Suasana pagi itu menjadi hidup dengan canda tawa dan senyum dari Reka yang menenangkan hati Devan yang saat itu sangat tertekan sampai depresi.
"Devan, ceritakanlah kepadaku tentang apa yang kau tahu tentang aku atau masa laluku. Mungkin dengan itu, ingatanku bisa kembali," ucap Reka kepada Devan yang saat itu sedang melamun.
"Ah, iya. Bagaimana jika kita pergi jalan-jalan keluar sebentar?" ajak Devan.
"Tunggu dulu, Devan. Lihatlah pakaianku. Kenapa aku memakai gaun ini? Ini seperti gaun yang dipakai orang mati, tahu kan?" Reka mencoba menunjukkan pakaiannya.
"Devan, tolong katakan yang sebenarnya. Entah itu berita baik atau buruk, aku akan mencoba menerimanya," ucap tegas Reka.
Devan yang mendengar perkataan Reka menjadi teringat perkataannya dahulu tentang apa itu Raja. Jika dulu Devan dengan sombongnya tidak menjawab, sekarang dia menjadi lebih terbuka dan siap menjawab setiap perkataannya.
"Reka, kemungkinan sekarang kamu adalah Raja."
"Hah, apa kau menyuruhku menjadi Raja kerajaan dongeng? Hahaha,"
Devan yang mendengar jawaban Reka menjadi déjà vu dengan apa yang dialaminya. Dia hanya bisa menggelengkan kepala.
"Begini, Reka. Setelah kamu melihat semua hal yang tidak masuk akal itu, apakah kamu masih tidak percaya dengan apa yang kukatakan?"
"Bukan bahwa aku tak percaya, Devan. Tapi, bukankah Raja hanya untuk laki-laki? Bukankah jika perempuan, itu Ratu?"
Mendengar jawaban Reka, Devan kaget dan berpikir bahwa apa yang dikatakan Reka ada benarnya juga.
"Benar juga apa yang kamu katakan," sahut Devan.
"Lupakan masalah itu. Lalu, bagaimana dengan masa laluku?" ucap Reka penasaran.
"Reka, sebenarnya kamu sudah mati," ucap Devan kaku.
Setelah mendengar itu, suasana menjadi serius. Reka kaget mendengar ucapan Devan.
"Tapi, lihat aku Devan. Lihat ini, aku masih hidup," ucap Reka mencoba menjelaskan kepada Devan.
"Iya, aku tahu kalau sekarang kamu hidup. Tapi lihat itu, lihatlah gaunmu. Aku yakin, karena aku juga melihat sendiri, itu adalah gaun yang dipakai Reka pada kematiannya."
Devan mencoba menjelaskan kepada Reka secara pelan tentang masa lalunya, adiknya, serta mengapa ia memakai gaun itu.
Setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Devan, Reka terdiam sejenak mencoba berpikir dan mengingat tentang dirinya. Namun, berapa kali dia mencoba melakukannya, dia tetap tak bisa mengingatnya.
"Jadi, maksudmu dulu aku dibunuh dan adikku juga dibunuh?" tanya Reka serius.
"Itu benar, Reka. Mau bagaimanapun itu adalah fakta," sahut Devan dengan serius juga.
"Devan, beri aku sedikit waktu untuk menenangkan diri," ucap Reka.
"Baiklah, aku juga mau membeli beberapa bahan makanan untuk nanti malam. Kamu bisa bersantai dahulu di sini, dan aku tak akan lama."
Devan lantas pergi keluar untuk membeli beberapa bahan makanan.
**
"Aku pulang," ucap Devan.
"Ya, selamat datang," sahut Reka.
"Bagaimana, Reka, sudahkah kamu berpikir jernih?" tanya Devan sambil memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas.
"Sudah lumayan, tapi ada sedikit yang mengganjal di pikiranku," sahut Reka.
"Jangan terburu-buru, tenang saja. Mengapa kamu tidak mandi dulu dan berganti pakaian? Di bawah meja itu ada pakaian Reka yang dulu. Ah, aku jadi bingung," ucap Devan sambil tersenyum kecil.
"Apaan sih, dasar mesum cabul," sahut Reka.
**
Devan yakin bahwa Reka yang sekarang adalah Reka yang telah dibangkitkan lagi, apalagi setelah mandi dan berganti pakaian. Meskipun tidak mirip, itu memang Reka, pikirnya. Dia bertekad untuk melindungi dan membantu mengembalikan ingatannya.
"Devan, ikutlah aku."
"Mau ke mana?" tanya Devan.
"Aku ingin melihat kuburanku."
"Apa kamu sudah gila?"
"Bukan seperti itu maksudku, Devan. Aku hanya ingin melihat makam ibu, ayah, dan adikku," ucap Reka pada Devan.
"Bagaimana kalau nanti saja? Untuk saat ini, jalan masih diblokir karena peristiwa kemarin. Tadi saat aku belanja di minimarket, banyak sekali mobil polisi yang sedang memblokir jalan."
"Padahal, aku ingin sekali pergi sekarang," ucap Reka dengan sedikit raut manja.
"Mengapa kita tidak santai dahulu? Ini, aku tadi membeli beberapa cemilan. Aku tidak tahu apa kesukaanmu, jadi aku membeli agak banyak supaya kamu bisa memilih sendiri," ucap Devan sambil mengambil sekantung makanan ringan.
"Tenang saja, Devan. Aku tidak memilih-milih kalau soal makanan," sahut Reka.
Mendengar jawaban Reka membuat Devan yakin jika dia memang Reka. Devan sedikit bernostalgia tentang waktu itu.
"Devan, coba kesini."
"Ada apa, Reka?"
"Lihat ini, apa ini yang kamu ceritakan?" ucap Reka sambil menunjukkan berita yang ada di televisi.
"Iya benar, orang-orang itu adalah orang yang tak pantas hidup. Mereka adalah sampah masyarakat," sahut Devan.
"Jadi, benar di berita ini menunjukkan jika terdapat 10.000 korban dalam peristiwa itu. Jadi kamu memang benar-benar bertarung melawan 10.000 orang itu, Devan?" ucap Reka kagum.
"Ya, memang begitu faktanya. Aku tidak tahu pasti jumlah dari mereka. Aku kira jumlah mereka tidak sampai puluhan ribu," sahut Devan.
"Terima kasih, Devan," ucap Reka serius.
"Hah, mengapa kamu berterima kasih kepadaku?" tanya Devan.
"Jika memang kamu bertarung melawan 10.000 orang demi aku dan adikku, aku akan sangat berterima kasih kepadamu."
"Reka, kamu tidak perlu berterima kasih kepadaku. Aku tidak pantas mendapatkan rasa terima kasih itu. Jika waktu itu aku berhasil melindungi kamu dan Zasa," ucap Devan dengan nafas tak beraturan.
Reka yang melihat itu langsung memeluk Devan mencoba menenangkan dirinya.
"Tidak apa-apa, Devan. Setidaknya biarkan aku menunjukkan rasa terima kasihku kepadamu," ucap Reka sambil memeluk Devan.
"Terima kasih telah kembali, Reka," sahut Devan lirih.
"Tapi lihatlah ini, sekarang kamu menjadi buron dengan tuduhan pembunuhan massal dan perampokan mesin ATM, hahaha," Reka yang melihat berita itu sedikit tertawa.
"Aku tidak mengira bahwa polisi akan bergerak secepat ini," timpal Devan.
"Wajahmu masih misterius dengan ciri-ciri fisik berambut putih dan mata merah. Itu jelas kamu, Devan," sahut Reka.
"Iya, aku tahu. Pantas saja tadi banyak orang yang melihatku. Aku kira aku tampan dan berani, hehe," ucap Devan malu karena kepedean.
Mereka bercanda dan tertawa kecil, bercerita tentang kehidupan, menyinggung masa lalu, entah apa pun itu. Suasana menjadi lebih ceria pada waktu itu. Karena terlalu banyak bicara, mereka berdua tertidur di atas sofa dengan keadaan TV yang masih menyala. Mereka tertidur layaknya anak kecil yang kecapekan habis bermain seharian.
"Reka, bangun. Reka," ucap Devan membangunkannya.
"Hmm, beri aku waktu 20 menit lagi."
"Hah, 20 menit lagi? Kita bahkan tidak punya waktu sebanyak itu. Sekarang sudah pukul 5 sore," ucap Devan mencoba membangunkannya.
"Hmm."
"Reka, apakah kamu tidak jadi berkunjung ke makam adik, ayah, dan ibumu?" ucap Devan.
Mendengar itu, Reka kaget dan langsung terbangun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Yoanita_Situmorang
🔥🔥🔥
2021-01-17
1
Day
bagus semangat upnya author
2021-01-16
1