Dany mengantar Nona pulang kerumahnya. Dalam perjalanan, Dany terus menggenggam tangan Nona.
"Terimakasih Nona."
"Untuk apa ?"
"Karena sudah memberi ku kesempatan untuk memilikimu seutuhnya."
Keduanya saling tatap-tatapan dan tersenyum.
Sesampainya dirumah Nona.
Sungguh Dany tak percaya Nona tinggal di rumah yang menurutnya sama sekali tidak layak huni.
"Ini rumah mu ?"
"Empp.. Bisa kamu buka bagasi mobil, aku ingin mengambil barang ku."
"Nona..."
"Iyaa."
"Bagaimana jika kamu tinggal di Apartemen saja."
Nona mengernyitkan alisnya tanpa menjawab.
"Aku yang akan menanggung semuanya, kamu tidak perlu pikirkan biaya Apartemen atau apa pun itu. Rumah ini..."
"Tidak Dany, terimakasih. Di rumah yang mungkin menurut mu tidak layak untuk di huni ini tersimpan kenangan indah ku bersama ayah ku. Aku harap kamu mengerti."
Dany menarik nafas panjang.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan menurunkan barang mu, kamu masuk saja."
Nona membuka pintu rumah dan masuk, membersihkan rumah yang sudah sedikit berdebu karena ditinggalkan selama 2 bulan lebih itu.
"Aku letakkan dimana barang-barang ini ?" Tanya Dany yang berdiri di ambang pintu.
"Oh disini saja." Nona ikut membantu, meraih tas ransel yang berisi bajunya untuk diletakkan di sembarang tempat. Rumah nya hanya persegi empat dengan hanya memiliki satu kamar, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi. Dan semuanya serba kecil.
"Kalau begitu aku pulang dulu."
Nona mengangguk semangat. "Terimakasih sudah membantu."
***
Nona menghela nafas lega, akhirnya dia kembali kerumahnya. Rumah di mana ia di besarkan dengan kasih sayang walau tanpa harta.
Dia melihat ke jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul 3:25 malam. Nona merebahkan diri di atas kasur. Lalu memejamkan matanya.
***
Tanpa semangat Anggara bergabung dengan keluarganya untuk sarapan pagi.
"Apa Nona sudah berangkat ?" Papa Anggara memastikan.
"Dia sudah pulang kerumahnya."
"Apa!"
"Dia bilang, dia bosan disini. Untuk sementara dia akan tinggal dirumahnya."
"Mama pikir dia pergi untuk selamanya." Sahut mama Anggara yang sempat senang untuk seperdetik karena Nona meninggalkan rumahnya.
"Alah, paling itu cuma alasan dia doang. Padahal biar dia lebih leluasa beduaan sama cowok nya. Yaa gak Nin." Imbuh Nanda.
"Yapp..." Nindi mengiyakan.
"Apa maksud kalian ?" Papa Anggara tidak mengerti dengan apa yang di katakan oleh putri kembar nya.
"Gadis kampung itu selalu berduaan dengan cowok kalau di sekolah pa. Maka nya papa jangan ketipu sama penampilannya yang polos. Gadis itu licik ! Udah tunangan sama kak Anggara tapi masih keganjenan sama cowok lain."
"Papa akan menemuinya dan berbicara dengannya."
"Biar aku saja !" Semua tatapan tertuju pada Anggara. Yang mereka tahu, Anggara sangat benci dengan Nona. Lalu mengapa dia dengan suka rela ingin menemui Nona dan berbicara dengannya.
***
Anggara tidak datang menemui Nona. Tidak juga memberikan surat yang dititipkan oleh Nona untuk papa nya.
Entah apa yang sedang ada dalam benak Anggara.
Dikantorpun dia lebih sering malamun. Pikiran tentang Nona terus terlintas dalam benaknya.
Hampir satu bulan berlalu, Anggara tak kuasa menahan rasa untuk bertemu dengan Nona. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menemui Nona.
Saat Anggara datang, Nona baru saja pulang bekerja.
Seperti biasa, dia kembali berjualan kue.
"Anggara .. Ngapain kamu kesini." Ada rasa tak percaya, menurutnya seorang Anggara tidak mungkin akan menemui dan berkunjung kerumahnya.
"Aku datang karena ada seauatu yang harus aku sampaikan."
