Sore itu cuaca sedikit mendung, mereka akan pergi ke makam. Devan waktu itu menggunakan kacamata hitam dan topi untuk menghindari identitasnya diketahui, melihat sekarang dia adalah buron meskipun hanya disebut ciri-ciri fisiknya.
"Gimana menurutmu, Reka? Apa aku sudah keren?" tanya Devan kepada Reka yang saat itu sedang gugup.
"Apaan sih, cepat kita berangkat," sahut Reka, tangan Reka berkeringat merapikan rambutnya yang terbuai.
"Iya, padahal tadi susah dibangunkan," ucap Devan lirih.
"Apa?" timpal Reka.
"Tidak, tidak apa-apa hehe," sahut Devan.
Mereka pun pergi ke pemakaman. Dalam perjalanan menuju makam, Devan melihat suasana di perkampungan kumuh yang tadinya banyak penindasan menjadi damai. Banyak warga yang mengobrol di depan rumah. Reka yang melihat Devan tersenyum mengambil nafas panjang.
"Ini semua karenamu, Devan. Orang-orang ini bisa tersenyum lagi, meskipun tindakanmu dianggap buruk, tapi akhir dari perbuatanmu lah yang bisa membuat mereka tersenyum," ucap Reka tersenyum kepada Devan.
"Ya, bagaimanapun pembunuhan tetaplah pembunuhan. Aku tak akan menyangkal itu, tapi aku tak menyesali perbuatan ku karena telah membunuh orang-orang itu," sahut Devan.
"Yah, mungkin itu adalah tindakan terbaik yang bisa dilakukan untuk memperbaiki dunia yang busuk ini," ucap Reka datar sambil berjalan cepat di depan Devan.
...***...
Sore itu terlihat penjaga makam yang bersiap-siap pulang. Terlihat kakek tua yang berjalan mendekati mereka berdua. Kaki tuanya terlihat tak kuat lagi berjalan jika tidak dibantu tongkat yang dipegangnya.
"Kalian anak muda, cepatlah pulang. Hari sudah mulai gelap," ucap kakek tua itu memberi peringatan kepada Devan dan Reka.
Kakek itu langsung pergi setelah memberikan peringatan, bahkan belum sempat dijawab oleh Devan dan Reka.
"Padahal baru kemarin aku kesini, tapi rasanya seperti sudah sangat lama aku tak kesini," ucap Devan kepada Reka. Tangan Devan gemetar mengingat kejadian itu lagi dan napasnya menjadi berat.
Devan meletakkan bunga di makam. Reka yang melihat itu semakin bingung. Terlihat bahwa Reka salah tingkah saat itu.
"Jadi ini adalah makamku dan di sebelahnya adalah makam adikku?" tanya Reka kepada Devan.
Devan hanya menganggukkan kepala. Devan menjelaskan bahwa dua makam yang berada di sebelahnya adalah makam ibu dan ayahnya.
"Apa ini juga ulahmu, Devan?" tanya Reka.
"Hanya ini yang bisa aku berikan untuk mereka," jawab Devan sambil memalingkan wajahnya. Tangan Devan menggenggam erat.
"Sekali lagi terima kasih, Devan. Bahkan di saat terakhir pun kamu masih memberikan pemakaman yang layak untuk kami," ucap Reka yang saat itu melihat Devan memalingkan wajahnya.
Reka pergi ke makam adiknya yang saat itu berada di sebelah makamnya. Udara dingin sore itu membuat siapa pun yang berada di sana menggigil. Burung-burung gagak mulai kembali ke sarangnya, membuat suasana sepi menjadi mencekam oleh suaranya.
"Adik, maafkan kakak ya dik. Kakak tidak ingat apapun dari peristiwa itu. Bahkan kakak tidak ingat dari mana dan siapa kakak sebenarnya," ucap Reka yang berada di samping makam adiknya. Air mata Reka terlihat menetes deras di pipinya dan hanya menggunakan lengan bajunya untuk mengusap air mata yang terus membasahi pipinya. Kesedihan dari tangisan gadis itu membuat siapa pun yang melihatnya merasa bersalah.
Melihat dan mendengar Reka mengatakan itu, Devan hanya bisa menggigit bibirnya hingga sobek dan mengeluarkan darah. Suara tulus Reka membuat apa yang dirasakan Devan menjadi lebih menyakitkan.
...***...
Waktu itu pukul 19:00 malam hari mereka berdua pulang. Terlihat kabut tebal mulai nampak di pemakaman tersebut. Peringatan dari kakek tua itu nampaknya tidak main-main. Pandangan menjadi terbatas waktu itu, udara dingin ditambah kabut tebal yang menyelimuti makam membuat suasana semakin sunyi.
"Adikmu Aria Zasa adalah orang yang sangat kuat. Dia bahkan berjanji untuk tidak membuat kakaknya sedih. Lalu apa yang akan dilakukannya saat melihat kakaknya terus menangis? Pasti dia akan kecewa dan menyalahkan dirinya sendiri," ucap Devan.
Mendengar itu, Reka langsung mengelap air matanya dan berusaha untuk tegar. Tetapi seberapa keras dia berusaha tegar, malah membuatnya semakin menangis.
"Aku tahu, Devan. Aku tahu itu," ucap Reka sambil mengusap air mata yang tak kunjung berhenti.
...***...
Suasana di dalam kamar hotel itu terasa sunyi. Devan menyiapkan makan malam waktu itu, hanya bunyi pisau dan percikan minyak yang terdengar waktu itu. Terlihat Devan sedang menyiapkan makan malam dan meletakkannya di atas meja makan yang seharusnya cukup untuk 4 orang.
Pukul 20.00 malam, makanan sudah siap. Devan memanggil Reka yang saat itu berada di balkon hotel. Sorot mata yang sedih dan pandangan kosong Reka mengingatkan akan dirinya waktu itu.
...***...
"Makanan buatanmu enak seperti biasanya, Devan," puji Reka tanpa menunjukkan ekspresi apapun waktu itu.
"Ini bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan, aku hanya mengikuti resep yang ada di internet," sahut Devan datar.
Suasana di meja makan terasa canggung dan sunyi. Tak ada obrolan setelah itu, hanya bunyi jam dinding dan sendok yang terdengar waktu itu. Hingga selesai makan, pun tak ada obrolan lagi di antara keduanya.
...***...
"Devan, setelah ini apa yang akan kamu lakukan?" tanya Reka mengakhiri situasi hening kala itu.
"Karena besok pagi sudah harus check out dari hotel ini, mungkin kita akan pindah hotel atau menyewa apartemen lain," jawab Devan antusias.
"Devan, aku mau mengatakan sesuatu," ucap Reka lirih.
"Katakanlah," sahut Devan.
"Devan, kupikir kita harus berpisah mulai saat ini. Aku pikir kamu sudah tak perlu bertanggung jawab padaku. Tugasmu membantu Reka sudah tercapai, jadi tak ada alasan lagi bagimu untuk bertanggung jawab atas kehidupanku," ucap Reka meyakinkan Devan.
Suasana menjadi hening setelah Reka mengatakan hal itu.
"Tidak ..." jawab Devan tegas.
"Devan ..." belum selesai Reka menyelesaikan kalimatnya.
"Tidak ..." teriak Devan. Mata Devan memerah dan sedikit mengeluarkan air mata waktu itu.
"Devan, kamu tak berhak mengatur kehidupanku. Aku bebas menentukan apa yang akan aku pilih selanjutnya. Jangan egois, Devan," teriak Reka memecah suasana hening waktu itu.
"Tidak, Reka. Kamu yang egois. Akhirnya aku bisa melihatmu lagi, tapi ... tapi mengapa, Reka? Mengapa kamu melakukan ini kepadaku? Apa salahku? Apa yang harus kulakukan sekarang agar kamu mendengarkan aku?" sahut Devan tak bisa menahan tangis waktu itu.
"Apa kamu tahu ketakutan terbesarku yang selalu menghantuiku saat ini? Apa kamu tahu, Devan? Aku takut jika aku bukanlah Reka yang kamu kenal, bukan Reka yang selama ini kamu lindungi. Aku takut jika itu akan mengecewakanmu. Kumohon mengertilah, Devan. Sampai ingatanku kembali, perpisahan ini akan menjadi yang terbaik buat kita," ucap Reka sambil mengusap air mata Devan waktu itu.
"Devan, aku berjanji akan kembali kepadamu saat ingatanku kembali. Devan, berjanjilah untuk tidak kecewa kepadaku jika aku bukan Reka yang kamu kenal. Tapi meskipun kamu kecewa kepadaku, tapi kumohon jangan membenciku Devan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
ᴍ֟፝ᴀ Odette🏁
Next..... Semangat buat kelanjutan ceritanya ya...,
2021-01-17
2