Tepat satu minggu sebelum kedatangan Ibu kerumah orang tua Nana. Ayah meminta Zen untuk memanggil ibu yang masih melakukan aktivitas paginya.
" Rif, bangun." Pinta ibu pada adik Zen yang baru pulang semalam dari pesantren. Sebelum menghampiri Ayah.
Rif'an yang masih ketempelan rasa kantuk di matanya mengikuti Ibu ke ruang TV, dimana Ayah sedang berbaring dikasur yang memang disediakan untuk Ayah diruang itu. Rif'an menjatukan dirinya kembali di samping Ayah.
Sedangkan Ibu duduk di kramik dekat Ayah berbaring.
" Bapak nyariin Ibu? Apa mau minta di siapin sarapan sekarang ?"
" Nggak, bu... yang bapak inginkan sekarang melihat Zen menikah." Baru saja Zen mau ikut duduk disebelah Ibu, mendengar permintaan Ayah sudah seperti mendengar bledek diatas kepalanya.
" Emangnya mas Zen udah punya calon?"
Rif'an yang tadinya berniat untuk tidur lagi, tiba-tiba bangkit sangking penasarannya. Apa mungkin selama di pesantren dia telah melewatkan informasi penting ini. Karna yang dia tau kakaknya tidak pernah bergaul dengan perempuan seperti dirinya.
" Bapak ingin melamar genduk Nana buat mu, Zen..." Ayah tidak begitu menghiraukan pertanyaan Rif'an yang penasaran setengah mati.
Nana...
Siapa dia? Apakah aku mengenalnya? Seperti apa dia, sampai Bapak ingin menjadikannya menantu. Seribu tanya muncul dibenak Zen, namun tidak satupun mampu Ia ucapkan.
Eh ! Menantu? Istriku? Aku bakal punya istri ? Baru sadar kembali, jika bahan pembahasan mereka sekarang ini ialah tentang calon istri untuknya.
" Nana siapa, pak?" Berbeda dengan Zen, Rif'an dan ibu dengan lantang, seirama bagaikan paduan suara mempertanyakan tentang Nana.
Walau masih saudara dekat, Zen dan Nana sama sekali tidak saling mengenal. Bisa jadi karna usia mereka yang terpaut jauh dan sama-sama meninggalkan kampung halaman setelah menamatkan Sekolah Dasar. Bahkan keberadaan Nana cenderung terlupakan oleh kebanyakan orang yang tidak mengenalnya secara pribadi.
" Nana anaknya Pakde Munir, yang rumahnya seberang kali itu lho." Ayah menjelaskan, walau sebenarnya dia juga sempat melupakan tentang Nana hingga terakhir kali bertemu pada hari lebaran tahun kemarin.
Jarak rumah orang tua Nana dan keluarga Zen memang hanya dibentangkan oleh lebarnya kali. Karna selain pertanian tambak, nelayan merupakan profesi mayoritas warga didesa mereka.
Jika hubungan mereka berhasil, mungkin judul yang cocok untuk mewakili kisah cinta mereka adalah,
" Jodohku dibentangkan air kali" atau
" Cintaku diseberang kali" atau mungkin
" Kutemukan jodoh di seberang kali". Entahlah, biarkan saja mereka yang memilih. Toh ini kisah mereka, jadi biar suka-suka mereka menentukan judulnya. Heehe.
" Oh, mbak Nana toh..." Tentu saja Rif'an langsung mengingat Nana. Dulu saat Ia masih bermain bersama Hafid, kakak Nana dengan nomor urut empat, Nana sering nyamperin mereka.
Kali ini Zen kompak dengan ibu, yang hanya mengingat Nana sebagai anak perempuan satu-satunya di keluarga Pakde Munir. Dengan kisahnya yang sangat terkenal di desa. Kisah yang menyatakan Nana adalah anak emas. Padahal kenyataannya, Nana adalah anak Ayah dan Ibunya.
" Itu adalah keinginan terbesar bapak terhadapmu, Zen..." Ayah terdiam sejenak.
" Mumpung Bapak masih ada. Bapak mau melihatmu menikah." Kata-kata bapak seakan mendobrak hati mereka, mengingat berapa kali Bapak drop hingga tidak sadarkan diri dalam setahun.
" Apa harus dengan mbak Nana, Pak?" Zen yang tidah pernah membantah memberanikan diri bertanya.
" Ya walau dalam agama, pernikahan kami nggak diharamkan. Karna aku sama mbak Nana nggak berada dalam satu garis nasab. Tapi kalau nanti terjadi sesuatu yang nggak diinginkan, yang ada malah menjadikan renggangnya hubungan kekeluargaan kita, Pak."
Zen mencoba membuat Ayah mengurungkan keinginannya. Karna sepertinya dia belum merasa siap untuk menambah beban tanggung jawab dalam pundaknya. Sedangkan Rif'an berdoa dalam diamnya, agar kakak laki-lakinya itu tidak daat menawar lagi keinginan Ayah. Sehingga dia dapat mengenalkan gadis yang sedang Ia dekati sekarang ini pada orang tuanya.
" Lha apa kamu sudah punya calon sendiri? Sampai mau menolak pilihan Bapak."
Nggak mungkin. Sangat sangat nggak mungkin. Rif'an yang sedari tadi memberikan komentar meski hanya dalam batin.
" Enggak ada, Pak." Zen tertunduk, tidak sanggup melihat raut wajah kecewa ayah.
" Bagiku yang terpenting sekarang, Bapak sehat dulu. Masalah nikah, nanti juga pasti ada waktunya."
" Bapak juga nggak tau kenapa punya keyakinan sebesar ini pada genduk Nana, Zen." Selain rasa kecewa, rasa bersalahpun ikut memenuhi perasaan Ayah. Karna dirinya lah, Zen lupa untuk membahagiakan dirinya sendiri. " Kalau kamu nggak mau terima pilihan Bapak ya sudah. Bapak nggak bakalan memaksa kamu, karna kamu yang jalani."
" Aku manut, Pak... apapun itu, yang menurut Bapak terbaik buat aku." Zen menyerah, asalkan Ayahnya bahagia, apapun rela Ia lakukan.
" Alhamdulilllah...." Teriakan syukur Rif'an sambil mengangkat kedua tangan seperti sedang berdoa, mengagetkan semua orang.
Yang dicarikan istri siapa? Yang kegirangan siapa? Zen geleng-geleng kepala, melihat kelakuhan adiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments