Beralih dari Nana yang sedang meratapi ketidak jelasan nasibnya. Zen duduk di kursi ruang tamu sambil memotongi kuku jari yang sudah panjang untuk mengusir rasa gelisah, karna menunggu kedatangan Ibu yang sedang memperjuangkan masa depannya.
Melihat ekspresi Ibu yang sedikit murung saat memasuki rumah, terselip rasa kecewa dalam hati Zen. Apa aku ditolak? Pertanyaan pertama yang muncul dalam benaknya.
" Bagaimana, Bu? Mbakyu bilang apa?" Ayah meminta laporan kinerja ibu. Ibu berjalan menghampiri Ayah yang sedang duduk di kursi panjang ruang tamu, menikmati alat terapi di kakinya.
" Mbakyu bilangnya sih Nana belum punya calon, Pak." Ucapan Ibu melegakan hati Ayah, juga Zen yang pura-pura cuwek tidak peduli. Namun lesung dipipi kanannya tergambar jelas, tidak mampu lagi untuk menutupi kepura-puraannya.
" Tapi, Pak..." Seketika senyum dibibir tipis Zen menghilang. Terhapus oleh ucapan Ibu yang belum terselesaikan. " Mbakyu bilang, Nana mau kuliah dan belum ada niatan untuk menikah." Hawa-hawa penolakan santer dirasakan Zen.
" Zen." Kaget namanya dipanggil Ibu yang duduk di samping Ayah. Zen berhambur mendekat pada Ayah setelah melemparkan capitan kuku kemeja.
" Bapak kenapa?" Melihat Ayah yang terkulai lemas disandaran kursi, membuat Zen hawatir. Urat kesedihan terukir jelas diwajah pria setengah baya itu.
" Bapak sih... Bude kemarin kesini kan buat nawarin perpanjangan sewa tambak biat tambahan biaya kuliah mbak Nana. Eh, malah sekarang aku yang Bapak tawarkan ke Bude buat mbak Nana. Hehhe." Meski ada perasaan getir dalam hati, Zen tetap mencoba menghibur Ayah agar bersemangat lagi.
" Sebenarnya mbakyu belum ngasih keputusan, Pak. Mau diomongin dulu sama kang Munir katanya."
" Emangnya genduk Nana dirumah, bu?"
" Nggih, Pak. Udah seminggu katanya." Degg. Jantung Zen tersentak. Ada rasa penasaran begitu besar untuk mengetahui seperti apa Nana yang sudah mencuri hati Ayah. " Ayu tenan lho, Pak! Genduk Nananya." Lanjut Ibu setengah berbisik pada Ayah, namun matanya melirik pada Zen yang berada disisi lain samping Ayah.
" Haha. Pilihannya siapa dulu?" Ayah terlihat sedang membanggakan diri, lupa dengan pikiran yang sempat membuatnya drop. " Tadi Ibu sudah kasih tau wetonnya Zen ke Mbakyu toh?" Ayah memastikan apa yang sudah diwanti-wantikannya dilaksanakan oleh Ibu. Mengingat Ayah Nana merupakan salah satu sesepuh yang di segani di desa, dan sering diminta tolong untuk memperhitungkan kecocokan weton orang-orang yang akan menikah.
***
Semua bermula pada lebaran Idul Fitri tahun lalu. Dimana Nana datang kerumah keluarga Zen untuk melakukan sungkem, mumpung ada kesempatan pikirnya. Semenjak Ia sekolah di Lampung, Nana beberapa kali tidak mendapatkan kesempatan pulang ke kampung halaman disaat lebaran, karna bertepatan dengan ujian di sekolah.
Selesai Nana melakukan sungkem, dengan penasaran Ayah memperhatikan lekat Nana dari ujung hingga ujung lagi.
" Namamu siapa Nduk?"
" Nana, Paklek..." Mendengar Nana memanggilnya Paklek, membuat rasa penasarannya semakin bertambah.
" Kamu anaknya siapa?"
" Anaknya Bapak Munir, Ibu Aini." Ayah Zen mengangguk, meski masih belum dapat mengingat tentang lama.
" Oh, Iya. Anak bungsu kang Munir kan cewek. Udah gadis ya sekarang." Baru daat mengingat setelah Nana sudah berlalu. Dari kecil Nana memang gadis. Tapi gadis yang dimaksud disini adalah perempuan yang sudah beranjak dewasa dan siap untuk menikah.
Setelah kejadian itu, Ayah Zen selalu terkenang pertemuannya dengan Nana. Bersamaan saat Ia tengah memikirkan masa depan untuk Zen. Mungkinkah ini yang dinamakan mendapat wangsit?
Tanggung jawab yang diemban Zen sangatlah besar dalam keluarga. Membuat rasa bersalah teramat dalam dada Ayah, disaat melihat tubuh anaknya yang tidak begitu terawat.
Selain merawat dan memenuhi kebutuhan perawatannya, Zen juga memenuhi kebutuhan sekolah dan pesantren adiknya. Masih ditambah lagi harus membatu perekonomian kakak perempuannya yang sudah menjadi janda.
Tenggelam dalam tanggung jawab yang besar, membuat Zen tidak memiliki waktu untuk memikirkan dirinya sendiri. Apalagi mengenai bab pernikahan. Sama sekali tidak terbayang dalam keadaannya. Ini lah yang menjadi dasar Ayah untuk mencarikan pendamping hidup untuk anaknya. Dan hanya Nana lah selalu membayang dalam pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Dinda Kirana agustina
aduuuuh repot iaa... banyak tanggung ngan..
2021-04-18
1