"Hemmm, yasudah kalau gitu ayo masuk dulu. Tapi maaf rumahnya.."
"It's okay." Anggara masuk tanpa banyak komentar.
"Om apa kabar ?"
"Kurang baik."
"Kurang baik ? Om sakit ?"
Anggara mengangguk. Entah dari mana pemikiran untuk berbohong itu terlintas dalam kepalanya.
"Dia meminta kita untuk tetap menikah."
Kalimat itu keluar begitu saja tanpa direncanakan oleh Anggara.
"Tapi Anggara, aku..."
"Aku tahu kamu punya kehidupanmu sendiri, tapi papa ku sudah menaruh harapan besar padamu. Aku harap kamu tidak mengecewakannya."
"Tapi....."
"Kalau saja dulu kamu tidak menerima perjodohan ini. Mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi."
Kalimat itu membuat Nona merasa bersalah.
Nona menunduk.
"Berikan aku kesempatan untuk berfikir dulu."
"Baiklah, sebaiknya kamu fikirkan dulu. Paling tidak demi papa ku. Dan lagi, setelah menikah kita tidak akan tinggal dirumah ku. Kita akan tinggal di Apartemen. Aku paham, kita punya kehidupan masing-masing. Dan akan lebih leluasa jika kita tinggal di Apartemen saja."
Anggara pergi dari rumah Nona, meninggalkan Nona dengan pemikirannya. Memberi waktu bagi Nona untuk mengambil keputusan.
***
Keesokan harinya, tanpa kata menyerah. Anggara kembali kerumah Nona untuk mendapatkan jawabannya.
Tidak perlu menunggu lama untuk menunggu pintu itu terbuka, setelah ketukan ke dua. Nona membuka pintu dengan sedikit tergesa.
Tanpa menunggu izin dari Nona, Anggara langsung masuk kerumah Nona.
Dengan sekantong plastik hitam.
"Apa itu ?" Nona penasaran dengan bawaan Anggara itu.
"Apa kamu sudah mendapatkan jawabannya ?"
Nona menggeleng.
"Baiklah."
Anggara duduk dan mengeluarkan isi dari plastik tersebut. Dan disana terdapat pacokan pintu, bohlam dengan ukuran watt yang besar dan sebagainya.
"Keamanan disini kurang, jadi aku membeli ini. Apa kamu punya palu ?"
Nona menggeleng dengan raut wajah yang masih kebingunan.
"Sudah aku duga. Cepat ganti pakaian, kita akan membeli palu."
"Kenapa tidak langsung kamu beli saja tadi kalau kamu sudah menduganya."
"Ayo cepat."
Anggara bangkit dari tempat duduk nya dan memilih untuk menunggu didalam mobilnya.
Tak lama, Nona keluar dari rumah dan masuk kedalam mobil Anggara.
Tak perlu lama bagi Nona untuk bersiap. Karena dia tidak pernah berdandan. Nona selalu tampil apa adanya.
***
Anggara berhenti di depan mall besar.
"Kenapa kesini ?" Nona bingung, jika hanya membeli palu, kenapa harus ke mall. Bukannya ke toko bangunan.
"Disini menjual apa pun yang kita butuhkan."
Anggara turun, lalu membukakan pintu untuk Nona.
Mereka berjalan menelusuri mall.
Setelah mendapatkan apa yang mereka butuhkan, Anggara mengajak Nona untuk berkeliling mall dan mendapatkan persetujuan dari Nona.
"Jika ada yang kamu inginkan, ambil saja." Ini kalimat yang sudah sangat biasa Anggara lontarkan saat berjalan dengan wanita.
"Tidak terimakasih." Dan ini, kalimat yang belum pernah di dengar oleh Anggara dari wanita.
Langkah Nona terhenti di depan butiq mewah.
"Kamu mau membeli baju ?"
Namun tak ada jawaban dari Nona, raut wajahnya berubah. Membuat Anggara penasaran dan ikut melihat apa yang jadi pusat perhatian Nona.
Ternyata di dalam sana. Dany sedang bersama gadis lain.
Air mata Nona menetes begitu saja.
"Apa kamu butuh ini ?" Anggara menawarkan palu yang berada di tangannya. Tentu saja itu hanya lelucon.
NEXT>>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments