Chapter 1.1 - Kemarahan

Terdengar suara yang sangat keras dari kamar jenazah.

"Ah ... ampuni kami tuan, kami berjanji tak akan mengulangi perbuatan tercela ini lagi," ucap memelas ke dua Dokter itu.

"Bukan kan aku sudah mengampuni kalian, akan kuberikan kematian yang tak terasa menyakitkan untuk kalian berdua. Tenang saja, kalian pasti langsung mati! Hahaha ..."

"Tapi kenapa, bukan kah uang sudah cukup untuk kompensasinya? jika kamu tetap membunuh kami berarti kamu lebih tidak berperikemanusiaan daripada kami," ucap salah satu Dokter itu.

"Bagaimana bisa, orang picik seperti kalian berbicara tentang kemanusiaan?" Devan terus memotong jari demi jari dari kedua Dokter tersebut dengan Kekuatan nya.

Teriakan kedua dokter itu bahkan sampai terdengar sampai ruangan lainnya.

"Walikota! Ini semua adalah suruhan Walikota."

"Hehe ... tapi lepaskan kami dulu maka akan aku beritahu"

"Jangan salah paham kalian sampah, kalian tidak sedang dalam posisi memilih sekarang dan sayang sekali aku bukan manusia, aku adalah Raja!" ucap Devan angkuh.

"Selamat tinggal, semoga Tuhan mengampuni semua dosa kalian."

Sebuah kotak transparan muncul mengelilingi kepala kedua dokter tersebut. Tak butuh waktu lama kotak dimensi itu hilang bersamaan dengan terpotongnya kepala kedua Dokter itu.

Devan menghela nafas. "Jadi begini rasanya membunuh manusia" Devan langsung muntah melihat banyak darah. Pupil mata Devan berubah menjadi merah seperti darah. Devan mencoba melihat dirinya di kaca, melamun membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Devan yang keluar dari kamar mayat melihat Satpam yang mematung tak berani bergerak sedikitpun, dengan kata lain satpam tersebut telah melihat peristiwa yang sangat mengerikan. Devan mengabaikan Satpam tersebut seperti memberi isyarat kepada dunia Jika sang Raja telah kembali.

Setelah pembunuhan itu Devan sangat depresi, bahkan ia tak menyangka bisa menghilangkan nyawa seseorang dengan semudah itu. Di sebuah apartemen dia bahkan mengunci dirinya selama 7 hari.

Suatu saat setelah perasaan Devan membaik dia mencari berita di internet tentang pembunuhan tersebut, di internet banyak berita tentang konspirasi pembunuhan ke dua Dokter dan yang menjadi tersangka utama adalah Satpam.

"Haha, konyol sekali para manusia ini," ucap Devan lirih.

Di berita Satpam tidak dihukum karena di nyatakan gila, dengan kesaksian ada mayat yang hidup lagi dan menghancurkan kepala kedua Dokter tersebut.

"Bagus, dengan begini identitas ku masih aman."

Devan bergegas membuat pasport, visa dan segala keperluan lainnya sebelum dia menjadi buron. Bahkan Devan tak tau apakah ini nanti berguna dimasa depan sambil meletakkannya di ruang dimensi miliknya.

"Aku penasaran apakah ada di dunia ini Raja lainnya selain aku," ucap Devan dalam hati. Devan masih mecari tau lebih dalam tentang mukjizat nya dan bagaimana cara menggunakannya lebih baik.

"Harusnya aku mencari tahu lebih dalam tentang mukjizat ku tetapi tak ku sangka uang sebanyak itu yang ku rampas dari Dokter itu sudah habis, Hah ... aku harus mencari lebih banyak uang lagi kali ini."

***

Di sebuah villa mewah di daerah kota S.

"Hahaha ... dengan semua uang ini aku bisa kaya tujuh turunan!"

"Selamat Tuan atas kerberhasi ..."

Crak!!

Crak!!

Keempat pelayan itu seketika mati.

"Hii ... hikk ... siapa kamu! u ... uang, aku ada banyak, tapi biarkan aku hidup." Keringat dingin keluar dari tubuhnya, wajahnya menunjukkan jika dia ketakutan setengah mati di kursi itu.

"Hmm, apa yang harus aku lakukan ya. mau aku beri tahu?" ucap Devan pelan sambil berjalan mendekat.

"Wanita, perhiasan, rumah, tanah, uang atau apapun itu akan aku berikan asalkan kamu mau mengampuniku."

"Ya, untuk sekarang aku memang butuh uang."

"Iya uang! aku ada banyak. Mau berapa juta? berapa ratus juta?"

"Shhhh ... diam, lebih baik aku sendiri yang mengambil uang nya."

"Di sana, di brangkas yang ada di sebelah almari itu."

Devan pun pergi berjalan ke arah brankas yang berada tak jauh darinya.

Dor!!

Dor!!

Dor!!

"Hahaha, mampus kau dasar anak kemarin sore. Pelayan cepat kesini! dimana sih mereka."

Smirk!!

Smirk!!

"Hahahaha ... ternyata kau lebih busuk dari yang aku kira Walikota. Tidak, tapi tuan Franbert!"

"Hiiiiii ... am ... ampun ampuni aku," Franbert bersujud di hadapan Devan meminta pengampunan nya.

"Berapa sandinya?" Devan hanya fokus pada brankas itu dan seolah olah mengabaikan Franbert.

"1768582," ucap Franbert sigap.

"Tapi setidaknya kau tidak berbohong tentang brankas ini."

"Mana mungkin aku berani berbohong kepada anda tuan muda."

"Franbert, anda adalah walikota yang baik di mata masyarakat. Tetapi di balik layar, anda adalah pengedar obat obatan terlarang. Anda juga melakukan penculikan manusia demi menjual organnya dan anda telah melakukan penggelapan dana yang harusnya diperuntukkan rakyat miskin dengan kedok bakti sosial. Anda telah menipu banyak orang, Anda adalah iblis berbentuk manusia!"

"Pelayan ... pe ... pelayan cepat kesini ada penyusup!"

Crak!!

Tubuh Walikota itupun terbelah menjadi dua.

"Sampai akhir pun kau tetap busuk!"

"Ternyata menggunakan mukjizat dengan sangat banyak tak berefek apapun bagiku, jadi aku bebas menggunakan sesering mungkin," ucap Devan dengan sedikit tersenyum.

"Lalu, akan aku apakan uang sebanyak ini. Apa aku setor saja ke bank untuk ditabung? hah, mana mungkin haha ..." gurau Devan sambil memasukkan semua uang ke dalam penyimpanan dimensi miliknya.

**

Di daerah kumuh pinggiran kota S pukul 00:00.

"Kamu berhenti!" terlihat gadis remaja dengan pakai an lusuh membawa koran dan menggendong adiknya yang masih kecil.

"Ada apa kak, mau beli koran?"

"Iya, aku beli semuanya."

Wajah yang semula murung berubah menjadi senyuman.

"Aku hitung dulu ya kak, 175 rb kak semuanya. Tapi kakak yakin mau beli semuanya?"

Devan memberikan setumpuk uang 100 ribuan kepada gadis itu. Karena malas berhitung Devan mengambil uang di dalam sakunya tanpa menghitung dahulu.

"Ini, cukup?"

Gadis remaja itu sontak kaget.

"Aduh kak ini kebanyakan," ucap gadis itu sambil mengembalikan sisanya.

Devan sedih dan terharu melihat orang yang tidak tergila gila harta duniawi padahal kondisinya memprihatinkan dan sangat membutuhkan.

"Kamu terima atau aku buang uang ini!"

"Iya kak aku terima, terima kasih banyak kak" Sambil mencoba membungkuk di hadapan Devan tapi dihentikan oleh Devan.

"Cukup! kamu tak perlu sampai seperti Itu, ini hanyalah kertas yang kebetulan memiliki nominal."

"Apa kamu berjualan setiap hari disini dan kenapa kamu sampai larut malam baru pulang?"

Dengan suara lirih bahkan hampir tidak terdengar.

"Karena kalau hari ini tak mencapai target nanti dimarahi Bos."

Devan dengan nada marah berbicara kepada gadis tersebut. Suasana yang semula bahagia sontak menjadi tangis yang pilu.

"Hah Bos siapa, Ibumu?"

Gadis itu menjawab dengan sedikit air mata keluar dari matanya.

"Bukan kak! Ibuku sudah meninggal."

Tak diam disitu, Devan terus memojokkan gadis tersebut.

"Ayah mu?"

Dengan air mata mengalir dan tersedu sedu, gadis itu mencoba menjawab.

"Lebih baik kakak tidak tahu karena dia orang yang sangat berbahaya dan kebal hukum."

Devan dengan nada yang meyakinkan mencoba mencari tahu kebenaran.

"Jadi benar kataku itu ayahmu yang suka mabuk mabuk an dan menyuruh anaknya berjualan koran," ucap Devan sinis.

Mendengar perkataan sinis Devan, gadis itu marah dan menampar Devan.

"Kakak kalau enggak tahu tidak usah sok tau ya!"

Gadis itu melempar uang yang diberikan Devan. gadis itu lari, tapi dia bingung karena seperti ada dinding di depan nya. Yang mana membuat dia tak bisa keluar, meskipun dia mencoba mendobrak dobrak nya hingga membuat adik perempuannya bangun dan menangis, tapi dia tetap tidak bisa keluar dari sana.

Devan berdiri dan menghampiri gadis tersebut. Suara tangisan membuat suasana menjadi lebih pilu.

"Percayalah kepadaku!"

Gadis itu duduk pasrah sambil memenangkan adiknya. Dia tak percaya akan mengatakan kebenaran kepada orang asing yang bahkan tidak ia kenal.

"Sulit menceritakan dari mana, dulu aku hidup bahagia layaknya orang lain dengan Ayah, Ibu dan Adik perempuanku. Sampai suatu malam terjadi perampokan di rumah ku, keluargaku sudah melapor ke Polisi tetapi laporan kami dianggap kurang lengkap. Pada malam berikutnya Ayah dan Ibuku memergoki orang yang merampok rumah kami dan karena hal itu Ayah dan Ibuku langsung dibunuh oleh orang-orang bajingan tersebut."

Gadis itu menangis tersedu sedu sambil mengusap air mata seakan tak sanggup melanjutkan ceritanya, Devan mengelus pundak gadis Itu dan menyuruhnya untuk tegar dan melanjutkan ceritanya.

"Waktu itu aku bingung harus bagaimana, aku kembali ke kantor Polisi dan tak ada tindakan apapun dari sana dan malah mengatakan harus menerima insiden tersebut. Aku pun hanya bisa pasrah, setelah pemakaman Ibu dan Ayahku preman bajingan itu menghampiri rumahku dan merampas surat surat berharga dan menjual rumahku. Tak ada warga yang menolongku, karena mereka juga takut menjadi korban berikutnya. Bahkan saat aku teriak teriak pun tak ada yang peduli. Preman itu menawarkan atau lebih tepatnya mengancam kepadaku, jika aku tak bekerja untuk mereka maka adikku akan di bunuh dan aku akan di masukkan rumah bordil."

"Ya, mereka telah berhasil. Mereka berhasil membuat kehidupanku seperti berada di neraka."

Tangisan gadis itu semakin kencang di ikuti oleh adiknya.

Devan memeluk keduanya dengan erat.

"Sekarang kamu mau setor uang ke preman itu kan?"

Gadis itu hanya bisa mengangguk sambil tetap berada di pelukan Devan.

"Bawa aku ke tempat kumpulan sampah Itu berada! akan aku tunjukkan neraka yang sesungguhnya kepada mereka, " ucap Devan dengan lantang.

Terpopuler

Comments

ghaitsaa

ghaitsaa

waaw

2021-01-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!