Pukul 00.00 tengah malam, ia baru memasuki kamar hotelnya. Dia melihat-lihat sekitar dan sedikit bernostalgia. Senyum kecilnya berubah menjadi rasa pahit yang tak tertahankan saat ia mengenang kembali momen indah itu.
"Hah, apanya yang Raja. Apanya yang tangan kanan Tuhan, semua ini hanya omong kosong!" Tangan Devan meremas dadanya menahan sakit bukan main karena kehilangan seseorang yang dicintainya.
"Bagaimana bisa aku membanggakan tentang Raja jika aku tak bisa melindungi seseorang yang aku sayangi?" Devan hanya bisa menyalahkan dirinya sambil terbaring di lantai.
Devan mengeluarkan pisau dari penyimpanan dimensi. Pisau itu adalah Combat Knife yang dikhususkan untuk membunuh orang. Sebuah pisau yang memiliki panjang 15 cm dengan ujung runcing menyerupai pedang bermata dua.
"Apanya yang Raja!" Teriak Devan sembari menancapkan pisau tepat di jantungnya.
"Bunuh aku, aku ingin mati sekarang."
Berulang kali Devan menancapkan pisau tepat di jantungnya, berulang kali pula dia merasakan sakit bahkan melebihi kematian itu sendiri.
"Selamat malam, Reka, Zasa." Devan menancapkan pisau tepat di jantungnya.
Devan sangat kelelahan dari raga hingga batin, dia pun langsung tertidur dengan pisau yang masih menancap di tubuhnya. Rasa sakit tertikam pisau itu sudah tak dapat dia rasakan lagi.
"Haaa ..." terdengar jeritan yang sangat keras.
Mendengar suara yang begitu familiar, Devan langsung terbangun dengan pisau yang masih menancap tepat di jantungnya. Devan melihat jam sudah pukul 07.00 pagi. Devan mencari sumber teriakan.
"Haaaa ... jangan mendekat! Kenapa kamu masih hidup, aku kira kamu sudah mati."
Terlihat seorang gadis yang bersembunyi di balik sofa.
"Reka, kamu Reka kan?" ucap Devan kaget melihat seorang gadis yang sangat mirip dengan Reka.
Devan mendekat dan memeluk gadis itu.
"Ih, lepasin kenapa kamu tiba-tiba memelukku, dasar orang cabul."
"Reka, ini aku Devan. Kamu masih mengingatku kan?" ucap Devan meyakinkan sambil memegang pundaknya.
"Lepaskan, memang benar namaku Reka, tapi aku tidak tahu siapa kamu."
"Zasa, setidaknya kamu ingat nama itu kan. Aria Zasa itu adalah nama adikmu."
"Hah, Zasa siapa? Aduh, kenapa kepalaku tiba-tiba sakit?"
Gadis berambut pirang itu pingsan setelah mendengar nama Zasa. Dia pingsan selama 2 jam penuh sampai akhirnya siuman.
"Aduh kepalaku, kenapa sangat sakit?"
"Kamu jangan memaksakan diri dulu, duduklah di sini sebentar, aku akan mengambil makanan yang tadi sudah aku siapkan," ucap Devan kepada gadis itu.
"Ini makanlah, makanan ini banyak mengandung vitamin B, mungkin kamu pingsan karena kelelahan dan makanan ini sangat baik untuk mengembalikan energimu," ucap Devan sambil memberikan makanan kepada gadis berambut pirang itu.
"Terima kasih," ucap gadis itu menerima makanan dari Devan.
Gadis itu mulai memakan makanan yang diberikan Devan. Devan tersenyum kecil saat melihatnya makan, seperti pernah melihat seseorang dengan cara makan yang sama sebelumnya.
"Namamu Devan kan, tadi kamu bilang mengenal aku, lantas bagaimana kamu bisa kenal sama aku?"
"Bagaimana caraku kenal sama kamu itu tak penting, Reka," sahut Devan sambil menunjukkan foto Reka, Zasa, dan dirinya waktu berkunjung di mal.
"Selain warna rambutmu, semua tampak mirip, bahkan suaramu sangat mirip dengan dia," ucap Devan antusias.
Gadis itu berjalan ke arah kaca, melihat dirinya sambil melihat foto dirinya. Dia menangis saat melihat foto itu.
"Reka, tenangkan dirimu, Reka," ucap Devan sambil menenangkan Reka yang terduduk menangis.
"Aku bingung, Devan. Siapa aku? Aku merasa pernah dan pernah mengalami ini sebelumnya, tapi apa ini? Aku bahkan tak tahu dari mana aku berasal."
"Aku sangat yakin jika kamu adalah Reka yang aku kenal, Reka yang selalu aku kenal," ucap Devan meyakinkan.
"Waktu aku terbangun, aku melihat seorang pria yang terbunuh di lantai, dan ternyata pria itu tak mati dan malah memelukku. Hanya itu yang kuingat," gadis itu melihat Devan sambil mencoba mengusap air matanya.
"Maafkan aku jika mengagetkanmu, tapi lihat, bahkan tak ada bekas luka di sini," ucap Devan sambil menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
"Bagaimana bisa kamu masih hidup, padahal tadi kamu tertusuk? Aku kira kamu sudah mati. Apa kamu memang manusia?" ucap gadis itu penasaran.
"Aku hanyalah manusia biasa yang bodoh dan naif, aku hanyalah manusia biasa, Reka," ucap Devan.
"Reka kah? Itu memang namaku. Teresa Reka itu adalah satu-satunya yang aku ingat saat aku terbangun."
"Jadi, boleh jika aku panggil Reka?" ucap Devan.
"Boleh, sebelum itu aku akan memperkenalkan diri dengan benar, namaku Teresa Reka, dan kamu?" ucap Reka memperkenalkan diri.
"Aku Devano Devan."
"Sekarang beritahu aku, Devan, kenapa kamu tidak mati saat tertusuk," ucap Reka penasaran.
"Baiklah, aku akan menceritakan semua yang aku tahu, Reka. Mungkin ini akan menjadi cerita yang sangat panjang," ucap Devan sambil mengambil pisau dan menusuk dirinya sekali lagi di tangannya.
"Apa yang kamu lakukan?" Reka kaget melihat Devan tiba-tiba melukai dirinya sendiri.
"Tenang, dan lihatlah ini," Devan mencabut pisau itu, dan terlihat jika lukanya tiba-tiba menghilang, dan darah yang tercecer juga hilang begitu saja.
Reka yang melihat itu kaget dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Bukan itu saja, aku juga punya penyimpanan dimensi yang bisa menyimpan apa saja," ucap Devan sambil menunjukkan penyimpanan dimensi miliknya.
"Boleh aku memasuki penyimpanan dimensi itu?" ucap Reka penasaran sambil mendekati penyimpanan dimensi milik Devan.
"Silakan coba saja masuk. Aku juga bisa memasukinya."
Mereka berdua memasuki ruang dimensi milik Devan. Di dalam ruang dimensi itu terlihat sangat luas dan berwarna putih bersih. Terlihat jika banyak barang yang tersusun rapi di dalamnya.
"Wow, seberapa luas ini, Devan?" ucap Reka penasaran.
"Untuk luasnya sendiri, aku kira tak terbatas karena ruangan ini sama dengan imajinasiku. Jika aku membayangkan kamar kecil, maka ruangan ini juga akan mengecil," Devan memberitahu Reka dengan antusias dan menunjukkan jika dia bisa sesuka hati merubah ruangan itu.
"Apa aku bisa tidur di sini?" ucap Reka.
Mendengar perkataan itu, Devan kaget.
"Ya, tentu bisa, tapi menurutku jangan, karena hanya aku yang bisa keluar masuk ruangan ini dengan bebas. Jika kamu berencana tinggal di sini, kamu akan kesulitan. Bagaimana jika kamu mau mandi, bagaimana kamu akan buang air, makan, dan lain-lain?" ucap Devan.
"Benar juga apa katamu. Pada dasarnya, ruangan ini hanya sebatas ruang penyimpanan," ucap Reka sedikit kecewa.
"Jangan kecewa begitu, Reka," senyum kecil Devan menghiasi wajahnya.
Setelah itu, mereka berdua keluar dari penyimpanan dimensi.
"Aku kira kita akan langsung terjun ke bawah laut atau tempat acak lainnya," ucap Reka sambil sedikit tersenyum.
"Tidak. Pada dasarnya, di mana aku memasuki penyimpanan dimensi, maka untuk keluarnya juga akan tetap di tempat itu."
"Agak repot juga ya."
"Ya, begitulah," jawab Devan.
"Lalu, bagaimana kamu bisa mengambil barang dari penyimpanan dimensi itu? Bukankah ruangan itu sangat besar?" Reka penasaran bagaimana bisa Devan mengambil barang-barangnya dari penyimpanan dimensi.
"Hmm, kalau itu cukup mudah sih, aku tinggal memasukkan tanganku ke penyimpanan dimensi dan membayangkan apa yang ingin aku ambil. Contohnya, aku akan mengambil setumpuk uang ini," sahut Devan sambil mengambil setumpuk uang dari penyimpanan dimensi miliknya.
"Wow, apakah kamu ATM berjalan?" tanya Reka.
"Ya, bisa dikatakan aku adalah ATM berjalan," jawab Devan sambil tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments