimana?" Ibu Zen panik melihat suaminya yang tidak bergerak. " Pak ! ileng, Pak. Nyebuto, Pak !" Seru Ibu Zen pada suaminya agar memberinya respon.
" Astaghfirullah hal adzim..." Meski lirih, suara Ayah Zen tertangkap oleh telinga para Ibu.
Ayah Zen masih berusaha mengatur pernapasannya. Sedangkan Ibu Nana mematung ditempat duduknya. Suasana dirungan itu benar-benar tudak nyaman untuk Ibu Nana. Karna agak lama terjadi kebisuan diantara mereka bertiga.
" Kalau masalah kuliah Mbakyu nggak perlu hawatir. Aku nggak keberatan kalau setelah menikah genduk Nana tetap kuliah. Karna aku yang akan memastikannya sendiri Mbakyu..." Ucap Ayah Zen dengan nada tersengkal-sengkal. Sedikitpun Ia tidak ingin melepaskan Nana.
Sekarang ibu benar-benar merasa terjebak. Belum tau harus menjawab apa pada adiknya. Namun Ia takut, jika ucapannya justru malah akan memperburuk keadaan.
" Mbakyu, apa Mbakyu nggak kasihan lihat keadaan adik Mbakyu ini? " Ibu Zen menyentuh tangan suaminya. " Mbakyu sudah lihat bagaimana keadaan adik Mbakyu kan? Adikmu ini benar-benar mengharapkan genduk Nana untuk dijadikan menantu. Jadi tolong percayakan genduk Nana sama kami."
Baru kali ini Ibu merasa kuwalahan saat menolak lamaran yang datang untuk putri semata wayangnya. Ibu adalah tipe orang dengan hati yang lemah. Mudah tersentuh dan tidak tegaan. Dan entah beruntung atau buntung, sifat itu juga ada pada diri Nana.
" Begini aja ya, Dek. Lamaran Zen aku terima, tapi untuk sekarang ini biarkan Nana masuk kuliah dulu. Dan tolong perjodohan ini dirahasiakan, paling tidak sampai Nana mau menerimanya." Sebenarnya aku ngomong apa sih? Ibu Nana.
Orang tua Zen pun menyetujui permintaan Ibu Nana, yang sebenarnya merasa bingung dengan ucapannya sendiri.
Setelah dirasa tidak ada pembicaraan lagi, Ibu Nana pamit pulang. Selangkah demi selangkah ibu menyusuri jalan. Langkah kakinya terasa ringan, berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan di kepalanya.
Bagaimana cara ibu akan menjelaskan pada Ayah Nana tentang keputusan yang sudah terlanjur terucap. Dan bagaimana dia akan menghadapi Nana, yang lebih suka menyiksa dirinya sendiri saat merasa marah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments