"Ting ... terdengar suara bel berbunyi," ucap Reka.
"Biarkan aku saja yang membuka pintunya," kata Reka kepada Devan.
Devan terlihat lemas dan hanya bisa terdiam di sofa.
"Diam di tempat! Ini Agen Rahasia Negara menunjukkan sikap sedikit mencurigakan maka pistol ini akan melubangi kepala gadis ini," dia menunjukkan kartu resmi ARN miliknya.
"Umm ... Umm ... Devan, lari ... Jangan pedulikan aku!" teriak Reka. Dengan tangan diborgol dan penyumbat mulut, dia berusaha keras untuk berteriak.
"Diam kamu! Bicara satu kali lagi, kamu akan merasakan pistol ini," mengarahkan pistol di leher Reka.
"Tunggu ... Aku menyerah. Aku berjanji tak akan melawan. Jika kamu mau menembakku sekarang atau membunuhku, silakan. Asal lepaskan gadis itu," kata Devan sambil mengangkat kedua tangannya.
Dor ... Dor ... 2 peluru menancap di tubuh Devan.
"Haha, apa kau pikir 2 peluru cukup ..."
"Hah, kenapa tubuhku terasa sangat berat? Apa yang kau lakukan, Reka? Reka ..." kedua tangan Devan menjulur ke depan, berusaha menggapai Reka.
"Kau tidak sedang berada dalam keadaan memilih, King." Dor ... Dor ... 2 peluru ditembakkan lagi ke tubuh Devan.
"Kapten, bukankah satu peluru cukup untuk menenangkan seekor singa yang mengamuk? Bagaimana mungkin dia masih bisa bertahan setelah mendapat 4 peluru itu?" ucap salah satu anggota ARN.
"Diam, aku juga mengetahui itu. Berdasarkan informasi, pria itu abadi, jadi percuma jika langsung membabi buta menembakinya," ucap pria ARN yang merupakan ketua dari tim itu.
"Umm ... umm ... Devan ..." teriak Reka, meronta berusaha melepaskan diri.
"Gadis ini sangat berisik, cepat urus dia dan bawa dia juga." Jarum itu menembus leher Reka, membuat dia pingsan saat itu juga.
...***...
Pria dengan jas lab itu mendekati Devan, yang saat itu masih pingsan dengan keadaan terlentang dan kedua tangan serta tubuh terikat oleh baja.
"Selamat pagi, anak muda. Kik ... kik ... kik ..." sembari menekan sebuah tombol yang membuat tubuh Devan tersengat listrik bertegangan tinggi.
"Argh ..."
"Stttt ... stttt diam dulu, jika kamu mencoba kabur atau berusaha menggunakan kekuatan spiritualmu, maka sensor gelombang otak yang ada di kepalamu akan otomatis meledakkanmu dan gadis yang ada di sana saat itu juga. Kik ... kik ... kik ..." menunjuk Reka yang saat itu berada di ruangan terpisah dari Devan.
Kata-katanya terdengar samar di telinga Devan. Dengan setengah sadar, Devan mendengar ocehan pria dengan jas lab tersebut. Tak lama kemudian, pria dengan jas lab itu keluar dari ruangan Devan yang hanya berukuran 2 × 3 meter.
"Devan, cepat kabur dari sini! Jangan pedulikan aku! Dengan kekuatanmu pasti bisa dengan mudah keluar dari sini," teriak Reka yang hanya berjarak satu meter dari ruangannya.
"Reka, maafkan aku. Aku memang tak berguna, aku hanyalah sampah yang kebetulan memiliki sedikit kekuatan. Maafkan aku, Reka. Aku tak layak menjadi raja. Sampai akhir pun aku ..." ucap pasrah Devan dengan suara lirihnya mencoba sekuat tenaga untuk berbicara.
"Tidak, kamu tidak salah, Devan. Tapi dunia ini yang salah. Jangan mengatakan hal yang menyedihkan seperti itu. Tidak, kamu tak bersalah," Reka hanya bisa memukul tembok baja dengan sekuat tenaga dan terjatuh karenanya.
Pria dengan jas lab datang dengan membawa sebuah koper hitam mendekati Devan.
"Apa aku mengganggu reuni kalian? Kik ... kik ... kik ..." pria itu mengeluarkan sebuah alat-alat kedokteran dari koper hitam itu.
"Tapi tunggu dulu, sebelum kita mulai acara utamanya, setidaknya lihatlah ini," menunjukkan smartphone-nya kepada Devan.
"Lihatlah, dengan tuduhan pembunuhan massal, pencurian, eksploitasi manusia, perdagangan gelap, serta pemerkosaan, akhirnya kamu ditangkap. Kasihan sekali, bahkan kamu sudah divonis hukuman mati saat ini. Lihatlah, lihatlah, bukankah ini orang-orang yang kamu bebaskan dari para preman itu? Bahkan mereka sekarang mengutukmu dan berdemo ingin kamu dieksekusi sekarang juga. Kik ... kik ... kik ..." menunjukkan live streaming pendemo yang ingin eksekusi dilakukan secepatnya.
"Waktu itu saya hampir dijatuhi perisai yang sangat besar. Kalau waktu itu saya tak lari, mungkin saya dan anak saya sudah mati. Jadi, lakukan eksekusi secepatnya. Biarkan kami hidup dengan damai," ucap salah satu orang yang diwawancarai wartawan saat live streaming.
"Kik ... kik ... kik ... ironis sekali, kan? Apa kamu marah? Apa kamu sedih? Apa kamu pikir kamu adalah pahlawan keadilan? Kik... kik ... kik ..." pria itu mulai menyuntikkan sebuah cairan hitam ke tubuh Devan.
"Apa kamu tahu apa yang aku suntikkan tadi? Sekarang, sarafmu akan lebih sensitif bahkan jika seperti ini," pria itu menyentuh tangan Devan.
"Argh ... argh ... sakit! Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Devan meronta-ronta menunjukkan jika dia sangat kesakitan waktu itu.
" Ajaib, bukan cairan perangsang rasa sakit ini. Kik ... kik ... kik. Bahkan, manusia biasa akan langsung mati setelah disentuh seperti ini. Tapi, rumor tentang keabadianmu ternyata memang benar. Kik ... kik ... kik ..." pria itu tersenyum puas melihat Devan kesakitan. Dia kagum jika orang abadi memang ada. Itu bahkan mematahkan teori dunia saat ini.
Reka yang melihat dan mendengar teriakan Devan hanya bisa menangis dan memukul tembok baja dengan sekuat tenaga.
"Devan ... Devan ..." Reka hanya bisa terbujur kaku dan menangisi ketidakberdayaannya di sudut ruangan.
Pria dengan jas lab itu keluar dari ruangan Devan dan kembali dengan membawa sebuah kotak kaca berisi sebuah ular.
"Ini adalah Ular Taipan. Satu gigitan ular ini mengandung 100 miligram cairan racun, dan racun ini dapat membunuh 120 orang dewasa sekaligus dalam satu serangan. Bahkan, ular ini memiliki racun 50 kali lebih mematikan dari king cobra. Bukankah ini menarik? Kik ... kik ... kik," pria itu mendekatkan ular itu ke badan Devan.
"Bisa, ular ini bisa mengakibatkan kelumpuhan, serangan jantung, kejang. Tapi aku tak tahu apakah itu benar. Dan untuk mengetahuinya, mari kita cari tahu apakah itu semua benar. Kik ... kik ... kik."
Tubuh Devan berkeringat dingin dan meronta-ronta.
"Sekarang, mari kita mulai. Kik ... kik ... kik," pria dengan jas lab itu membuka mulut ular. Nampak dua taring panjang dengan bisa yang hampir menetes. Dengan cepat, pria itu menggigitkan ular itu ke tangan Devan.
Gigitan dari ular itu ditambah cairan penambah rasa sakit menjadikan dampak racun dan rasa sakit berkali-kali lipat.
"Argh ... argh," teriakan Devan sangat keras.
Nafas Devan menjadi tak beraturan, keringat terus menetes dari tubuhnya. Badannya kejang-kejang seperti seorang yang terkena serangan jantung. Matanya memerah menahan rasa sakit.
...***...
Setelah membiarkan Devan kesakitan selama satu jam, pria itu malah tertawa kecil di samping Devan.
"Hebat ... hebat sekali kamu. Kondisi yang seharusnya orang normal tak akan bisa selamat, tapi lihatlah dirimu, dasar monster. Kik ... kik ... kik," ucap pria itu sambil tertawa.
"Apa kamu mau tahu hal menarik yang aku dapat kali ini?" ucap pria itu sambil memegang tangan Devan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Ezrahi
like ❤.. mampir ya🥰
2021-01-27
1
ᴍ֟፝ᴀ Odette🏁
next semangat......
next.....,
Ditunggu loh kelanjutan ceritanya apa
2021-01-20
1